Liputan6.com, Jakarta - Panggil dia Laura, umur 45 tahun. Nama aslinya rahasia. Identitas disamarkan rapat-rapat di balik polesan bedak tebal, merahnya gincu, dan dandanan bak wanita. Senyum selalu tersungging di bibir, meski lelah bukan kepalang menyusuri jalanan Jakarta. Semua demi mengais rezeki untuk keluarga.
Laura mengaku sebagai lelaki tulen. Ia punya istri dan dua anak yang masih kecil. Profesi sebagai pengamen waria disembunyikannya rapat-rapat dari keluarga. Mereka cukup tahu, sang ayah kerja di toko. Entah di mana tokonya berada.
Baca Juga
Menjadi pengamen waria terpaksa dilakoninya Sejak kena PHK dari pekerjaannya sebagai penjaga toko, dia harus memutar otak untuk bisa menyambung hidup. Ada hal menarik di balik nama aliasnya. Laura adalah singkatan dari 'lanang ora, wedok ora' atau 'bukan pria, bukan wanita'.
Advertisement
Berawal dari membawa tape recorder, Laura akhirnya ikut berdandan dan berjoget. “Pertama dandan, rasanya sedih, sedih banget. Namanya aku bukan waria asli, ya sampai ngeluarin air mata. Pakai wig pun istilahnya pusing banget, kucopot malah diketawain orang, sedih lagi,” ungkap Laura kepada Liputan6.com. Perlakuan tak menyenangkan dari sejumlah warga membuat hatinya kian nelangsa.
Tapi ia tak punya pilihan lain. "Kalau aku mundur masa depanku bagaimana? Kalau mau maju, aku harus tahan mental,” lanjutnya. "Aku tahu begini nggak boleh, tapi pertanggungjawaban saya sama yang di Atas saja."
Seiring berjalannya waktu, Laura kian menghayati lika-liku pekerjaannya sebagai pengamen waria. "Sehari, aku bisa dapat Rp 100.000, Rp 150.000. Kalau dapat Rp 150.000, yang 50 ribu buat ongkos jalan lagi, yang ribu 100 aku tabung,” ungkap Laura.
Suatu ketika, ia sempat pindah profesi. Namun, upah yang diterima tak cukup untuk menafkahi keluarganya. "Pernah kerja proyek, cuma enggak cukup. Namanya kita keluarga, anak masih menyusu. Sudahlah begini saja, nyaman," imbuh Laura.
Di jalanan, Laura bersahabat baik dengan Imel (35) dan Artis (25). Kedua rekannya adalah waria asli. Imel bahkan sudah menjalani prosedur suntik payudara dan bibir agar lebih feminin.
Imel mengamen setelah berhenti dari pekerjaannya di salon. Keluarganya sama sekali tak tahu. Beda dengan Laura, ia mengamen karena ia waria. Penampilannya bikin Imel susah dapat kerja. “Harapan kita waria itu bisa dilindungi, gitu,” ujarnya, pelan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Harus Berjalan Jauh
Laura tak tinggal bersama Imel dan Artis. Setiap jam 07.00 WIB, dia harus datang ke kontrakan kedua temannya naik sepeda motor.
Kemudian, ketiganya sibuk merias diri. Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk mendapatkan tampilan yang dianggap pas. Setelah itu, mereka naik angkot ke Stasiun Duren Kalibata. Perjalanan lanjut naik kereta ke Stasiun Depok Baru.
Perjalanan jauh Laura, Imel, dan Artis dimulai dari sana. Ketiganya mengamen menyusuri kawasan Stasiun Depok Baru hingga Citayam. Jaraknya, kurang lebih 6 kilometer dan tak lurus. Mereka juga keluar masuk gang di permukima warga, juga ke kawasan pertokoan. Total perjalanan, pergi pulang, menempuh jarak sekitar 12 kilometer.
Saat itulah, cobaan kerap ditemui. “Aduh banyak banget kalau kita lagi jalan, kadang (orang naik) motor, teriak 'bencong', gitu. 'Bencong goblok'. Sakitnya di dalam kadang, sampai pernah kejadian sekali-kalinya naik motor diludahin. Cuih gitu, najis (katanya) gitu,” kata Laura
Meski dihina, mereka mengaku memilih untuk sabar dan tak melawan. Sebab, ketiganya tak ingin mencari masalah. Lagipula, tak jarang juga ada yang memperlakukan Laura, Imel, dan Artis dengan baik.
Ada yang mengajak mereka bercanda, atau bahkan memberi nasi kotak.“Ya pokoknya dibilang senangnya sama susahnya, ya sebenarnya rata sih, 50-50. Jadi pas kita lagi di sini dicemooh orang, di sana kita dikasih berapa ribu. Yah ada obatnya gitu (untuk sakit hati),” kata Laura, tertawa.
Advertisement
Jadi Sasaran Diskriminasi
Cerita seperti Laura, Imel, dan Artis kerap dirasakan waria. Banyak yang masih tak bisa menerima keberadaan mereka hingga berujung pada penolakan. Tak jarang disertai hinaan dan kekerasan. Padahal, mereka jugalah bagian dari masyarakat.
Psikolog Yayasan Pulih, Danika Nurkalista menjelaskan, waria atau transpuan memiliki sebuah kondisi psikologis yang dikenal sebagai gender dysphoria.
“Yaitu konflik antara gender yang dihayati dengan yang terberi. Mereka tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri dan terdorong untuk mengekspresikan diri sebenarnya yang ia rasakan,” jelas Danika saat dihubungi Liputan6.com.
Dia menegaskan, hal ini bukan berarti seorang waria jadi harus dihindari atau dikucilkan. Menurutnya, masyarakat justru harus mengerti agar tak membuat waria merasa semakin tertekan.
“Transpuan kerap dapat stigma dan jadi sasaran diskriminasi. Padahal, kalau di psikologi seseorang yang mengalami gender dysphoria dibantu untuk menerima diri apa adanya. Dan juga membantu mereka memilih solusi dari masalah yang mereka hadapi,” ucap Danika.
“Trans kerap mengalami penyakit mental seperti depresi karena penolakan-penolakan yang mereka alami dari orang-orang sekitarnya. Teman-teman trans berhak untuk mengoptimalkan diri di masyarakat dan bebas dari diskriminasi,” lanjutnya.
Senada dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Ricky Gunawan menjelaskan, banyak orang takut akan keberadaan waria karena sumber informasi yang kurang atau keliru.
“Keberadaan waria di masyarakat Indonesia sebenarnya juga sudah ada sejak lama. Jadi seharusnya menyikapi keberadaan waria itu biasa saja. Waria juga manusia seperti manusia lainnya, hanya saja identitas gendernya tidak seperti yang mayoritas,” ungkap Ricky kepada Liputan6.com.
“Oleh karena itu, kita tetap perlu menghormati hak-hak waria sebagai manusia,” sambungnya.
Setara dengan yang Lain
Ricky menambahkan, waria adalah bagian dari keberagaman manusia. Menurutnya, mereka juga memiliki kehidupan yang sulit karena harus menghadapi stigma dan diskriminasi setiap harinya. Karena itu, waria harus diperlakukan dengan setara.
Adanya persoalan stigma dan diskriminasi juga membuat banyak waria tak memiliki akses atau kesempatan bekerja di sektor formal.
“Dan akhirnya mengamen adalah opsi pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Pun demikian, menurut saya, selama mengamen dilakukan tanpa kekerasan, pekerjaan itu sah-sah saja, dan tidak salah, serta tetap terhormat,” kata Ricky.
Lebih dari itu, dia menyatakan LBHM turut terlibat dalam kerja edukasi dan kampanye untuk menyuarakan pentingnya menghargai sesama manusia kepada masyarakat. Hal ini agar masyarakat bisa secara bertahap menyadari pentingnya penghormatan terhadap manusia, termasuk mereka yang berbeda dari mayoritas seperti waria.
Dia berharap, masyarakat nantinya bisa menerima dan merangkul para waria di Indonesia.
“Di samping itu, LBHM setiap tahunnya mendokumentasikan pelanggaran HAM dan kekerasan yang dialami teman-teman waria juga guna menyampaikan kepada negara dan publik bahwa pelanggaran HAM itu tidak boleh diteruskan dan harus bisa dihentikan,” pungkas Ricky.
Advertisement