Benarkah UU KPK Perlu Direvisi?

DPR telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Sep 2019, 07:28 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2019, 07:28 WIB
Pegawai KPK
Para Pegawai KPK ramai-ramai berkumpul di Gedung KPK untuk menyatakan penolakan akan rencana DPR melakukan revisi UU KPK.

Liputan6.com, Jakarta - DPR telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Enam poin utama revisi UU KPK tersebut adalah, pembentukan dewan pengawas, penyadapan, menambahkan kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK.

Kemudian kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Hal ini pun menjadi pro kontra.

Namun, Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai revisi UU KPK diperlukan. Dengan alasan persoalan dan modus korupsi makin berkembang sejak KPK pertama kali dibentuk.

"Persoalan korupsi, modus dan lain-lain terus berkembang. Yang dikhawatirkan adalah Undang-Undangnya yang ketinggalan," ujar Sulthan di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).

Dia menyebut kasus korupsi bertambah tiap tahun. Sulthan menilai karena KPK terlalu fokus penindakan daripada pencegahan. Padahal, menurutnya KPK harus menjalani kerjasama dengan banyak pihak untuk mencegah kebocoran anggaran. Hal itulah, kata dia, alasan UU KPK perlu revisi.

"Kita sudah memberikan waktu selama 17 tahun, ayo dong sekali-kalau kita coba sekarang pencegahan, artinya apa sistem yang dibangun," jelasnya.

Sulthan menyebut KPK kurang diawasi dalam hal penyadapan. Menurutnya KPK bebas melakukan penyadapan tanpa pihak yang melakukan kontrol dan pengawasan. Dia menilai, ketiadaan pengawasan membuka potensi berbagai pelanggaran.

"Kita tidak pernah tahu seseorang itu berapa lama dia disadap alat komunikasinya, berapa lama dia disadap pembicaraannya, atau orang 1x24 jam semua bicara masalah korupsi, kan tidak. Ada privasi keluarga di situ, ada hutang piutang dan sebagainya," ujar Sulthan.

"Selama ini bagaimana itu, kita kan tidak pernah tahu yang di luar KPK. Alasannya dia ambil yang menjadi alat bukti dia bawa ke persidangan, tapi untuk mendapatkan itu ada berapa hak-hak orang yang dilanggar," tambahnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pembatasan Lama Penyadapan

Oleh sebab itu, Sulthan menyarankan perlu ada pembatasan masa penyadapan. Misalnya tiga sampai enam bulan. Selain itu, dia menyarankan ada pihak yang memberi izin kepada KPK sebelum melakukan penyadapan.

"Terserah apa mau diberikan ke dewan pengawas kalau di dalam draf revisi atau mau dikasih ke ketua pengadilan juga tidak masalah," ujar Sulthan.

Dia juga mengatakan kekhawatiran KPK akan adanya kebocoran jika penyadapan memerlukan izin dari pihak luar, hanya merupakan sebuah asumsi yang sengaja dibangun. Kata Sulthan, jika logikanya dibalik, tidak adanya eksternal membuat KPK bertindak sewenang-wenang.

"Kita belum pernah mencoba sebenarnya bagaimana penyadapan ini, bagaimana ini kita kan ga pernah tahu, sama sekali tidak tahu berapa lama. Kemudian setelah itu file-nya dikemanakan. Saya pikir ini momentum yang paling tepat umtuk buka-bukaan," pungkasnya.

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya