AJI Pertanyakan Motif DPR Sahkan UU Tenaga Kerja saat Pandemi Covid-19

AJI mengecam pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 07 Okt 2020, 23:32 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2020, 23:32 WIB
Aliansi Jurnalis Independen atau AJI kembali turun dalam May Day 2019 di Jakarta.
Aliansi Jurnalis Independen atau AJI kembali turun dalam May Day 2019 di Jakarta. (Liputan6.com/Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Abdul Manan, mempertanyakan motif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di masa pandemi virus Corona Covid-19.

"Saat undang-undang ini disahkan, kasus infeksi (Covid-19) sudah lebih dari 311.000 dan lebih dari 11.000 meninggal," ujar Ketua AJI Abdul Manan dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020).

Abdul Manan merasa pemerintah dan DPR sangat ngotot dalam mengesahkan UU Cipta Kerja. Apalagi, menurut dia, pembahasan tidak transparan dan cenderung mengabaikan aspirasi kepentingan publik. Dia menduga ada main antara pemerintah, DPR, dengan para investor.

"Ini karena pemerintah ingin memberikan insenstif yang besar kepada pengusaha agar investasi makin besar meski mengorbankan kepentingan buruh dan membahayakan lingkungan hidup," katanya.

Dia menduga, Pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sejak awal memang menggadang-gadang UU Omnibus Law Cipta Kerja ini untuk menggenjot investasi. Namun pembahasannya tergesa-gesa dan tidak transparan. Karena itu, dia mengecam pengesahan UU tersebut.

"Mengecam pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja karena dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik. Mengecam karena merevisi pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang justru mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan," kata dia.

Kecaman ditujukan kepada Pemerintahan Jokowi dan DPR lantaran dari revisi sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur, dan pekerja kontrak diubah.

"Omnibus law ini membolehkan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 melarang PHK dengan alasan efisiensi," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Soroti Pekerja Kontrak hingga Hak Libur

Dia jua menyoroti penghapusan aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan menyerahkan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah.

"Praktek ini tentu saja bisa merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja tetap. Ketentuan baru ini membuat status kontrak semacam ini akan semakin luas dan merugikan pekerja media," kata dia.

Omnibus law juga mengurangi hari libur, dari semula dua hari selama seminggu, kini hanya satu hari dalam seminggu. Pasal soal cuti panjang juga dihapus dan menyebut soal pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

"Ketentuan soal ini juga disebut harus diatur dalam perjanjian kerja bersama. Padahal kita tahu bahwa mendirikan serikat pekerja di media itu sangat besar tantangannya sehingga sebagian besar media kita tidak memiliki serikat pekerja," kata dia.

Omnibus Law juga menghapus pasal sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan. Menurutnya, hal ini bisa menjadikan kesejahteraan jurnalis makin tidak menentu. Peluang pengusaha memberikan upah layak semakin jauh karena tidak ada lagi ketentuan soal sanksi.

"Mengecam pengesahan Omnibus Law karena merevisi Undang-Undang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran," kata Abdul.

Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran dihilangkan.

"Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya