Liputan6.com, Jakarta - Jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali memakan korban. Polisi menetapkan penggebuk drum band Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina atau Jerinx sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Jerinx ditahan terkait unggahan di Instagram miliknya yang menyebut 'IDI kacung WHO' pada 13 dan 15 Juli 2020.
"Sudah kami tahan. Dia memenuhi unsur deliknya. Posting-an yang diunggah tanggal 13 dan 15 Juni 2020 di instagram miliknya," ujar Direktur Reskrimsus Polda Bali Kombes Yuliar Kus Nugroho, Rabu (12/8/2020).
Penetapan tersangka dan langsung diiikuti penahahan terhadap Jerinx memunculkan kontroversi. Sejumlah pihak meyakini langkah polisi tersebut sebagai rambu kuning terhadap penegakan hukum kepada aktivis yang berbeda pendapat. Benarkah?
Advertisement
Sejumlah aktivis yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil menyatakan, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas posting-an yang dibuatnya tidaklah tepat.
"Penahanan tidaklah perlu dan cenderung dipaksakan," ujar Erasmus AT Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mewakili Aliansi Masyarakat Sipil, Kamis (13/8/2020).
Menurutnya, pernyataan Jerinx terhadap penanganan Covid-19 yang kontraproduktif, perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui UU ITE.
Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas posting-an yang dibuatnya, kata Erasmus, tidak tepat. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang masuk dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian, kekerasan, atau diskriminasi berdasarkan SARA.
"Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan Jerinx di Instagramnya sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini," sambungnya.
Pria yang akrab disapa Eras ini menambahkan, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat, konteks di dalam ekspresi, posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut, niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut, kekuatan muatan dari ekspresi, jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens serta kemungkinan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi.
"Aparat penegak hukum harus hati-hati menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya serius sehingga dapat dipidana. Dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi," kata dia.
Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal tersebut dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.
"Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi atau badan hukum," jelasnya.
Pasal 27 ayat (3) KUHP, sambung dia, merupakan delik aduan absolut, yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya, bukan perwakilannya.
"Tentu saja menjadi tidak masuk akal, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini. Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Oleh karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya," Eras menjelaskan.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menambahkan, kejaksaan sebagai "Dominus Litis" yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara, harus menolak perkara ini. Sebab pasal-pasal yang digunakan tidak sesuai dengan maksud pembentukannya.
"Ini terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat," katanya.
Menurutnya, penahanan terhadap Jerinx bukanlah langkah tepat. Terlebih saat ini masih masa pandemi Covid-19 dimana seluruh pihak sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.
"Terlebih, pasal yang diancamkan sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya," jelasnya.
Dia meminta kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini karena tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana.
"Segera bebaskan. Penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemic Covid-19," ujarnya.
Dia juga meminta pemerintah dan DPR segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE yang masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir menyatakan, penggunaan UU ITE saat ini sudah mengalami banyak penafsiran yang berbeda sehingga berbahaya jika diterapkan oleh hakim.
"Hidup ini jadi sumpek, Ngomong gini enggak boleh, begitu enggak boleh. Candaan juga masuk penjara. Jadi tidak pas," katanya kepada Liputan6.com, Kamis (13/6/2020).
Selain itu, penegakan hukum UU ITE saat ini terkesan diskriminatif tergantung pada siapa yang lapor dan siapa yang dilaporkan. Kesan yang muncul saat ini, kalau korbannya kontra pemerintah pasti masuk penjara. Kalau pelaku pro-pemerintah diutak-atik biar tidak bisa masuk.
"Ini menjadi kurang sehat dalam praktiknya," katanya.
Dia menyatakan, jika merujuk ke pasal 27 ayat 3, Jerinx tidak boleh ditahan karena ancaman maksimum hanya 4 tahun.
"Tapi kalau sampai ditahan biasanya dibuat cantolannya pasal 28 kasus Buni Yani gitu. Makanya hakim harus tegas, diluruskan agar hakim juga punya pandangan," ujarnya.
Muzakir menambahkan, terkait kasus ini, harusnya IDI lebih terbuka dalam menerima kritik untuk menjadi lebih baik kedepannya, bukan malah memenjarakan. Apa yang disampaikan Jerinx merupakan kritik membangun yang harusnya disikapi secara positif.
"Terkesan ada pembungkaman. Gaya IDI tidak boleh seperti itu. Harusnya IDI memperbaiki kenapa dikritik seperti itu, justru evaluasi peran dirinya," sambungnya.
Dia pun menyarankan agar IDI mencabut laporannya dan lebih fokus kepada penanganan kasus Covid-19 saat ini.
"Bagaimana caranya pasien sembuh dan kembangkan. Justifkasi kajian ilmiah lebih bagus ketimbang melaporkan orang dan masuk penjara," ungkapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
IDI, Lembaga SARA atau Profesi?
Pengacara Jerinx, I Wayan 'Gendo' Suardana menyatakan, hanya satu pasal yang bisa menahan kliennya, yaitu pasal 28 ayat 2 UU ITE. Namun, pasal ini berkaitan dengan ujaran kebencian terhadap golongan berdasarkan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
"Nah, IDI kan bukan golongan yang dapat dikualifikasi sebagai golong SARA. Jadi menjadi aneh," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (13/8/2020).
Menurutnya, IDI adalah lembaga profesi, organisasi profesi yang notabene adalah lembaga publik yang dasar hukumnya perkumpulan dan tidak imun dari kritik.
Sedangkan untuk tiga pasal yang lain yang disangkakan, Gendo menegaskan, polisi tidak punya kewenangan untuk penahanan.
"Tidak bisa pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU ITE, itu kan pencemaran nama baik dengan media elektronik. Itu hukumannya di bawah 5 tahun dan tidak boleh polisi melakukan penahanan. Syarat objektifnya tidak terpenuhi karena UU nya tidak cukup," paparnya.
Gendo menyatakan, pihaknya sedang menyiapkan pengajukan penangguhan penahanan.
"Ini banyak dukungan dari aliansi masyarakat sipil di Jakarta. Itu sama pandangannya saya dengan mereka. Seharusnya memang pasal ini tidak tepat digunakan. Jadi silakan publik menilai," tukasnya.
Gendo menegaskan, kliennya siap menjalani proses hukum yang berlaku. Jerinx, kata dia, tidak gentar selama memperjuangkan nyawa rakyat yang menjadi korban karena kebijakan kewajiban rapid test sebgai syarat administrasi.
"Kritik saya ini untuk ibu-ibu yang menjadi korban akibat dari kebijakan kewajiban rapid test," ujar Gendo menirukan omongan Jerinx.
Jerinx juga menyampaikan doa semoga tidak ada lagi ibu-ibu yang menjadi korban akibat dari kebijakan wajib rapid rest sebagai syarat administrasi.
Polda Bali punya alasan tersendiri terkait penetapan tersangka dan penahanan Jerinx. Direktur Reskrimsus Polda Bali Kombes Yuliar Kus Nugroho menyatakan, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Jerinx sudah memenuhi unsur pidana.
Pihaknya juga sudah melakukan kajian sejumlah ahli bahasa untuk mendalami penyidikan kasus yang dilaporkan IDI Bali tersebut. Dari hasil pemeriksaan ahli bahasa ada unsur yang mencemarkan nama baik.
"Lalu terkait dengan postingan-postingan itu kita tetap berpedoman dengan ahli bahasa," kata Kombes Yuliar Kus Nugroho, Kamis (13/8/2020).
Dia menjelaskan bahwa dari hasil pemeriksaan Jerinx, diperoleh tiga catatan mendasar. Pertama, Jerinx memang yang memuat postingan itu. Kedua, dari postingan itu, Jerinx menggugah IDI selaku organisasi profesional untuk mengambil tindakan atas ketidakadilan terhadap rakyat, rapid test sebagai syarat layanan ke rumah sakit. Ketiga, terkait dengan beberapa postingan yang cukup banyak, pada 16 Juni 2020.
"Polda Bali akan melakukan penyidikan secara profesional dan mengambil keterangan secara profesional. Tetap penyidikan, dan secepatnya akan dilakukan gelar perkara," jelas Yuliar.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Bali Kombes Syamsi menyampaikan, penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup dalam memenuhi unsur keputusan penahanan terhadap Jerinx.
Menurutnya, Jerinx disangkakan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) dan atau Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan atau pasal 310 KUHP dan atau pasal 311 KUHP, sesuai dengan Laporan Polisi Nomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT tanggal 16 Juni 2020.
"Ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar," kata Syamsi.
Advertisement
Dukungan Publik: dari Tamara hingga Petisi Change.org
Penahanan Jerinx tak membuat khawatir sang istri Nora Alexandra. Melalui akun media sosialnya, Nora bahkan menyemangati sang suami.
“Love you, jangan khawatirkan aku di luar sini, aku tetap ada buat kamu! Jangan takut sendiri. Aku tetap ada disini @jrxsid #bebaskanjrxsid,” tulis istri Jerinx SID, Nora Alexandra, sesaat setelah Jerinx ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan, Rabu (12/8/2020).
Nora tetap melakukan tugasnya sebagai istri mendampingi Jerinx dalam situasi apapun. Dia juga sibuk mengkampanyekan dukungan untuk sang suami. Dia meyakini Jerinx memiliki alasan kuat di balik aksinya mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk organisasi kesehatan terkait protokol corona Covid-19.
Dukungan juga datang dari Tamara Bleszynski. Dia mengunggah potret Jerinx yang sedang membagi-bagikan nasi bungkus dan dikerumuni banyak orang. Unggahan Tamara ini langsung mencuri perhatian banyak warganet.
Di laman Instagramnya, ada dua foto Jerinx yang diunggahnya. Keduanya sama, saat momen Jerinx membagikan makanan. Terlihat Jerinx menggunakan kaus tanpa lengan dan topi yang dipakainya secara terbalik. Jerinx terlihat begitu sibuk sehingga dalam foto itu ia tak melihat ke arah kamera.
Dalam keterangan foto, Tamara menulis pesan yang menjadi sorotan. Kata Tamara, pria kelahiran Kuta, 10 Februari 1977 itu adalah orang yang menyebalkan. Namun, bukan menyebalkan dalam arti sesungguhnya.
"Ini org memang nyebelin bgt," imbuh Tamara.
Menyebalkan yang dimaksud Tamara karena Jerinx kerap membagikan makanan untuk orang-orang yang membutuhkan. Tamara sampai menyebut Jerinx orang berbahaya karena memiliki hati yang sangat baik.
"Bagi2 nasi bungkus utk sahabat2 yg membutuhkan! Bahaya banget dia.. terlalu perhatian pada sesama! Terlalu baik.. semoga Tuhan menjaga orang baik dan langka seperti dia," lanjutnya.
Di dunia maya, penangkapan dan penahanan Jerinx juga memicu warganet untuk menggagas petisi dukungan. Akun atas nama DPP Persadha Nusantra membuat petisi yang menuntut agar Jerinx SID dibebaskan dengan judul petisi "Bebaskan Jerinx dan Tahan Kacung Penilep Uang Rakyat!".
"Kasus Jerinx SID yang menyoal ' IDI Kacung WHO' begitu cepat direspon Polda Bali. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Cuitan kacung di tengah kasus pandemi Covid-19 untuk membela masyarakat kecil, memperjuangkan agar tidak ada lagi ibu-ibu hamil atau bayi yang meninggal karena syarat rapid tes sebelum melahirkan. Kini Jerinx yang membela mereka justru berada di balik jeruji besi," begitu isi deskripsi petisi tersebut.
Masih dalam detail petisi, penggagas kemudian membandingkan kasus Jerinx dengan kasus-kasus lain yang prosesnya berbanding terbalik. Salah satunya adalah dengan kasus Munarman, mantan Jubir FPI atas kasus dugaan penghinaan terhadap pecalang di Bali.
"Jika kasus Jerinx dengan cepat diproses kepolisian, bagaimana dengan kasus Munarman, mantan Jubir FPI yang menghina pecalang di Bali, yang sudah berstatus tersangka, kasusnya tak berujung hingga saat ini?, Bagaimana dengan kasus pejabat negara yang diduga menganiaya staff masih bisa berleha-leha meskipun hasil visum sudah jelas?" lanjutnya.