Liputan6.com, Jakarta - Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI), Agus Sudibyo meluncurkan buku disertasinya yang berjudul "Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben". Buku ini mempermasalahkan hubungan antara keadaan darurat dengan demokrasi.
Sebab, sejarah menunjukkan bahwa demokrasi selalu lahir dari adanya keadaan darurat.
Baca Juga
"Manifestasi keadaan darurat itu adalah adalah revolusi, suksesi, reformasi, kudeta, people power. Pertanyaannya, setelah situasi transisional berlalu, bagaimana keadaan darurat ditempatkan dalam normalitas negara demokrasi?" kata Agus di Hall Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Advertisement
Agus menjelaskan, dalam konteks Indonesia, kajian disertasi Agus terhadap Giorgio Agamben dapat menjadi peringatan kepada semua pihak untuk tidak terburu-buru menyatakan keadaan darurat guna menangguhkan sebuah keputusan demokrasi.
Sebab, hal itu bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi. Klaim keadaan darurat sebaiknya tidak dilakukan berlebihan.
"Keadaan darurat juga menjadi alasan pembenar bagi kelompok masyarakat untuk melawan hukum dan kekuasaan resmi," ujar Agus.
"Ketika kedaruratan begitu sering didalilkan untuk melegitimasi langkah-langkah ekstra konstitusional, maka sulit untuk membedakan keadaan krisis dan keadaan normal, antara keberadaan hukum dan kekosongan hukum," lanjutnya.
Jangan Patah Semangat
Agus menambahkan, Giorgio Agamben menyebut dalam penelitiannya bahwa rezim demokrasi tidak secara konsekuen menempatkan keadaan darurat sebagai momentum sejarah yang cukup sekali saja terjadi.
Dalam kata lain, demokrasi hampir selalu lahir karena adanya keadaan darurat. Karenanya, disertasi Agus justru mempertanyakan bagaimana hal ini bisa dihindari di Indonesia.
"Menggunakan istilah yang demokrasi ngetren di Indonesia saat ini, mengapa kedaruratan justru dilembagakan sehingga menjadi fenomena yang sistemik, struktural dan massif?" ucapnya.
Agus meminta agar berbagai pihak tak patah harapan terhadap demokrasi. "Mari kembali ke normalitas demokrasi. Mari kembali ke koridor demokrasi dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam realitas penyelenggaraan kekuasaan, pelaksanaan pemerintahan maupun hubungan antar warga," dia mengakhiri.
Â
Advertisement