Harga Beras Eceran Jangan Dijadikan Polemik! Ini Fakta Sebenarnya

Terkait kenaikan harga beras yang kerap menjadi polemik, Amran menegaskan hal tersebut disebabkan...

oleh stella maris diperbarui 17 Feb 2019, 09:36 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2019, 09:36 WIB
Pedagang beras di pasar tradisional Cinangsi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Pedagang beras di pasar tradisional Cinangsi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa Indonesia menempati urutan ke-81 dalam daftar harga beras eceran termahal di dunia. Harga beras eceran Indonesia menurut dara Numbeo pada 2019 sebesar Rp12.374 per kg.

"Urutan pertama harga beras eceran termahal dunia adalah Jepang sebesar Rp57.678 per kg, sementara harga beras termurah di Sri Lanka sebesar Rp7.618 per kg," ujar Amran.

Melihat data tersebut, Amran meminta agar informasi terkait harga beras eceran Indonesia tidak dijadikan polemik. Seharusnya, kata Amran, semua pihak patut bangga bahwa berdasarkan data FAO pada 2017, Indonesia menempati nomor urut ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia.

"Jadi jangan lagi polemik. Kalau produsen beras tahun 2017 Indonesia nomor tiga dunia. Catat ya, ini data FAO," tegasnya. 

Terkait kenaikan harga beras yang kerap menjadi polemik, Amran menegaskan hal tersebut disebabkan ulah mafia pangan. Namun demikian, di era pemerintahan Jokowi-JK, Kementan bersama Panglima TNI, Kapolri, KPPU dan Bulog sudah banyak menyelesaikan mafia pangan.

Sebanyak 409 mafia pangan sudah dikirim ke penjara dan dalam proses hukum sebanyak 782 perusahaan yang telah ditindak dengan tegas.

"Sebanyak 15 sudah di-blacklist dan sebentar lagi akan ditambah 21 perusahaan. Saya tidak biarkan mafia pangan berkeliaran di Indonesia. Ini dicatat ya. Jangan 135 juta petani di atas namakan, marah nanti petani, dan Anda kualat," tegasnya.

Bahkan Amran menyatakan tidak ada kompromi bagi mafia pangan. "Saya beresin. Ini perintah Bapak Presiden. Sebab ketahan pangan menyangkut ketahanan negara."

Beberapa waktu terakhir ini polemik sektor pertanian yang dipicu oleh aksi mengatasnamakan petani sering terjadi. Pembuangan hasil pertanian seperti buah naga, cabai, apel dan sayuran dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang ternyata bukanlah petani dan seringnya ditunggangi kepentingan politik dan mafia marak terjadi.

Permohonan maaf atas aksi buang cabai yang dilakukan oleh kelompok tani Indonesia Harapan Makmur Sugiono, di Demak. Kemudian Agus Widya Putra di Banyuwangi dalam aksinya buang buah naga, semuanya sudah minta maaf atas kekhilafan.

Begitu pula aksi para pengojek sayur dan pedagang di Kayu Aro Kerinci sudah meminta maaf atas aksi buang sayuran berupa kentang, kubis, kol dan lainnya ke jalanan yang disampaikan Rosi Vaskal bersama Pori Andani.

Pedagang apel di Malang, Jawa Timur, meminta maaf atas aksi membuang apel afkir atau busuk dari gudang ke pinggir jalan. Permintaan maaf tersebut disampaikan seorang pedagang apel, Susilo dalam surat pernyataan resmi.

"Perlu jadi perhatian semua pihak, kenapa dalam pikiran para pengamat bahwa komoditas pertanian dan Petani selalu diposisikan untuk politisasi. Jangan membuat marah 132 juta keluarga tani Indonesia. Padahal untuk dipahami sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 bahwa pemerintah hadir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya," tutup Amran.

 

 

(*)

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya