Diperkaya Rp 3,5 Miliar, KPK Beberkan Peran Ali Fahmi Habsyi di Proyek Bakamla

Jaksa menyebut, pemberian uang kepada Ali Fahmi melalui seorang perantara bernama Hardy Stefanus.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 08 Jun 2020, 16:46 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2020, 16:46 WIB
FOTO: KPK Periksa Dirut CMIT di Kasus Korupsi Bakamla
Dirut PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/5/2020). Rahardjo diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno didakwa memperkaya diri sendiri senilai Rp 60.329.008.006,92 dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsy sebesar Rp 3.500.000.000 terkait proyek Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun anggaran 2016.

Ali Fahmi merupakan staf khusus bidang perencanaan dan keuangan yang diangkat Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla. Dengan memperkaya diri sendiri dan Ali Fahmi, jaksa penuntut umum pada KPK menyatakan Rahrdjo merugikan keuangan negara sebesar Rp 63.829.008.006,92.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, yaitu secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 63.829.008.006,92," ujar Jaksa Kresno Anto Wibowo dalam dakwaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (8/6/2020).

Jaksa menyebut, pemberian uang kepada Ali Fahmi melalui seorang perantara bernama Hardy Stefanus. Menurut jaksa, uang itu merupakan realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla. Uang tersebut dalam bentuk cek.

Setelah menerima cek tersebut, Hardy pada 28 Oktober 2016 mencairkannya dan menukarkan dalam bentuk uang dollar Singapura sebesar Rp 3.000.000.000. Sementara sisanya tetap dalam bentuk mata uang rupiah sebagaimana arahan dari Ali Fahmi.

"Selanjutnya Hardy Stefanus menyerahkan uang yang bersumber dari terdakwa (Rahardjo) kepada Ali Fahmi Habsyi di gerai Starbuck dekat Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran pada saat acara pameran Indo Defence," ungkap jaksa.

Jaksa mengungkap, Rahardjo berhasil mendapatkan proyek BCSS berkat Ali Fahmi. Awalnya, Rahardjo diajak Ali Fahmi ke kantor Bakamla pada Maret 2016. Saat itu Ali dan Rahardjo menemui Arief Meidyanto selaku Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla. 

Jaksa menyebut, Ali Fahmi memperkenalkan Rahardjo sebagai konsultan IT yang diminta untuk mengembangkan teknologi di Bakamla. Atas penyampaian tersebut, Arief Meidyanto menjelaskan tentang sistem Bakamla Integrated Information System (BIIS) dan adanya keinginan untuk mengembangkan sistem teknologi BIIS.

"Terdakwa menyampaikan akan membawa tim teknis dari PT CMI Teknologi untuk kembali berdiskusi dengan Arief Meidyanto terkait pengembangan sistem teknologi BIIS di Bakamla," ucap jaksa.

Sekitar seminggu kemudian, Rahardjo beserta stafnya dari PT CMI Teknologi kembali datang ke kantor Bakamla menemui Arief dalam rangka pembahasan lebih detail tentang rencana pengembangan sistem BIIS yang dimiliki Bakamla. Pada pertemuan itu Arief memperkenalkan Rahardjo dengan Arie Soedewo yang menjabat Kabakamla. 

"Terdakwa mengusulkan kepada Arie Soedewo dan Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance yang terintegrasi dengan BIIS," kata jaksa.

April 2016, Arie Soedewo di ruang rapat Kabakamla memerintahkan kepada setiap unit kerja agar mengusulkan kegiatan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) pada usulan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Bakamla Tahun Anggaran (TA) 2016 karena adanya rencana penambahan anggaran untuk Bakamla.

Arie juga mengarahkan Arief Meidyanto agar dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pembuatan RKA-K/L dapat berkonsultasi dengan Rahardjo yang pada saat itu sedang berada di Bakamla.

"Selanjutnya disepakati bahwa terdakwa (Rahardjo) akan menyusun spesifikasi teknis yang dibutuhkan masing-masing stasiun Bakamla di daerah yang akan diintegrasikan melalui jaringan Backbone beserta rencana anggarannya (RAB)," kata jaksa.

Setelah dilakukan pembahasan dengan DPR RI, anggaran paket pengadaan BCSS itu berhasil ditampung dalam APBN-P 2016 dengan pagu anggaran senilai Rp 400 miliar. Namun anggaran belum bisa digunakan karena membutuhkan persetujuan lebih lanjut. 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lelang Dilanjutkan

Untuk memuluskan proyek tersebut, Rahardjo bermufakat dengan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Bakamla, Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla, dan Juli Amar Ma'ruf selaku Anggota (koordinator) ULP Bakamla.

Dalam rangka melaksanakan lelang pengadaan paket pekerjaan (proyek) yang terdapat pada APBN-P 2016, Arie Sudewo selaku Kabakamla menunjuk dan menetapkan tim kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang diketuai oleh Leni Marlena.

Setelah ditunjuk menjadi Ketua ULP, Leni dipanggil oleh Ali Fahmi di ruang Kabakamla dan disampaikan mengenai pengadaan barang di Bakamla termasuk backbone nantinya akan dibantu oleh Juli Amar Ma'ruf.

Juli Amar Ma'ruf sebenarnya menjadi koordinator untuk pengadaan yang berada di Deputi Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis. Namun dia diminta membantu mengkoordinasikan pengadaan BCSS yang ada pada Deputi Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla.

Pada bulan Juni 2016, Rahardjo diperkenalkan dengan Juli Amar Ma'ruf melalui perantaraan Hardy Stefanus  yang memberikan nomor telepon Juli Amar Ma'ruf kepada Rahatdjo. Demikian pula Hardy Stefanua juga memberitahukan kepada Juli Amar Ma'ruf bahwa Rahardjo merupakan teman dari Ali Fahmi yang telah diarahkan untuk mengerjakan proyek pengadaan backbone di Bakamla.

Pada 16 Agustus 2016, Leni Marlena mengumumkan lelang pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS secara elektronik melalui alamat website Ipse.BAKAMLA.go.id dengan pagu anggaran sebesar Rp 400 miliar. Karena belum adanya RUP sebagai pedoman lelang, Leni Marlena justru menetapkan sistem pemilihan penyedia barang/jasa yang dipergunakan adalah pelelangan umum dengan metode pascakualifikasi sistem gugur satu sampul.

Dalam lelang pengadaan backbone tersebut, Leni dan Juli serta anggota tim ULP berpedoman pada HPS dengan nilai Rp 399.805.206.746. Namun, nilai HPS itu belum ditetapkan PPK karena Bambang Udoyo baru ditunjuk dan ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Bambang Udoyo selaku PPK baru menandatangani dokumen spesifikasi teknis dan HPS pada bulan September 2016 atau setelah proses lelang pengadaan sudah berjalan. Dokumen spesifikasi teknis dan HPS tersebut disusun ulang oleh Juli Amar Ma'ruf berdasarkan konsep (draft) yang dibuat Arief Meidyanto yang mendapatkan KAK, spesifikasi teknis serta RAB dari PT CMI Teknologi sebagai salah satu peserta lelang.

Dikatakan jaksa, Kementerian Keuangan pada Oktober 2016 menyetujui anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS di Bakamla hanya sebesar Rp 170.579.594.000. Karena anggaran yang disetujui kurang dari nilai HPS pengadaan, seharusnya lelang dibatalkan dan melakukan lelang ulang. 

Namun Leni Marlena dan Juli Amar Ma'aruf  tidak membatalkan lelang tersebut. Keduanya bersama dengan Bambang Udoyo justru melakukan pertemuan Design Review Meeting (DRM) dengan PT CMI Teknologi terkait adanya pengurangan anggaran yang ditetapkan Kementerian Keuangan dalam pengadaan backbone.

PT CMI Menangkan Lelang

Singkat cerita, PT CMI Teknologi lantas memenangkan proyek tersebut. Rahardjo selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi bersama dengan Bambang Udoyo selaku PPK Bakamla kemudian menandatangani surat perjanjian (kontrak) pengadaan BCSS senilai Rp 170.579.594.000 pada tanggal 18 Oktober 2016. 

"Nilai pekerjaan yang tertuang dalam kontrak tersebut berbeda dengan nilai HPS dan rancangan kontrak yang tertuang dalam dokumen pengadaan," ucap jaksa.

Dalam melaksanakan pekerjaan pengadaan itu, Rahardjo melalui perusahaan miliknya yakni PT CMI Teknologi melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama, dengan 11 perusahaan. 

Sebagaimana termaktub dalam kontrak, jangka waktu PT CMI Teknologi melaksanakan pekerjaan itu pada tanggal 31 Desember 2016. Namun dalam pelaksanaannya Rahardjo tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut. Bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan tahun 2017.

Meski tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, Bakamla justru melakukan pembayaran kepada PT CMI Teknologi. Adapun total pembayaran yang telah dilakukan Bakamla RI kepada PT CMI Teknologi untuk pekerjaan pengadaan backbone setelah dipotong PPN adalah sebesar Rp 134.416.720.073.

Pembayaran itu dilakukan Bakamla secara bertahap ke rekening BNI milik PT CMI Teknologi. Dari pencairan uang yang diterima oleh PT CMI Teknologi itu, ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan pekerjaan hanya sebesar Rp 70.587.712.066,08. 

Alhasil terdapat selisih sebesar Rp 63.829.008.006,92 yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla. Rahardjo selaku pemilik PT CMI Teknologi diuntungkan Rp 60.329.008.006,92. Sementara Ali Fahmi diuntungkan Rp 3.500.000.000.

"Adapun nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar  Rp 3.500.000.000," ungkap jaksa. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya