Pernah Ditolak MK, Pasal Penghinaan Presiden Muncul di RKUHP yang Akan Disahkan

Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Sep 2019, 11:30 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2019, 11:30 WIB
Tolak Rancangan KUHP
Masyarakat dari "Aliansi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan KUHP" melakukan demontrasi di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (12/2). Mereka menolak RUU KUHP karena dianggap tidak demokratis. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR akan mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 24 September 2019 mendatang. Beberapa pasal dalam RKUHP masih menjadi sorotan salah satunya pasal penghinaan terhadap presiden.

Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Namun pada RKHUP kali ini pasal itu muncul lagi. Berdasarkan draf RKHUP yang diterima merdeka.com pertanggal 28 Agustus, setidaknya ada tiga pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap harkat dan kehormatan presiden di RKUHP diantaranya pasal 218, 219, 220.

Pasal 218 ayat 1 berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV,"

Sedangkan ayat 2 berbunyi "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,".

Pasal 219 berbunyi "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV,".

Namun pada pasal selanjutnya diatur bahwa Pasal 218 dan Pasal 219 berlaku jika ada aduan. Aduan itu juga harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan yakni presiden atau wakil presiden atau diwakili kuasa hukum masing-masing.

Pasal 220 ayat 1 berbunyi "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat 2 berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil Presiden,". 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Utamakan HAM

Anggota Komisi III yang juga anggota Panja RKUHP Teuku Taufiqulhadi menegaskan dalam penyusunan RKUHP saat ini, pihaknya selalu mementingkan aspek hak asasi manusia (HAM). Karena itu pasal itu kembali diadakan.

"Panja juga mempertimbangkan perkembangan HAM sekarang ini, tetapi telah saya katakan tadi, bahwa persoalan tersebut itulah bukan semuanya kemudian kita harus kejar, karena kenapa belum tentu kalau kita mengejar itu sesuai dengan bangsa kita, ini harus paham betul ini," kata Taufiqulhadi di Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Taufiqulhadi juga menegaskan pasal ini tidak akan mengganggu kebebasan berpendapat. Sebab, delik pasal tersebut adalah aduan.

"Pasal penghinaan kepada Presiden, harus ingat, orang mengatakan kok masih ada pasal ini padahal sudah di batalkan oleh MK, ini adalah berbeda, berbeda sama sekali, karena kenapa, ini adalah pasal dan deliknya adalah delik aduan, jadi harus ada yang melaporkan," ucapnya.

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya