Liputan6.com, Jakarta Rumah itu sederhana. Cat dinding warna putihnya sudah mulai memudar. Pintunya penuh dengan tempelan stiker. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah itu. Apalagi letaknya yang berada di perkampungan padat, di ujung gang Jalan Gowongan Lor III/148 Jetis, Kota Yogyakarta.
Baca Juga
“Haloo, maaf menunggu lama ya nak, saya Mami Vin”. Seseorang menyapa saya yang duduk di ruang tamu.
Advertisement
Berbalut gamis hitam yang dipadu jilbab mustard ia menjabat tangan saya ramah. Sekilas ia terlihat seperti wanita pada umumnya dengan kacamata persegi yang ada di wajahnya dan lipstik warna nude yang manis di bibirnya.
Mami Vin adalah pemilik rumah tersebut. Ia mempunyai nama kecil Wakidjo. Tapi perjalanan hidupnya membuatnya mengubah nama menjadi Vinolia Wakidjo. Kesan penampilan laki-lakipun sudah tergantikan dengan penampilan perempuan. Kini ia lebih dikenal dengan nama Mami Vin.
Mami Vin kini sudah berusia 61 tahun. Ia banyak berkisah tentang dunia kelam yang pernah dilewati, hingga perjuangannya bisa seperti saat ini. Baginya, menjadi seorang waria bukanlah sebuah pilihan. Mami menganggapnya sebagai sebuah takdir yang tidak bisa dielakkan “Waria itu adalah given pemberian, takdir,” ujar Mami Vin.
Bangun Yayasan Kebaya dari Nol untuk ODHA
Mami Vin punya rasa ingin tahu yang tinggi akan penyakit HIV. Masa lalunya di dunia prostitusi mengajarkannya banyak hal. Banyak teman-temannya yang terkena virus HIV AIDS. Masa lalu itu membuat Mami terus belajar memperdalam pengetahuan akan penyakit mematikan ini.
Keputusannya bulat untuk meninggalkan dunia hitam yang digelutinya selama 15 tahun. Niat baik Mami bukan berarti berjalan mulus tak sedikit orang yang mencibir dan mengatakan bahwa mami hanya cari muka saja.
“Berubah untuk jadi yang terbaik. Setiap orang, siapapun itu, tidak ada urusannya dengan jenis kelamin. Kalau memang tujuan baik ya kenapa tidak. Itulah yang mami lakukan meski ada yang mencibir mami,” ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019)
Pada tahun 1993, Mami Vin akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan LSM PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). Dalam organisasi tersebut Mami Vin belajar banyak tentang HIV/AIDS. Ia juga terjun langsung ke lapangan dan turut mengedukasi anak jalanan, para pekerja seks komersil (PSK) di seputar Pasar Kembang Yogyakarta.
Setelah 13 tahun lamanya belajar tentang HIV/AIDS di organisasi tersebut, Mami Vin melihat banyak teman waria yang meninggal dunia akibat HIV/AIDS. Ia tak ingin hanya diam. Mami lantas mencari tahu apa penyebab teman-teman warianya meninggal. Kemudian terpikirkan oleh mami apa yang sebelumnya belum dilakukan pemerintah untuk mengatasi penyakit ini.
Menurut Mami, selama ini belum pernah ada orang yang menjadi bagian dari para ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Dalam arti mengurus, mendampingi dan menjadi bagian dari hidup mereka. Sejatinya, saat ODHA minum obat, mereka akan mengalami efek samping. Pada saat mengalami efek samping itulah mereka butuh seseorang di sisinya.
“Nah ketika mengalami efek samping itu, sebetulnya mereka butuh kita, mereka tidak bisa sendiri, butuh dukungan, butuh ditemani, butuh temat curhat. Sehingga kenapa tidak saya membuat suatu kegiatan yang memang belum dilakukan,” terangnya.
Dengan tekad bulat, akhirnya Mami Vin memutuskan untuk keluar dari PKBI dan fokus merawat teman-teman ODHA. Ia aktif menangani ODHA waria tanpa ada lembaga khusus atau bantuan dana. Melihat kegigihan Mami pada tahun 2006, Mami Vin mendapatkan bantuan dari UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) untuk membuat sebuah lembaga sosial dan mendapatkan bantuan dana.
Mami Vin akhirnya mendirikan LSM Kebaya pada tanggal 18 Desember 2006. Nama Kebaya singkatan dari Keluarga Waria Yogyakarta, hal ini dilihat dari kondisi waria di Jogja yang rata-rata sudah keluar dari keluarga intinya. Harapannya tentu saja Kebaya bisa menjadi bagian dari keluarganya
Advertisement
Mami Vin Tak Pernah Menyerah
Mami melihat banyak tantangan yang harus dihadapi saat mengelola LSM Kebaya untuk para ODHA. Kebaya tentu bukan sekadar rumah untuk singgah, karena nyatanya tidak berhenti sampai disitu saja. Mami Vin harus menghidupi para penderita di rumah singgah Kebaya seperti makan, biaya pengobatan bahkan juga biaya kontrakan rumahnya setiap tahun. Alhasil, ia pun menggunakan uangnya sendiri walaupun saat itu kondisi keuangan Mami terbilang belum lancar.
Keuangan yang tak menentu pernah membuat biaya sewa kontrakkan nunggak hingga 9 bulan lamanya, Mami pun sampai menggadaikan dan jual barang-baranya. “Semua tak jualin karena kalau Mami ngerepotin teman-teman kan ga bisa,” tuturnya.
Setelah kerjasama dengan UNAIDS, Kebaya juga sempat bekerja sama dengan Hivos Foundation dan Global Fund. Hingga pada 2015 pemerintah khususnya Dinas Sosial provinsi DIY melalui APBD membantu program Kebaya untuk ODHA.
Tetapi, dana dari pemerintah itu hanya mampu membantu konsumsi 5 orang yang tinggal di rumah singgah Kebaya. Padahal penderita HIV/AIDS yang tinggal di rumah tersebut bisa saja lebih dari 5 orang. Oleh karena itu, Mami Vin pun tetap harus lebih giat lagi memenuhi kebutuhan orang-orang di rumah singgah Kebaya. Mami adalah orang yang pantang menyerah.
Berkat pengetahuan serta pengalaman yang Mami Vin miliki, nama Mami Vin pun semakin dikenal oleh masyarakat. Sering kali Mami Vin diminta sebagai narasumber atau menjadi dosen tamu di Universitas, salah satunya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Tak hanya itu, dana juga didapatkan dari donasi dari para aktivis. Mami merasa kemudahan ini adalah doa dari penghuni shelter ini. “Rejeki Mami itu bukan untuk Mami tapi untuk mereka, jadi apa yang Mami dapatkan ya untuk disini, karena doa mereka. Ya syukur akhirnya bisa terkabul semuanya.” tambah Mami.