Liputan6.com, Jakarta - Bercengkrama di depan teras rumah sambil memakan buah, itulah kegiatan sejumlah warga RT020/017 Muara Baru, Jakarta Utara, Rabu (13/2/2019) petang. Terlihat di depannya, puluhan jeriken berwarna kuning dan biru berjejer menghiasi pandangan.
Jeriken tersebut ditempatkan dalam satu gerobak dorong yang bisa menampung hingga 14 buah. Namun, dalam satu gerobak tak selalu penuh, tergantung kemampuan sang pendorong.
Baca Juga
Rupanya jeriken itu berisi air bersih guna memenuhi kebutuhan warga sekitar. Tak gratis, air layak konsumsi tersebut merupakan barang dagangan.
Advertisement
Menurut pengakuan salah seorang warga, beberapa wilayah di Muara Baru memang tak disuplai Perusahaan Air Minum (PAM) sejak lama. Sebab itulah warga membeli air layak pakai dari beberapa orang yang menjualnya dengan jeriken.
"Udah lama banget, saya lupa dari tahun berapa, kira-kira 2000-an awal. Itu juga dari awal nyalanya cuma 2 tahun, habis itu mati," tutur Ika Mustika Ratu, warga Muara Baru kepada Liputan6.com, sambil mengupas dukuh.
Dia tak menampik selama ini keluarganya mengonsumsi air jeriken sekadar untuk mandi dan minum. Kendati demikian, perempuan berusia 46 itu mengaku tak mempersoalkan kualitas airnya lantaran dinilai sudah baik.
Namun, kocek yang harus Ika keluarkan untuk air ini diakuinya tak sedikit. Dia menyebutkan nominalnya dengan nada meninggi sambil mengerutkan dahi.
"Sebulan bisa sampai Rp 500 ribu. Itu saya pakai sekitar 130 pikul," ucap Ika.
Penjual air pakai gerobak memang memberikan jeriken ke pembeli dengan cara dipikul. Satu pikul bisa memuat 2 buah jeriken seharga Rp 4 ribu.
Tak hanya gerobak, menurut Ika, penjual air yang datang juga terkadang menjajakan dagangannya ke Muara Baru melalui mobil angkut air. Mobil ini menawarkan paling sedikit satu kubik.
"Ada yang pakai gerobak, ada yang pakai tangki di mobil baru disalurin baru ada," dia menandaskan.
Â
Sosialisasi Tak Pernah Terealisasi
Ika mengaku pegawai PAM tak jarang melakukan sosialisasi terkait penyaluran air bersih. Namun, menurutnya, wacana tersebut tak pernah terealisasi sampai saat ini.
"Sudah lama begitu (sosialisasi). Dulu pernah diusahain pakai pipa besar, tapi enggak jadi," imbuhnya
Pihak PAM pun, kata Ika, sering melakukan pengawasan di sekitar kediamannya. Kendati, dia mengatakan tindakan tersebut sia-sia.
"Mau ngontrol apa pak, enggak ada airnya," ucapnya untuk pertugas PAM.
Belakangan, petugas itu tak lagi datang. Ika juga tak mengharapkan kedatangan itu lantaran keinginannya untuk bisa menikmati air bersih dari PAM sudah kandas sekian lama.
Terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal ambil alih pengelolaan air dari PT Aetra dan PT Palyja, Ika menyambutnya dengan positif.
Dia berharap bisa menikmati air PAM sehingga pengeluarannya bisa berkurang. Selain itu, dia juga tak perlu menunggu penjual air bersih datang.
"Ya kita bersyukur, kita enggak susah air," katanya memungkasi.
Â
Advertisement
Lahan Rupiah
Keadaan ini menjadi lahan rupiah bagi sejumlah penjual air bersih. Tak terkecuali Maryati, yang menjajakan airnya dengan jeriken biru dan kuning.
Dia biasa mendapat order sebanyak 3 sampai 4 pikul sehari untuk 1 keluarga. Tergantung kebutuhan per pintu, biasanya beragam dan tak menentu.
"Kalo nyuci kan seminggu sekali, jadi gak terlalu banyak mesennya," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (13/2/2019).
Warga Muara Baru ini menjelaskan, stok air didapatnya langsung dari salah satu produsen air bersih di wilayah Jakarta Utara. Dia mengaku mengambil untung dari situ.
"Ibu beli perpikul Rp 1500, di sini ibu jual Rp 4000," ucapnya menandasi.
Kendati demikian, sambil mengisi jirigennya melalui selang, dia mengaku tak ambil pusing dengan putusan Gubernur terkait pengambilalihan pengelolaan air.
Dia hanya berharap pemprov DKI memberikan pelayanan terbaik untuk warganya.
"Kalau sih senang. Gapapa pendapatan turun," imbuhnya.
Pemandangan penjualan air minum jeriken di Jakarta tidak hanya terjadi di Muara Baru. Di wilayah Jakarta Pusat, yang tidak jauh dari pusat pemerintahan, Jalan Kali Pasir, Cikini, saban hari tukang air jeriken mondar mandir menjajakan air minum tersebut.
Â
20 Tahun Tak Mensejahterakan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan mengambil alih pengelolaan air dari perusahaan swasta. Pengambilalihan akan dilakukan melalui langkah perdata atau renegosiasi kontrak.
Menurut Anies, selama kontrak yang dijalin PAM Jaya dengan PT Aetra dan PT Palyja, warga DKI banyak mengalami kerugian.
"Tujuannya (pengambilalihan) adalah mengoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa Orde Baru tahun 1997. Dan kita tahu selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibu Kota tidak berkembang sesuai dengan harapan," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2/2019).
Anies menjelaskan, saat kerja sama dimulai pada 1998, cakupan air di DKI Jakarta sebesar 44,5 persen. Dan pada 2018, cakupan air bersih baru sebesar 59,4 persen, sementara target awal adalah 80 persen.
"Artinya, waktu 20 tahun hanya meningkat 14,9 persen," ujar Anies Baswedan.Â
Meski tak tercapai, PAM Jaya setiap tahunnya harus memberikan jaminan keuntungan 22 persen kepada dua perusahaan swasta itu.
"Targetnya tidak tercapai, tapi keuntungannya wajib dibayarkan oleh negara. Kalau hari ini angkanya tercapai, mungkin lain cerita. Tapi hari ini angka itu tidak tercapai. Target jangkauannya, tapi negara berkewajiban," kata Anies.
Sementara itu, Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum, Nila Ardhianie, menjelaskan jaminan keuntungan yang harus dibayar DKI sangat memberatkan.
“Nilainya tidak sedikit, sampai triliun-triliunan. Kira-kira kurang lebihnya Rp 8,5 triliun," ujar Nila.
Advertisement
Berbicara dengan Rekanan
Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo. Dia mengatakan, pihaknya sebenarnya belum memutuskan langkah yang akan diambil Pemprov DKI Jakarta. Putusan baru akan diambil setelah pihaknya berbicara dengan rekanan yang memegang kontrak pengelolaan air di Ibu Kota.
"Kita akan bicara dengan dua mitra (PT Aetra dan Palyja) dan sepakat untuk dijadwalkan selama satu bulan. Akan dilihat progress kita bagaimana. Kemudian, konklusinya seperti apa. Konklusi seperti yang disampaikan Tim Evaluasi kan ada beberapa opsi," jelas Priyatno melalui sambungan telepon, Selasa petang.Â
Tiga opsi itu adalah, pertama membiarkan kontrak selesai. Kedua, pemutusan kerja sama saat ini juga. Ketiga, pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Dia mengatakan, selama sebulan ke depan harus ada kepastian opsi yang diambil.
"Dalam satu bulan kemudian akan ada opsinya," ujar Priyatno.
Dia melanjutkan, jika opsi yang diambil sudah diputuskan, maka akan ada due diligence (uji tuntas kinerja perusahaan). Akan ada pula legal opinion untuk memastikan nilai-nilai yang akan diubah.
"Step selanjutnya adalah transisi untuk kemudian implementasinya," papar Priyatno.
Dia juga memastikan bahwa masa transisi tidak akan berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya hingga tahun 2023 atau saat berakhirnya kontrak kerja pengelolaan air dengan PT Aetra dan Palyja.
"Tidak selama itu. Kalau sampai 2023, diam saja kita nanti. Yang jelas kita berniat untuk memperbaiki pelayanan," pungkas Priyatno.
Langkah dan keseriusan Pemprov DKI untuk mengambil alih pengelolaan air di Ibu Kota juga mendapat dukungan dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Kelompok ini bahkan menampik putusan PK Kemenkeu sebagai tanda kekalahan Pemprov DKI.
"Kita tidak memandang bahwa kita kalah. Peninjauan kembali itu kita belum mendapat salinan. Walau kalah secara hukum, perkiraan kita putusan PK itu terkait masalah formil saja, apakah itu terkait surat kuasa yang didalilkan maupun mekanisme gugatannya," jelas pengacara publik dari KMMSAJ, Alghifari Aqsa kepada Liputan6.com, Selasa petang.
Dia mengatakan, dari sisi substansi hukum, pihaknya berhasil membuktikan privatisasi air itu buruk, karena tidak ada pemenuhan hak-hak air dan merugikan keuangan negara.
"Seharusnya ini jadi patokan, substansi terkait hak-hak air dan penyelamatan keuangan negara telah berhasil dibuktikan Koalisi Masyarakat Sipil, sehingga ini yang jadi patokan untuk kebijakan selanjutnya," papar staf Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.
Dia pun menyarankan, dalam memutuskan kebijakan selanjutnya, Pemprov DKI harusnya menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus UU Sumber Daya Air sebagai acuan. Alasan MK, UU itu dinilai melanggengkan privatisasi dan bertentangan dengan UUD 1945.
"Sehingga pemenuhan ataupun pengelolaan air, harus dikelola oleh negara, BUMN atau BUMD," tegas Alghifari.