Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menghapus ujian nasional (UN) mulai 2021 dan menggantinya dengan konsep lain. Kebijakan tersebut diapresiasi Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian karena dianggap sejalan dengan pemikirannya.
“Sebab selama ini ujian nasional tidak konsisten dengan kurikulum K-13 yang menekankan cara berpikir dan logika. UN lebih banyak hafalan. Padahal yang kita perlukan adalah mendidik anak-anak kita untuk mempunyai skill, seperti kemampuan literasi dan numerasi”, ucapnya di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (11/12/2019).
Baca Juga
Meski demikian, Hetifah mengingatkan, transisi dari sistem yang lama ke yang baru tentu tidak mudah. Pemerintah daerah, sekolah, guru, siswa, dan orangtua murid harus mendapatkan sosialisasi dan pendampingan yang serius dari pemerintah pusat.
Advertisement
“Masih ada waktu 2 tahun. Maksimalkan terutama untuk menyampaikan ke para guru bagaimana metode mengajar yang baik untuk melatih skill-skill yang akan diujikan”, terangnya.
Setelah menghapus ujian nasional, Hetifah menyarankan Nadiem dan jajarannya mempelajari lebih dalam keberhasilan penerapan pendidikan negara lain, salah satunya China.
“Tiongkok berhasil mencapai posisi pertama dalam pencapaian PISA, padahal jumlah siswanya sangat besar. Patut dipelajari lebih dalam bagaimana mereka melakukannya”, katanya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
UN Dihapus Mulai 2021
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menegaskan bahwa Ujian Nasional atau UN 2020 merupakan yang terakhir. Mulai 2021, UN akan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
"Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," jelas Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Menurut Nadiem, Ujian Nasional dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar. Materi UN juga terlalu padat, sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan kompetensi.
"Kedua, ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia.
Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan. Baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Lebih jauh, kata mantan bos Gojek itu, UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya. Bahkan belum menyentuh aspek kognitif, tapi lebih kepada penguasa materi.
"Dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," ujar dia.
Advertisement