Liputan6.com, Jakarta Hari ini, tepat 19 tahun yang lalu, Selasa 1 Agustus 2000, sebuah bom meledak di depan kediaman Duta Besar (Dubes) Filipina di kawasan Menteng, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Bom diketahui berasal dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah itu.Â
Ledakan yang terjadi pada saat jam makan siang itu mengakibatkan dua orang tewas, yaitu seorang wanita pedagang dan penjaga kediaman Dubes Filipina tersebut. Tercatat pula 21 orang lainnya terluka, termasuk Duta Besar Leonides T Caday .
Dikarenakan lokasinya berdekatan dengan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan rumah Dubes Bulgaria, bom tersebut juga mengakibatkan rusaknya kedua bangunan tersebut serta puluhan kendaraan yang tengah parkir serta melintas di kawasan yang umumnya kantor pemerintah dan rumah diplomat asing.Â
Advertisement
Menurut keterangan penyidik Polda Metro Jaya, bom yang meledak memiliki daya ledak tinggi serta sulit dideteksi dengan alat pendeteksi bom dan metal detektor, kecuali menggunakan kertas pendeteksi bom.
Sejumlah nama kemudian terseret sebagai pelaku, antara Iwan Setiawan alias Husein, Nuryadin, Irwan bin Ilyas, serta Kopda Ibrahim Hasan. Belakangan, Abdul Jabar bin Ahmad Kandai menyerahkan diri ke Mapolda Nusa Tenggara Barat dengan diantar seorang anggota keluarganya pada tahun 2002.
Dari keterangan Abdul didapatkan informasi bahwa dirinya tidak sendiri, melainkan adanya keterlibatan dua pelaku lainnya dalam pengeboman, yakni Faturrahman Al-Ghozi alias Saad dan Edi Setiono alias Usman.
Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakpus, Senin 7 Juli 2003, diisi dengan mendengarkan kesaksian dua korban luka-luka, yakni sopir Dubes Bulgaria dan petugas kebersihan.
Saksi pertama yaitu sopir Dubes Bulgaria bernama Dwi Warno menyatakan dirinya mendengar ledakan saat mobil Dubes Filipina masuk ke kediamannya. Akibat ledakan itu, Dwi Warno terpental hingga 15 meter dan mengalami luka serta patah kaki. Untuk meyakinkan kesaksiannya, Dwi sempat menunjukkan bekas luka pada penasihat hukum terdakwa.
Sementara saksi lainnya, Titin Supriatian menyatakan, dirinya melihat tiga orang yang memarkir mobil Suzuki Carry warna merah di lokasi kejadian. Bahkan, seorang di antara pelaku sempat menitipkan kendaraan ketika ia tengah menyapu di depan lokasi kejadian. Kendati begitu, wanita yang mengalami luka di bagian kaki ini mengaku tak mengingat apakah Abdul Jabar termasuk di antara ketiga orang itu.
Â
Motif Balas Dendam
Kemudian persidangan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 8 September 2003, Abdul mengakui keterlibatannya dalam pengeboman Kedubes Filipina.
Keterlibatannya diakui berawal dari Usman yang memintanya untuk mencari tahu lokasi Kedubes Filipina dan sebuah rumah kontrakan yang akhirnya didapat di Jalan Anggrek Raya Duren Sawit Jakarta Timur. Di rumah kontrakan itulah ia diperkenalkan dengan Al Ghozi yang kala itu menyebut dirinya sebagai Saad.
Baru beberapa waktu kemudian, Saad menjelaskan bahwa dirinya merupakan anggota Fron Pembebasan Islam Moro (MILF) utusan Syekh Slamet Hasyim. Saad juga memperlihatkan kliping surat kabar berisi berita tentang pembakaran Kamp Abu Bakar di Mindanao, Filipina Selatan kepada Abdul.
Saad juga menjelaskan kepada Abdul bahwa dirinya mendapat tugas memburu Dubes Filipina di Jakarta sebagai aksi balas dendam. Terdakwa mengaku ia sempat mengangkut bahan-bahan peledak yang disimpan di tiga karung dan memasukkan ke dalam mobil Suzuki Carry warna merah. Pada waktu itu terdakwa mengaku tak tahu isi karung itu.
Mereka kemudian menuju lokasi rumah Dubes Filipina secara terpisah. Usman membawa mobil Carry merah yang berisi bahan peledak, sedangkan terdakwa dan Saad mengendarai motor. Terdakwa mengaku tidak melilhat saat mobil itu diparkir di depan rumah Dubes Filipina.
Ia saat itu mengikuti Saad yang membuntuti mobil Dubes Filipina yang baru keluar dari kantornya, Kedutaan Besar Filipina, sekitar 200 meter dari lokasi kejadian.
Saat mobil Dubes mendekat, Saad memencet remote control berbentuk Handy Talky untuk meledakkan bom. Menurut pengakukan terdakwa usai peledakan itu dirinya menerima uang dari Usman Rp 800 ribu dan Rp 500 ribu dari Hambali.
Setelah diusut, Hambali yang dimaksud oleh Abdul adalah sosok yang selama ini disebut tokoh teroris Asia Tenggara.
Para terdakwa kasus ini kemudian divonis bersalah dengan hukuman penjara yang bervariasi. Iwan Setiawan alias Husein divonis 15 tahun penjara, Nuryadin divonis 20 tahun penjara, Irwan bin Ilyas dan Kopda Ibrahim Hasan divonis seumur hidup. Terakhir, Abdul Jabar bin Ahmad Kandai dijatuhi hukuman 30 tahun penjara.
Â
Reporter: Nabila Bilqis
Advertisement