Kampung Sawah di Bawah Naungan Menara Masjid dan Lonceng Gereja

Berbeda agama adalah hal yang wajar bagi warga Kampung Sawah, Bekasi. Apalagi untuk pasangan beda agama Aroh dan Engkar, Pertikaian karena beda keyakinan adalah hal yang asing bagi keduanya.

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 20 Des 2019, 20:26 WIB
Diterbitkan 20 Des 2019, 20:26 WIB
Aroh dan Engkar, Pasangan Beda Agama
Kerukunan Martha Aroh Arih (71) yang beragama Islam bersama dengan suaminya, Karde Napiun atau Engkar (77) yang beragama Katolik. (Foto: Zulfikar Abubakar/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Dentingan lonceng gereja yang diiringi kumandang azan. Mungkin terdengar tak biasa, namun perpaduan suara itu  rutin terjadi permukiman Kampung Sawah, Bekasi. Tiga rumah ibadah berdiri berdampingan di sana, yakni Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Masjid Agung Al Jauhar Yasfi.

Segitiga emas, begitu warganya biasa menyebut lokasi tiga rumah ibadah itu. Hidup rukun berbeda agama dianggap keindahan tersendiri di Kampung Sawah. Tak ada pertikaian karena beda keyakinan, yang ada hanyalah toleransi dan kasih sayang.

Salah satunya terjadi pada diri Martha Aroh Arih (71) atau biasa dipanggil Aroh. Lahir sebagai Muslim, dia menikah dengan suaminya Richard Karde Napiun (77) atau Engkar secara Katolik di gereja sekitar 51 tahun yang lalu. Sekarang, Bu Aroh masih memeluk agama Islam, sedangkan suaminya rajin ke gereja setiap hari Minggu.

"Saya punya anak 10, meninggal satu. Ada sembilan. Perempuan satu, lelaki delapan. Anak ibu yang masuk ke agama Muslim ada 4, yang masuk ke Kristen ada 5," ujar Aroh kepada Liputan6.com di kediamannya.

Aroh adalah pribadi yang terbuka dan penuh tawa. Baginya, hidup terlalu pendek untuk dihabiskan dengan pertikaian.

"Ibu ngajarin anak begini, maupun agama Muslim, maupun ke gereja, musti dijalanin. Kalau mau ke gereja, wajib ke gereja dijalanin, mau ke masjid musti dijalanin," ucapnya.

"Harapan ibu, dari anak-anak semua supaya kasihan ibu, baik sama ibu, supaya pada rukun, damai, tenteram sampai tua," imbuh dia sembari tersenyum.

Aroh dan suaminya terlihat mesra. Meski kerap sakit seiring usia yang kian sepuh, keduanya sering berduaan di teras, bercengkerama, mensyukuri berkah.

Saat waktu ibadah tiba, keduanya berpisah sementara untuk menjalankan kewajibannya masing-masing. Aroh mengenakan mukenanya, sedangkan sang suami berjalan kaki menuju gereja.

Rumah mereka sederhana, tapi hangat. Suguhan kopi dan teh kerap menemani para tamu yang kerap berkunjung. Siapapun yang bertandang, pasti dijamu dengan penuh cinta dan toleransi. 

 

Saksikan videonya di bawah ini:

Tak Campuri Urusan Keyakinan

Engkar Berdoa di Gereja
Karde Napiun atau Engkar (77) sedang berdoa di Gereja Santo Servatius Kampung Sawah pada hari Minggu. (Foto: Zulfikar Abubakar/Liputan6.com)

Aroh dan Engkar masih tinggal serumah bersama dengan beberapa anaknya. Salah satunya adalah Boni Vasius Joni Napiun yang kini sudah berumur 45 tahun. Dia adalah anak keempat dari 10 bersaudara.

Joni bercerita, keluarganya tak pernah menentang pilihannya untuk masuk agama Islam. Ketika kecil, dia dibesarkan secara Katolik. Saat menginjak kelas 6 SD, dia memutuskan untuk pindah ke agama Islam.

"Saat saya masuk Islam, tidak ada halangan dari kakak dan bapak," ungkapnya santai kepada Liputan6.com.

"Di keluarga saya juga enggak ada tentangan. Misal dari bapak saya, saya mau ke masjid enggak ada yang melarang. Jadi kalau masalah agama mah kagak pada ribet, yang penting akur," lanjutnya.

Setiap peringatan hari raya, entah itu Lebaran, Natal, maupun menyambut tahun baru, keluarganya sering berkumpul atau hanya sekedar mengucapkan selamat. Bahkan, sewaktu dulu neneknya masih ada dan semua anak masih kecil, mereka selalu memasak hidangan daging dan membagikannya ke tetangga dan kerabat.

"Kita masih kecil tuh hari raya, kalau Lebaran, kita disuruh sama nenek nganterin ke saudara yang Katolik. Terus, entar yang Katolik kalau hari Natalan nganterin. Cuma sekarang kondisinya udah makin pudar, mulai hilang, karena udah pada mulai tua," tuturnya.

Meski banyak dari warga Kampung Sawah yang sudah jarang saling bertukar makanan di hari raya, hal ini bukan berarti silaturahmi tak terjaga. Hal ini hanyalah faktor umur dan zaman. Joni yakin, urusan agama adalah hak masing-masing individu.

Di keluarganya, tak ada yang saling merasa bahwa apa yang dipeluk lebih baik dari yang lain. Semuanya saling menghargai.

"Agama mah buat kita menuju kepada Tuhan, udah kita jalanin. Jangan saling menghina, saling mengejek, ya udah kita harus rukun. Toh tujuannya sama pada nyembah ke Tuhan," ujar Joni.

Jaga Silaturahmi Antar Agama

Tokoh Agama Islam Kampung Sawah, Rahmaddin Afif
Tokoh Agama Islam Kampung Sawah sekaligus Pendiri Yayasan Fisabilillah, Rahmaddin Afif. Menurutnya, kerukunan beda agama di Kampung Sawah adalah suatu hal yang indah dan unik. (Foto: Zulfikar Abubakar/Liputan6.com)

Banyak yang sering bertanya apa rahasia dari kerukunan beda agama di Kampung Sawah. Sebab, sebagai negara yang terdiri dari beragam kebudayaan, ironisnya Indonesia masih kerap dilanda oleh isu intoleransi.

Sadar akan hal ini, para pemuka agama di Kampung Sawah selalu mengedepankan nilai toleransi kepada warganya. Tokoh Agama Kampung Sawah sekaligus Pendiri Yayasan Fisabilillah, Rahmaddin Afif (75) mengatakan, bila berkenan, Indonesia mungkin bisa mencontoh kebaikan yang ada di Kampung Sawah.

"Kok kenapa rukun, gitu. Ada pertanyaan begitu. Sebenarnya pertanyaan yang salah, yang harusnya ditanya itu yang enggak rukun. Kenapa hidup tidak rukun?" ucap Rahmaddin dengan bergurau kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan, ada tiga faktor yang menurutnya menjadi kunci dari kerukunan di Kampung Sawah. Yaitu nasihat orangtua, faktor keturunan dan budaya Betawi, serta contoh kerukunan dari para tokoh agama di sana.

"Baik tokoh Islam, tokoh Muslim, harus bisa bagaimana mengarahkan generasi penerus bangsa ini. Jangan jadi orang tua malah jadi provokator. Bahaya, bahaya. Jadi orang tua itu harus mengayomi, mengarahkan," tutur Rahmaddin.

Para tokoh agama di Kampung Sawah juga memiliki pertemuan rutin untuk membicarakan kesejahteraan daerahnya. Rahmaddin menyebut, wadah pertemuan ini dinamakan Forum Umat Beragama (FUB).

Mengingat sebentar lagi perayaan Natal akan tiba, Rahmaddin menjelaskan bagaimana pihaknya dari Yayasan Fisabillilah selalu siap membantu saudaranya dari umat Kristiani. Terutama dalam hal keamanan selama ibadah dan perayaan berlangsung. Kebetulan, Masjid Agung Al Jauhar Yasfi juga memiliki lapangan parkir yang luas, sehingga bisa dipinjamkan kepada jemaat gereja yang butuh tempat parkir.

"Nah tapi kalau yang menyangkut masalah agama, masalah akidah, keyakinan, itu tidak ada toleransi. Masing-masing. Karena Islam mengajarkan lakum diinukum waliyadin. Saling menghormati, saling menghargai, jaga jangan sampai ada ketersinggungan. Itu aja kuncinya," ungkap Rahmaddin.

Tak ada perjanjian yang ditulis secara hitam dan putih dalam hal membantu. Yang ada hanyalah nilai luhur dan rasa persaudaraan, mengalir bagai darah bagi warga Kampung Sawah.

Saling Membantu Meski Beda Keyakinan

Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servatius, Mathius Nalih Ungin
Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servatius Kampung Sawah, Mathius Nalih Ungin menjelaskan akan pentingnya nilai Pancasila dalam memupuk kerukunan antar warga berbeda keyakinan. (Foto: Zulfikar Abubakar/Liputan6.com)

Senada dengan ketulusan Rahmaddin dalam membantu saudaranya yang berbeda agama, Wakil Ketua Dewan Paroki Servatius Mathius Nalih Ungin menjelaskan, gerejanya juga rajin mengajarkan nilai kerukunan pada para jemaatnya. Bahkan, mereka memiliki program khusus bernama Forum Nasional Kebangsaan untuk generasi muda.

Dia berharap, hal ini juga bisa memberi pengertian kepada generasi penerus untuk mempertahankan hal baik yang ada di Kampung Sawah. Karena, hidup bersama dan berbeda adalah sesuatu yang indah dan harus dijaga.

"Kemah kebangsaan itu akan dihadiri oleh orang-orang muda yang terdiri dari lintas agama. Ada Islam, ada Hindu, ada Buddha, ada Kristen, Katolik, dan kemah kebangsaan itu mengajarkan soal toleransi," ucap Nalih kepada Liputan6.com.

Dia menegaskan, para pendiri bangsa Indonesia pun sudah lama menyadari pentingnya paham akan perbedaan. Ini dicerminkan melalui ideologi Pancasila.

"Pancasila itu menjadi sumber penguat. Maka kalau semua orang memahami atau mencoba mengangkat nilai-nilai Pancasila, sebetulnya aman. Kalau semua orang memahami nilai-nilai Pancasila sebetulnya damai," ujar dia.

Nalih yakin, masyarakat Indonesia di wilayah lain pun bisa seperti Kampung Sawah, asal tak menutup diri atau mengedepankan egoisme. Indonesia memang sudah beragam, karenanya dia mengajak agar semuanya bisa hidup bersama dan memeluk perbedaan.

"Pahami bahwa kita beragam, hargai bahwa orang-orang lain adalah tidak sama dengan kita. Dan kalau itu juga dikemas dalam suatu nuansa Pancasila, saya yakin bahwa Indonesia akan aman, damai, sentosa, sejahtera," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya