Liputan6.com, Jakarta - "Tolong kami Pak Ustaz Bernard. Jangan sampai ada anarkis. Bantu kami ustaz..."
Kalimat bernada memohon itu disampaikan Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan lewat pengeras suara.Â
Rabu petang, usai buka puasa dan salat Maghrib, kerusuhan mendadak pecah di tengah-tengah massa aksi 22 Mei. Sebagian massa di depan Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin itu melempar aparat dengan kemasan air mineral, batu, kembang api, hingga molotov.Â
Advertisement
Tak sedikit aparat yang terluka karena belum siap menghalau massa. Dengan sigap, aparat yang lain langsung membentuk barikade. Sebagian lainnya melontarkan gas air mata ke arah massa yang rusuh.
Namun upaya aparat menghalau kericuhan justru membuat perusuh semakin anarkistis. Kombes Harry Kurniawan sadar, perusuh hanya segelintir orang yang menyusup di tengah-tengah massa aksi damai.
Harry pun memerintahkan anggotanya bertahan tanpa perlawanan. Melalui pengeras suara, dia mencoba bernegosiasi dengan massa perusuh, namun tak dihiraukan.
Perwira menengah Polri itu berkali-kali memanggil nama Bernard Abdul Jabbar dan Jumhur Hidayat melalui pengeras suara agar ikut membantu menenangkan massa. Kedua tokoh itu terdaftar sebagai koordinator massa Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) yang beraksi di depan Bawaslu.
Kepolisian mengidentifikasi, kerusuhan usai buka puasa pada Rabu 22 Mei 2019 itu dilakukan oleh penyusup. Polisi memastikan terdapat dua segmen massa pada peristiwa yang terjadi selama dua hari itu.
"Ada dua peristiwa yang terpisah antara massa damai dan massa perusuh, ini beda," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Begitu juga kerusuhan yang terjadi pada Selasa malam 21 Mei 2019. Sekelompok orang tiba-tiba memprovokasi dan melempari aparat sesaat setelah massa aksi damai membubarkan diri usai salat Tarawih di depan Bawaslu.
Kerusuhan merembet di sejumlah titik di kawasan Jalan Sabang, Petamburan, Tanah Abang, dan flyover Slipi hingga Rabu pagi. Polisi berhasil menangkap ratusan orang perusuh yang diketahui berasal dari luar Jakarta.
"Kami menemukan 2 tersangka dari luar Jakarta yang terafiliasi dengan kelompok Garis (Gerakan Reformis Islam). Kelompok Garis ini juga terafiliasi dengan kelompok tertentu," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, Garis merupakan pendukung kelompok teroris ISIS. Mereka mengaku ingin berjihad dengan menunggangi aksi 22 Mei. Dari keterangan dua tersangka itu, polisi tengah mengejar tokoh yang bertanggung jawab pada kerusuhan tersebut.
Rupanya bukan hanya Garis yang menyusup di aksi 22 Mei. Iqbal mengatakan, ada kelompok lain yang menjadi perusuh. Mereka diduga berkaitan dengan penangkapan enam orang tersangka kasus dugaan penyelundupan senjata api sebelum aksi 22 Mei bergulir.
"Ini kelompok yang berbeda. Ini kelompok yang ingin menyiapkan kerusuhan, menciptakan martir sehingga terjadi kemarahan publik terhadap aparat keamanan. Kami terus mendalami," ucapnya.
Namun polisi belum mengungkap siapa aktor intelektual di balik kerusuhan 22 Mei tersebut. Iqbal mengatakan, saat ini kepolisian tengah mendalami dan memburu dalang perusuh berdasarkan keterangan tersangka serta bukti yang dimiliki.
Saat dikonfirmasi, pendiri sekaligus pentolan Garis, Chep Hermawan membantah keterlibatan kelompoknya di tengah rusuh Jakarta. "Itu fitnah belaka," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (23/5/2019).
Menurut Chep, pihaknya tidak mengirimkan pasukan atau laskar ke Aksi 21-22 Mei. Dia mengaku hanya menerjunkan dua unit ambulans yang masing-masing berisi empat orang, yaitu petugas medis dan sopir.
"Inisiatif kami karena dengar ada aksi 22 Mei, makanya kami kirim tim medis," ujar Chep.
Senada dengan kepolisian, pengamat intelijen Wawan Purwanto mengatakan bahwa massa perusuh berbeda dengan peserta aksi 22 Mei. Ia menduga, keberadaan perusuh merupakan pesanan untuk menciptakan kekacauan di Jakarta.
"Kita lihat memang ada upaya menciptakan krisis yang meluas, karena agendanya memang begitu. Tapi ini kan sudah diantisipasi oleh aparat keamanan sehingga mereka dipersempit ruang geraknya," kata Wawan kepada Liputan6.com.
Wawan menilai, aparat perlahan mulai menguak siapa pendana, penghubung, hingga pemesan kelompok perusuh tersebut. Apalagi polisi telah menangkap ratusan perusuh dan provokator berikut barang bukti berupa mobil ambulans berlogo Partai Gerindra yang berisi batu, amplop, dan uang.
Dia yakin, polisi dengan mudah dapat mengungkap dalang kerusuhan tersebut hingga memprosesnya ke pengadilan. "Melihat bukti, clue ke arah sana memang ada. Tinggal ditindaklanjuti. Menurut saya line up-nya sudah mulai tampak terang," ucap Wawan.
Namun Wawan enggan berspekulasi apakah penyidik berani mengusut hingga tuntas seandainya melibatkan tokoh besar. "Soal itu kewenangan kepolisian. Karena semua kan ada pertimbangan-pertimbangan hukum. Bagaimana langkah lanjutannya, itu kewenangan yudikatif," ia menandaskan.
Pengamat intelijen, Khoirul Fahmi menyoroti temuan peluru yang berhamburan di sekitar mobil dinas Brimob saat kerusuhan di kawasan Slipi dan banyaknya korban berjatuhan. Dia berharap aparat mengungkap kasus tersebut hingga tuntas namun penuh kehati-hatian.
"Kalau memang ada pihak ketiga ya jangan ditutup-tutupi, baik (pihak ketiga) dari peserta aksi atau penegak keamanan ada yang berkepentingan membuat Indonesia menjadi tidak aman. Tapi jangan juga nanti kemudian main tunjuk yang itu mengorbankan prajurit-prajutit di lapangan," ucapnya.
Namun dia tidak bisa memastikan apakah penembakan itu berkaitan dengan peristiwa penangkapan mantan Danjen Kopassus Mayjen Purnawirawan Soenarko terkait dugaan penyelundupan senjata api sebelum aksi 22 Mei. Dia menilai tudingan tersebut berlebihan.
"Saya belum melihat benang merahnya keterlibatan kasus eks Danjen Kopassus dengan kerusuhan. Saya melihat ini berlebihan. Ketika kasus upaya penyelundupan senpi ini terungkap, saya khawatir ketika ada penembakan nanti ini akan dikaitkan," kata Khoirul.
Khoirul pun berharap aparat dapat mengungkap kasus penembakan dan penemuan peluru pada kerusuhan 22 Mei itu berdasarkan bukti yang kuat.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Temuan Peluru
Sejak awal, pemerintah menyampaikan, aparat TNI-Polri dilarang menggunakan peluru tajam saat mengamankan aksi 22 Mei 2019. Aparat keamanan hanya dibekali tameng, gas air mata, dan water canon untuk menghalau massa yang ricuh.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, larangan tersebut dilakukan untuk menghindari upaya adu domba pada 22 Mei. Hal ini juga untuk menghindari TNI-Polri menjadi korban tuduhan oleh kelompok yang ingin memanfaatkan kerumunan massa.
"Seperti apa? Ya bisa melakukan menembak pada kerumunan, akhirnya seolah-olah tembakan dari aparat kemananan, TNI-Polri," ujar dia.
Kekhawatiran Moeldoko terbukti, banyak pihak yang menuding aparat menembaki massa saat kerusuhan pecah di kawasan Slipi dan Tanah Abang, Jakarta pada Selasa malam 21 Mei hingg Rabu 22 Mei pagi. Apalagi terdapat korban tewas dan luka-luka dalam kerusuhan tersebut.
Salah satu kecaman dilontarkan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais. Lewat sebuah video yang diunggah di akun Instagram @amienraisofficial, tokoh yang cukup vokal menyerukan gerakan people power itu meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertanggung jawab atas hal itu.
Sambil memegang sebuah selongsong peluru, ia menyebut aparat kepolisian telah bertindak ugal-ugalan. Namun belakangan, Amien meralat tudingannya setelah mendengar penjelasan dari Polri.
"Insyaallah yang menembaki itu bukan dari Polri. Tapi siapapun itu, kita akan kejar," seru Amien kepada para demonstran 22 Mei di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal kembali menegaskan, aparat keamanan tidak dibekali peluru tajam.
Polisi belum bisa memastikan korban tewas pada kerusuhan 22 Mei akibat tertembak peluru tajam. Apalagi korban tewas belum dilakukan autopsi.
"Kami yakinkan kalau ada yang peluru tajam, itu bukan (dari) personel Polri dalam konteks unjuk rasa ini," kata Iqbal.
Berdasarkan data kepolisian, sejauh ini total korban meninggal pada kerusuhan 22 Mei berjumlah tujuh orang. Satu di antaranya teridentifikasi tertembak peluru tajam. Sementara penyebab kematian korban lainnya masih menunggu proses autopsi. Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut ada delapan korban tewas.Â
Beberapa hari sebelum aksi 22 Mei, sejumlah orang ditangkap aparat Polri-TNI terkait dugaan penyelundupan senjata api ilegal. Di antaranya mantan Danjen Kopassus Mayjen Purnawirawan Soenarko yang ditangkap bersama sopir dan seorang anggota TNI aktif pada 19 Mei 2019.
Menko Polhukam Wiranto mengatakan, Soenarko telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polisi Militer Guntur. Dia ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan memiliki dan menguasai senjata api ilegal.
"Dalam situasi seperti ini tidak diizinkan, dan itu tidak mengada-ada," kata Wiranto.
Penyidikan kasus tersebut dilakukan di Markas Puspom TNI, Cilangkap. "Hal ini dilakukan karena salah satu oknum yang diduga pelaku berstatus sipil (Mayjen Purn S), sedangkan satu oknum lainnya berstatus militer (Praka BP)," kata Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi.
Dalam operasi itu, polisi menyita barang bukti berupa senapan M4. Senjata laras panjang itu dilengkapi dengan peredam suara dan visir atau semacam teleskop yang biasa digunakan penembak jitu.
Polisi juga menangkap tiga orang pada 21 Mei 2019 terkait dugaan kepemilikan senjata ilegal untuk aksi 22 Mei. Dari tangan ketiga tersangka, disita senjata revolver jenis Taurus dan Glock termasuk dua dus peluru yang berisi lebih dari 50 butir.
Meski begitu, isu penggunaan peluru tajam pada aksi 22 Mei masih menjadi teka-teki. Termasuk kemungkinan siapa yang menembak massa menggunakan peluru tajam.
Pada kerusuhan yang terjadi di kawasan fly over Slipi, sejumlah kendaraan milik polisi dibakar dan dirusak massa. Dari salah satu mobil Brimob yang dirusak, ditemukan ratusan butir peluru berhamburan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan, kendaraan yang dirusak merupakan mobil Komandan Kompi (Danki) Brimob. Sesuai SOP, Danki Brimob boleh membawa peluru tajam untuk kepentingan peleton antianarki dengan pengawasan ketat pimpinan.
"Sesuai SOP, danki Brimob diizinkan membawa peluru tajam. Peluru tajam kegunaannya hanya untuk peleton antianarkisme," kata Dedi.
Dia menjelaskan, peleton antianarkisme dikendalikan langsung oleh Kapolda dan hanya diterapkan saat kerusuhan bersifat sangat masif. Namun Dedi memastikan, Polri belum melibatkan peleton antianarkisme pada kerusuhan 22 Mei kemarin.
"Berdasarkan dari eskalasi saat ini belum diturunkan," ucap Dedi, Kamis (23/5/2019).
Â
Advertisement
Perusuh Bayaran
Menko Polhukam Wiranto telah mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai adanya 'penumpang gelap' yang mengambil keuntungan dari panasnya situasi politik dalam negeri. Hal itu disampaikan Wiranto sebelum KPU mengumumkan hasil Pemilu dan Pilpres 2019.
Peringatan soal potensi aksi 22 Mei ditunggangi kelompok tertentu juga sering disampaikan kepolisian. Beberapa kali Polri menyatakan bahwa jaringan teroris yang berhasil ditangkap belum lama ini berencana melakukan amaliah dengan memanfaatkan momentum unjuk rasa pemilu.
Aksi yang dilakukan di depan Gedung Bawaslu pada Selasa 21 Mei semula berlangsung damai dan tertib. Melalui kesepakatan, sekitar pukul 21.00 WIB massa aksi akhirnya membubarkan diri setelah salat tarawih.
Namun pukul 23.00 WIB tiba-tiba muncul sekelompok massa yang melakukan provokasi dan tindakan anarkis terhadap petugas. Kerusuhan pun pecah di sejumlah titik di sekitar Bawaslu, mulai Jalan Sabang, Petamburan, hingga kawasan Slipi dan berlangsung sampai Rabu pagi.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memastikan, massa yang melakukan kerusuhan berbeda dengan peserta aksi damai di depan Bawaslu. Kelompok perusuh itu merupakan massa bayaran. Hal itu terbukti dari temuan di lapangan.
Selain menangkap sejumlah perusuh, polisi juga menyita satu unit mobil ambulans dengan logo Partai Gerindra. Dalam mobil bernopol B 9868 PCF itu, ditemukan sejumlah batu, amplop, dan uang tunai total sekitar Rp 6 juta.
Massa perusuh yang ditangkap mengaku dibayar. "Mereka mengaku ada yang membayar. Sebagian dari pelaku yang anarkistis ini memiliki tato," kata Tito.
Pernyataan Tito didukung Wiranto. Dia mengatakan, massa perusuh merupakan preman bayaran bertato. Mereka disiapkan untuk menghasut masyarakat seolah-olah aparat bertindak sewenang-wenang terhadap massa aksi 22 Mei.
"Ada skenario membuat kekacauan agar menyalahkan petugas, membangun antipati pada pemerintah yang sah," kata Wiranto.
Mantan Panglima ABRI itu juga menegaskan, pihaknya telah mengetahui siapa dalang kerusuhan 22 Mei itu. "Dari hasil investigasi saat ini, sudah mengetahui dalang aksi tersebut," kata Wiranto.
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengecam kerusuhan yang terjadi pada 22 Mei 2019. Salah satu ormas Islam terbesar itu mendesak aparat kepolisian mengusut kasus yang menimbulkan banyak korban tersebut.
"Intinya, kita mengecam keras segala kerusuhan yang terjadi oleh para perusuh anarkis," ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta.
Dia berharap seluruh tokoh bersikap cerdas dengan tidak mengeluarkan pernyataan yang membuat panas situasi. Haedar juga mendorong pertemuan antara dua kandidat yang bertarung di Pilpres 2019 untuk mendinginkan suhu politik.
"PP Muhammadiyah sejak awal, bahkan ketika ormas-ormas Islam juga bertemu dengan Wakil Presiden RI Pak Jusuf Kalla menyampaikan imbauan dan ajakan agar Pak Jokowi dan Pak Prabowo bertemu. Mungkin soal waktu saja," ucapnya.