Meletusnya Gunung Merapi dan Akhir Kisah Juru Kunci Mbah Maridjan

Erupsi gunung Merapi pada Oktober 2010 setidaknya menyebabkan 353 orang tewas, termasuk Mbak Maridjan.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 26 Okt 2020, 07:33 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2020, 07:33 WIB
Erupsi Gunung Merapi, Minggu, 21 Juni 2020. (Foto: Liputan6.com/BPPTKG/Wisnu Wardhana)
Erupsi Gunung Merapi, Minggu, 21 Juni 2020. (Foto: Liputan6.com/BPPTKG/Wisnu Wardhana)

Liputan6.com, Jakarta - "Merapi tak pernah ingkar janji", begitulah kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Katanya, setelah peningkatan aktivitas, pasti diakhiri dengan letusan yang berbentuk guguran kubah dan awan panas.

Benar saja, pasca statusnya dinaikkan dari Siaga menjadi Awas, gunung yang berada di Sleman, Boyolali itu akhirnya melunaskan janjinya. Merapi tak henti-hentinya memuntahkan awan panas (wedhus gembel) sejak 17.02 WIB, Selasa 26 Oktober 2010.

Sejak saat itu, gunung dengan tinggi 2.930 meter tersebut mengalami serangkaian erupsi diiringi awan panas dan banjir lahar dingin yang terjadi sampai beberapa bulan. Awan panas itu seketika melumat habis apapun yang dilewatinya.

Tak terkecuali, kediaman Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Cangkringan Sleman yang berjarak sekitar empat kilometer dari puncak Merapi. Pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo sendiri merupakan kuncen atau juru kunci Merapi sejak 1982. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.

Sejak status Merapi ditingkatkan, sudah ada 40.000 warga yang tinggal di radius 10 kilometer dievakuasi. Namun, Mbah Maridjan kekeuh terhadap pendiriannya. Ia tetap berdiam diri di rumahnya dan menolak turun dari Merapi, bagaimana pun kondisinya.

"Asih kamu mau ke mana? Saya jawab, saya tidak mau kemana-mana. Kalau kamu mau turun Merapi. Turun sekarang. Kalau saya tidak akan turun. Kalau turun, saya nanti ditertawakan oleh ayam," kisah Putra Mbah Mardijan, Asih mengenang obrolannya dengan ayahnya yang tercinta, dikutip dari merdeka.com.

Keganasan Merapi akhirnya merenggut nyawa Mbah Maridjan. Dia tewas dihantam awan panas 600 derajat celcius dan ditemukan tak bernyawa dalam posisi bersujud di rumahnya.

Jasadnya ditemukan beberapa jam kemudian oleh tim SAR bersama dengan 16 orang lainnya yang juga telah meninggal dunia. Kondisi para korban saat ditemukan mengalami luka bakar serius.

Desa yang menjadi tempat tinggal Mbah Marijan itu luluh lantak, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Seluruh bangunan rumah penduduk hancur, hewan-hewan mati, tanaman-tanaman hangus. Udara terasa panas. Debu di jalanan setebal 10 cm yang terinjak kakipun masih terasa hangat.

Dikutip dari Majalah Tempo (2010), pada 26 dan 27 Oktober 2010, aktivitas di perut Merapi melonjak berlipat. Laju deformasi atau penggelembungan volume puncak Merapi yang sebelum 21 Oktober masih 10,5 sentimeter per hari, sejak 24 Oktober menjadi 42,3 sentimeter. Ini menunjukkan ada desakan energi dari magma di perut Merapi ke permukaan.

Klimaksnya, semburan wedhus gembel pada Selasa, 26 Oktober. Setelah menyemburkan awan panasnya, Merapi seperti tertidur kembali. Frekuensi gempa dan guguran material menurun drastis.

Namun, Kepala Pusat Vulkanologi Surono memperingatkan agar warga jangan terlalu tenang dahulu. "Jangan main-main. Aktivitas Merapi turun, bukan berarti behenti," kata Surono sebagaimana dikutip dari Tempo (2010).

Tak butuh lama untuk membuktikannya, pada 28 dan 29 Oktober 2010, kepundan Merapi kembali menyemburkan awan panas. Menurut Tempo, diamnya Merapi bisa diartikan dua kemungkinan yakni, sedang mengumpulkan energi atau di dalam dapur magmanya sudah berkurang.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

353 Orang Tewas

merapi
Erupsi gunung Merapi pada Minggu (21/6/2020) ditandai dengan kolom asap hingga 6000 meter. (foto : Liputan6.coom/edhie prayitno ige)

Erupsi gunung Merapi pada Oktober 2010 setidaknya menyebabkan 353 orang tewas, termasuk Mbak Maridjan. Erupsi dan banjir lahar dingin yang terjadi di Merapi berlanjut hingga November 2010.

Peristiwa ini membuat angka pengungsi naik menjadi 320.090 jiwa. Rentetan erupsi Merapi juga menyebabkan 291 rumah rusak dan satu tanggul di Desa Ngepos jebol akibat luapan lahar dingin.

Sepuluh tahun berlalu, lokasi meletusnya gunung Merapi kini dijadikan sebagai tempat wisata. Salah satunya, adalah Museum Sisa Hartaku. Tempat ini berupa bangunan yang dulunya adalah rumah. Saat ini, rumah tersebut hanya terasa dindingnya saja.

Para pengunjung bisa melihat banyak perkakasa sehari-hari yang sudah tidak layak digunakan lagi, seperti sepeda sepeda motor, TV, meja, kursi, peralatan dapur, hingga hewan ternak. Ini menjadi bukti bagaimana kejamnnya awan panas Merapi.

Adapun kuncen Merapi, setelah tewasnya Mbah Maridjan adalah Mas Bekel Anom Suraksosihono. Pria yang disapa Mbah Asih ini tak lain dan tak bukan adalah putra dari Mbah Maridjan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya