Hakim Tolak Permohonan Justice Collaborator Eni Saragih

Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun pidana penjara denda Rp 200 juta oleh majelis hakim Tipikor, Jakarta.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2019, 17:42 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2019, 17:42 WIB
Eni Maulani Saragih
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih seusai sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (1/3). Selain pidana penjara, hakim juga mencabut hak politik Eni Saragih selama tiga tahun. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa penerima suap proyek PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun pidana penjara denda Rp 200 juta oleh majelis hakim Tipikor, Jakarta. Majelis hakim juga menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Eni.

Berdasarkan kriteria justice collaborator, yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 majelis hakim menilai Eni tidak masuk kriteria, yakni pemohon bukan pelaku utama dalam satu tindak pidana, mengakui kejahatan dan membongkar pelaku lain.

"Terdakwa merupakan orang yang aktif dalam memfasilitasi beberapa pertemuan. Majelis hakim, tidak dapat mempertimbangkan justice collaborator sebagaimana yang dimohonkan terdakwa," ucap Hakim Anwar saat membacakan pertimbangan vonis Eni, Jumat (1/3/2019).

Materi yang diajukan Eni Saragih agar hakim mau mengabulkan JC-nya tidak dipertimbangkan. Dalam materi tersebut, Eni mengakui perbuatannya atau menerima suap dan gratifikasi, mengungkap keterlibatan pihak lain Johannes Budisutrisno Kotjo pemilik Blackgold Natural Resources, Setya Novanto sebagai mantan Ketua Umum Golkar sekaligus pihak yang pertama kali memperkenalkan dengan Kotjo.

Demikian pula Direktur Utama PT PLN Persero Sofyan Basir yang melakukan beberapa pertemuan untuk memuluskan Blackgold Natural Resources atau Samantaka guna dapatkan PLTU Riau-1. Eni menyebut, Sofyan Basir selaku Dirut pihak yang punya kekuasaan dan wewenang yang menunjuk investor, dan Idrus marham.

"Meski majelis hakim tidak mempertimbangkan JC yang dimohonkan terdakwa namun majelis hakim mengapresiasi sikap terdakwa dan patut dijadikan alasan meringankan penjatuhan pidana," tandasnya.

 

Vonis Tambahan

Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Eni berupa pencabutan haknya dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun usai menjalani pidana pokoknya.

Ia juga diwajibkan mengembalikan uang hasil suap dan gratifikasi sejumlah Rp 5,087 miliar dalam waktu 1 bulan setelah berkekuatan hukum tetap. Apabila tidak mampu membayar, maka asetnya akan dilelang sesuai jumlah kewajibannya.

"Apabila tidak memiliki harta benda yang mencukupi maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan," ujarnya.

Eni dinyatakan terbukti bersalah menerima suap Rp 4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Ia juga menerima gratifikasi dengan jumlah Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu dari Prihadi Budi Santoso sebagai Direktur PT Smelting Rp 250 juta, Herwin Tanuwidjaja Direktur PT One Connect Indonesia SGD 40 ribu dan Rp 100 juta, Samin Tan pemilik PT Borneo Lumbung Energi&Metal Rp 5 miliar, dan Iswan Ibrahim Presdir PT Isargas Rp 250 juta.

Eni dinyatakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 12 B Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya