Dewan Pers Bentuk Tim Penyelamat Masa Depan Media Tanah Air

Dewan Pers akan mengidentifikasi apa saja yang menjadi masalah dialami media di tengah ancaman digitalisi.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 21 Jan 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2020, 20:00 WIB
Dewan Pers Bentuk Timsus Penyelamat Nasib Media di Indonesia
, Dewan Pers akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR tentang bagaimana mereka harus bersikap untuk menjadikan nasib media lebih baik ke depannya. (Foto:Liputan6/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Pers membentuk tim khusus penyelamatan nasib industri media di Indonesia (task force media sustainability) yang kerap digerus oleh para pemain digital.

Tugas tim ini adalah memikirkan bagaimana industri media bisa terus berjaya di tengah para pemain digital tersebut, khususnya ancaman agregator yang tidak memberikan share profit kepada publisher.

"Semuanya pada tahu kalau sekarang dunia media mengalami perubahan. Itu dapat dilihat dari data pembaca dan pemirsanya. Mau tak mau harus ada transformasi bisnis modern. Supaya media bisa sustain atau terus hidup, maka Dewan Pers membentuk ini task force atau gugus tugas," kata Ketua Dewan Pers M Nuh di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (21/1/2020).

Lewat tim ini, lanjut Nuh, Dewan Pers akan mengidentifikasi apa saja yang menjadi masalah dialami media di tengah ancaman digitalisi.

Berangkat dari hal tersebut, Dewan Pers akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR tentang bagaimana mereka harus bersikap untuk menjadikan nasib media lebih baik ke depannya.

"Kami bisa memberikan rekomendasi terkait regulasi atau kita mengambil inisiatif di industri media ini, sehingga hubungan antar pemain media ini dapat berjalan baik," ungkap Nuh. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

6 Poin yang Diidentifikasi Task Force Media

Berikut enam poin awal masalah yang diidentifikasi task force media sustainability:

1. Penggunaan konten jurnalistik milik publisher digunakan cuma-cuma oleh agregator yang tak memberikan sharing profit.

2. Data pengguna internet sebagai hasil kerjasama antara publisher dan agregator dikuasai sepihak oleh agregator.

3. Tidak adanya transparansi data pengguna internet darimana, siapa, dan untuk siapa data tersebut digunakan.

4. Tidak adanya sistem algoritma yang dioperasikan platform mesin pencari, agregator, dan media sosial.

5. Tidak adanya transparansi pajak dibandingkan pahak yang harus dibayarkan dari setiap pendapatan perusahaan media konvensional.

6. Ketidakbertanggungjawaban perusahaan platform media sosial atas konten negatif merusak yang mereka sebarkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya