Liputan6.com, Jakarta - Peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia terus terjadi. Sistem dan layanan kesehatan di Indonesia menghadapi ujian hebat ketika penanganan pandemi COVID-19 tidak optimal.
Sekarang, rata-rata kasus harian di Indonesia sudah nyaris mencapai tujuh ribu. Belakangan, setidaknya, setiap hari ada lebih dari 200 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat COVID-19.
Padahal, jumlah testing Indonesia masih jauh di bawah standar WHO yang mencapai 38.500 per hari. Penerapan tracing Indonesia juga sangat rendah, di mana setiap satu orang positif hanya dua orang yang dilacak, sedangkan standar WHO minimal 30 orang.
Advertisement
Jadi sangat mungkin, apabila jumlah testing dan tracing ditingkatkan, sejatinya akan lebih banyak kasus COVID-19 yang terungkap. Dari 10 bulan sejak virus corona penyebab COVID-19 dinyatakan masuk Indonesia, situasinya kian memburuk setelah sudah 670 ribu lebih kasus terjadi.
Kasus COVID-19 aktif harian malah mencapai lebih dari 100 ribu, tertinggi di Asia Tenggara. Positivity rate Indonesia pecah rekor hingga 27,6 persen, padahal standar WHO hanya 5 persen. Angka kematian di tanah air yang diakibatkan virus dengan nama resmi SARS-CoV-2 itu menyentuh lebih dari 20 ribu orang.
Wajah kepayahan Indonesia dalam penanggulangan COVID-19 terlihat dari banyaknya tenaga kesehatan (nakes) yang meninggal selama pandemi. Sampai 21 Desember 2020 saja, sudah 459 nakes meninggal dunia karena ikut terinfeksi COVID-19. Angka kematian tersebut termasuk yang tinggi di dunia.
Selain itu, kapasitas pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan tempat tidur untuk merawat pasien COVID-19 pun semakin berkurang. Tenaga kesehatan yang terbatas jumlahnya pun menjadi kewalahan, karena pasien COVID-19 terus membludak.
Terkait soal keterisian tempat tidur, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof. Wiku Adisasmito merujuk pada data rumah sakit dari Kementerian Kesehatan. Secara nasional, rasio pemanfaatan tempat tidur isolasi dan ICU Covid-19 per 1 Desember 2020, ialah 57,97%. Provinsi dengan angka keterisian tempat tidur tertinggi ialah Jawa Barat yaitu 77%. Sedangkan terendah pada Maluku Utara sebesar 10%.
Kian menipisnya kapasitas pelayanan kesehatan untuk COVID-19 tergambar dari kondisi Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, yang sudah tidak lagi menerima pasien OTG (Orang Tanpa Gejala) sejak 19 Desember 2020. Kapasitas tempat perawatan pasien bergejala yang telah mencapai 75 persen menjadi penyebabnya.
Dalam dialog online pekan lalu, Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Dewi Nur Aisyah, menuturkan, peningkatan penularan menyebabkan terjadi tambahan kasus yang signifikan, sementara kapasitas pelayanan kesehatan terbatas.
Yang dikhawatirkan kemudian pun akhirnya terjadi, yakni kapasitas pelayanan termasuk ketersediaan tempat tidur untuk merawat pasien COVID-19 terus berkurang dan sumber daya manusia atau tenaga kesehatan menjadi kewalahan.
Menurut Dewi Nur Aisyah, bertambahnya jumlah kasus COVID-19 akhirnya memengaruhi fatalitas. Sebab, fatalitas akan bergantung dari kapasitas pelayanan kesehatan dan akan berpengaruh dari orang serta pasien yang terinfeksi.
Kewalahan
Kondisi ini diakui Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), yang sekarang semakin kesulitan menyediakan kamar khusus untuk pasien COVID-19. Menurut Sekretaris Jenderal Persi, Lia Gardenia Partakusuma, pihak rumah sakit saat ini sudah kewalahan menerima pasien COVID-19.
"Mencarikan tempat tidur rumah sakit untuk pasien (COVID-19), susah. Karena begini, ada kamar buat laki-laki, ternyata yang sakit perempuan. Ada kamar kosong yang biasa, tapi butuhnya untuk yang ICU. Belum lagi pasien yang ada penyakitnya, harus ada dokter jantung, nah di rumah sakit yang kosong tidak ada dokter jantungnya," terang Lia ketika dihubungi Liputan6.com.
"Jadi, ya kompleks lah buat kami yang mengurus rumah sakit ini. Kami ikut terbebankan dengan mencari tempat untuk pasien. Pasien COVID-19 yang berat juga semakin banyak. Itu yang terjadi, kondisi sekarang."
Padahal, idealnya rumah sakit harus tetap punya ruang, mengingat standar WHO untuk Bed Occupancy Ratio (BOR) yakni salah satu indikator yang menggambarkan tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit adalah 60 persen. Data Pandemictalks menyebut BOR Indonesia saat ini di atas 70 persen.
"Kalau bagusnya, idealnya kan kita (rumah sakit) harus tetap punya space, buat kita tukar-tukaran, pasien masuk, pasien keluar. Biasanya 50 persen yang bagus (BOR). Ini khusus COVID-19 ya. Jadi, yang 50 persen kita bisa atur, ini ada yang baru, ada yang bisa kita pindah-pindah, misalnya dari yang ICU turun jadi bukan yang ICU, dan lain sebagainya. Kalau sekarang kondisinya, sudah terisi 80 persen, bahkan ada ICU yg sudah 100 persen. rata-rata nasional memang BOR masih sekitar 60 persen secara keseluruhan. Tapi, di beberapa rumah sakit yang memang sudah tinggi angkanya, sudah enggak bisa lagi masuk (pasien)," papar Lia.
Â
Situasi ini pula yang kemudian mendesak beberapa daerah di Indonesia untuk mempersiapkan operasional Rumah Sakit Darurat (RSD). Di awal, hanya terdapat tiga RSD yang sengaja dioperasikan untuk penangan pandemi COVID-19 di antaranya RSD Wisma Atlet Kemayoran Jakarta, RSDL Indrapura Surabaya, dan RSKI Pulau Galang.
Belakangan, sejumlah pemerintah daerah berinisiatif membuat RS Darurat, karena lonjakan kasus COVID-19. Bekasi, Nganjuk, Berau, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat adalah sedikit contoh daerah yang sudah membuat RS Darurat.
Beberapa daerah lain saat ini juga telah mulai menyiapkan RS Darurat, di antaranya Bandung, Bogor, Solo, Malang, Cianjur, Tulungagung, Jombang, Tasikmalaya, Bengkulu, dan Jember. Sebagian daerah pun sudah merencanakan pembuatan RS Darurat.
Saksikan Video di Bawah Ini
Pentingnya Rumah Sakit Darurat
Pembuatan RS Darurat memang menjadi inisiatif pemda masing-masing. Namun, banyaknya muncul RS Darurat ini sesungguhnya menjadi indikator semakin meluasnya penularan COVID-19 di masyarakat.
Rumah Sakit Darurat (RSD) awalnya didirikan untuk mereka yang positif menderita COVID-19, tapi bergejala ringan dan sedang tapi ke arah ringan. Tapi, seiring berjalannya waktu, RSD juga diisi oleh pasien COVID-19 tanpa gejala yang ingin melakukan isolasi mandiri.
Kehadiran RS Darurat menjadi krusial dalam penanganan pandemi, demi menghindari penumpukan pasien COVID-19 di rumah sakit rujukan. Karena sifatnya sebagai tempat isolasi, RS Darurat pun tidak dipersiapkan untuk intensif care unit dalam penanganannya.
"Rumah sakit darurat penting, karena kita hitung dari persentase, dari WHO itu sudah disebutkan bahwa tidak semua pasien positif COVID-19 itu kan harus dirawat. Jadi, ada catatan bahwa kira-kira 80 persen pasien itu tidak perlu dirawat. Artinya, dia bisa isolasi mandiri karena tidak ada gejala atau ringan sekali," jelas Sekjen Persi, Lia Gardenia Partakusuma.
"Yang 20 persen ini bergejala, dari mulai ringan, sedang, berat, dan kritis. Dari kategori kritis, kira-kira 4-5 persen lah yang harus pakai ICU. Ini artinya, kalau kita lihat makin banyaknya orang yang terpapar COVID-19, dari persentase kan kita bisa hitung, berapa yang butuh ICU. Padahal kan ICU itu terbatas. RS kan enggak mungkin punya ICU banyak sekali. Ini yg menyebabkan, kelihatan berat banget bagi rumah sakit. Bahkan sebenarnya hampir seribu rumah sakit yang jadi rujukan."
Kondisi di lapangan, kata Lia, pasien yang dinyatakan positif COVID-19 biasanya menunjukkan dua reaksi sikap. Yang pertama, tidak panik dan memilih isolasi di rumah karena tidak bergejala. Yang kedua, setelah dinyatakan positif hasil tesnya, pasien langsung mencari rumah sakit meminta dirawat, padahal tanpa gejala.
Wanita berhijab ini mengatakan, dengan tingkat keterisian rumah sakit yang tinggi oleh pasien COVID-19, masyarakat perlu diinformasikan bahwa tidak semua yang positif harus masuk rumah sakit. Lia berharap mereka yang positif COVID-19 tapi tanpa gejala, sebaiknya memilih isolasi mandiri di rumah.
"Misalnya dia tidak bergejala, okelah di rumah saja. Tapi, kalau bergejala ringan, rumah sakit minta yang namanya rumah sakit darurat atau rumah singgah. Di sana kita minta diawasi juga, apakah oleh petugas puskesmas, atau ada yg mengawasi lah dari pemerintah. Kalau ada gejala, barulah dimasukkan ke kategori, apakah gejala sesak nafas, penurunan VO2-nya, barulah masuk rumah sakit. Kita butuh memang RS yg perantara ini seperti wisma atlet. Sekarang kan sudah ribuan orang di sana dirawat," kata Lia.
"Karena yang di wisma atlet ada yang bergejala sedang, padahal kan harusnya tidak boleh, karena bukan seperti rumah sakit yang lengkap. Jadi, masyarakat berhati-hati lah. Apalagi ini musim libur, bisa memancing. Ini menularnya cepat sekali, sangat infectious. Kita susah mau seperti apa. Kita menyediakan tempat tidur, rasanya enggak akan cukup-cukup. Kita sekarang mikir begini saja, ini rumah sakit sudah terbatas tempatnya, jadi Anda jangan sakit. Jangan masuk rumah sakit, kalau enggak buat semua. Kalau rumah sakitnya semuanya kebal begitu enggak apa-apa. Ini kan kalau semakin banyak yang sakit, penularan di rumah sakit akan tinggi juga."
Hotel dan Gelanggang Remaja
Lia mengungkapkan, sekarang ada beberapa pemda yang menjadikan hotel-hotel dan gelanggang remaja sebagai RS Darurat untuk merawat pasien dengan gejala ringan. Beberapa hotel diketahui bekerja sama juga dengan rumah sakit dan beberapa pasien yang telah diseleksi dokter-dokter rumah sakit, dikirim untuk melakukan isolasi di hotel yang telah ditentukan.Â
"Nginepnya bukan di rumah sakit, nginepnya di hotel. Nanti ada dokter yang akan memantau tiap hari, mungkin dengan whatsApp atau komunikasi dan beberapa hari sekali akan datang dan melihat kondisi pasien yang di hotel itu. Itu jadi salah satu solusi, daripada dia pulang juga takut. Tapi, kemudian di rumah sakit juga tidak ada tempat, nah akhirnya jadi dibuka lah hotel-hotel. Sekarang hunian hotel kan lagi sepi, jadi beberapa hotel yang lagi sepi itu menerima pasien COVID-19."
Fenomena yang terjadi sekarang kata Lia, adalah ketika rumah sakit darurat dibuka oleh sebuah daerah, pasien COVID-19 langsung masuk dan jumlahnya terus bertambah. Dia meminta kesadaran masyarakat agar ketika libur akhir tahun tidak dimanfaatkan untuk liburan yang berkerumun tanpa mematuhi protokol kesehatan.
"Ini belum liburan, bagaimana kalau sudah liburan? Biasanya kalau seminggu sesudah liburan, itu naiknya lebih pesat lagi. Lihat saja angkanya dari liburan kemarin (akhir Oktober), bagaimana kenaikannya begitu tajamnya setelah liburan. Itu sepertinya kalau kita mau menantang itu, ya kaya begitu jadinya. Susah buat kita sampaikan. Ok usaha harus banyak, tapi virus ini ulet sekali, jadi cepat sekali menular dan kita tidak bisa tahu, tiba-tiba di sekitar kita sudah positif," terang Lia.
"Yang merepotkan adalah dari hasil pemeriksaan-pemeriksaan di lab sekarang, bukan hanya 10 persen atau 20 persen, lebih bahkan 30 persen hasilnya positif dari yang melakukan pemeriksaan. Kan itu sudah menyatakan yang 30 persen dari 10 orang misalnya, sudah 3 orang yang positif, itu untuk yang di rumah sakit. Untuk di massal, mungkin agak lebih rendah," bebernya.
Advertisement
Setelah RS Darurat, Butuh Nakes Darurat
Di mata epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono, dengan banyak bermunculannya RS Darurat berarti kebutuhan akan tenaga kesehatan pun bertambah. Menurut Tri Yunis, dalam kondisi pasien COVID-19 yang terus meningkat seperti saat ini, semua provinsi dan kabupaten perlu penambahan pelayanan kesehatan.
"Mau tidak mau, nakesnya harus ditambah. Diambil dari dokter-dokter yang baru lulus, kemudian perawat yang baru lulus, bidan yang baru lulus, terpaksa dipekerjakan, kalau perlu dokter-dokter muda dikerahkan semua untuk kepentingan nasional," ujar Tri Yunis saat dihubungi Liputan6.com.
"Makanya, provinsi yang kasusnya tinggi semua, harus punya rumah sakit darurat dan tenaga kesehatan darurat. Semua sudah merekrut, daerah yang punya dana sudah merekrut tenaga kesehatan, yang tidak punya dana tidak merekrut. Makanya, perlu perekrutan secara nasional."
Tri Yunis juga mendesak pemerintah pusat kembali mendirikan RS Darurat nasional seperti di RSKI Pulau Galang. Dia menilai, masih terdapat banyak fasilitas yang dapat digunakan untuk menjadi RS Darurat nasional lainnya.
"Menurut saya, tidak ada penambahan fasilitas pelayanan kesehatan secara nasional, hanya di pulau galang. Secara nasional harus disiapkan RS darurat lagi dengan diklat yang disulap atau litbang yang disulap. Harus ada penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan," papar Tri Yunis.
Karena Indonesia tidak melakukan lockdown, dia berharap pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dilakukan serius dan ketat. Apalagi Indonesia juga belum sampai pada puncak gelombang pertama pandemi COVID-19, padahal banyak negara lain yang sudah memasuki gelombang kedua.
"Kita masalahnya, kalau negara lain sampai kasusnya minimal turun. Seminimal mungkin, kemudian baru dilepas lockdown-nya. Kemudian dua minggu stabil, dilepas, dia (negara lain) itu grafiknya benar-benar sampai turun minimal. Kalau kita, baru turun sedikit (kasusnya), dilepas, jadi grafiknya naik terus. Dari dua ribu, tiga ribu kasus hariannya, sampai sekarang naik enam ribu."
Sementara itu, Sekjen Persi, Lia Gardenia Partakusuma, menerangkan, RS Darurat di daerah mendapat bantuan tenaga kesehatan (nakes) dari Puskesmas. Namun, pemerintah pusat sebelumnya sudah merekrut banyak sekali relawan, baik nakes maupun dari non nakes, untuk membantu di berbagi RS Darurat.
"Cuma ya itu tadi, kan artinya bahwa mereka (relawan) ini perlu dilatih lagi dan juga sekarang kan, pekerjaan rutin puskesmas mulai terganggu nih. Di dunia kesehatan kan, penyakit yang harus ditangani segera, misalnya kaya pandemi ini. Tapi, ada penyakit-penyakit yang tidak bisa hilang, karena esensial, ada pasien yang kontrol hamil, ada yang harus imunisasi, ada orang dengan penyakit kronik, itu kan juga harus dikerjakan kan. Karna dengan adanya fokus ke pandemi ini, orang-orang yang sakit esensial ini kan jadi terabaikan. Kasihan juga," tutur Lia.
"Masalahnya bukan hanya menangani COVID-19 saja, yang non COVID-19 pun menjadi satu hal yang perlu dipertimbangkan. Itu dari tenaga, itu tadi tenaga-tenaga puskesmas yang diperbantukan ke RS singgah atau RS darurat, kan harus diambil juga tenaganya dari puskesmas. Mungkin ada relawan yang bantuin, tapi harus ada tenaga pokok yang sudah paham soal itu. Yang terjadi sekarang demikian," katanya.
Bantuan nakes untuk RS Darurat juga bukan hanya datang dari puskesmas dan relawan saja. Nakes di Kementrian dan berbagai instansi pemerintah turut diperbantukan ke RS Darurat.
Minta Kesadaran Masyarakat
Rumah sakit darurat COVID-19 memang tengah terus didirikan di sejumlah daerah di tanah air. Tapi, Sekjen Persi, Lia Gardenia Partakusuma, berharap hal tersebut tidak membuat masyarakat malah jadi tenang karena fasilitas yang tersedia.
"Mudah-mudahan ini tidak membuat masyarakat menjadi tenang karena rumah sakit sudah siap, tempat tidurnya banyak. Tapi, bagaimana cara berpikir (masyarakat) bahwa rumah sakit ini sudah penuh, enggak usah ke rumah sakit lah," ujar Lia.
"Walaupun okelah, rumah sakit tersedia ribuan tempat tidur. Lalu apakah hanya tempat tidur saja atau hanya ruangan saja. Bagaimana dengan SDM (Sumber Daya Manusia). Keluarga yang sakit tertular, kita harus cek lagi labnya berarti harus tambah lagi. Ribet lah, jadi kalau bisa marilah kita jaga biar penularan ini agar berhenti."
Menurut Lia, dengan banyaknya RS Darurat yang didirikan, itu menjadi indikator bahwa pasien COVID-19 semakin banyak dan harus dirawat. Terlebih, tidak sedikit orang yang dinyatakan positif COVID-19, langsung mengambil sikap tidak mau berada di rumah karena takut menularkan ke keluarganya.
Lia berharap agar masyarakat mau sedikit menahan diri untuk bepergian jika tidak sangat mendesak. Kalaupun harus bepergian, harus menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan konsisten.
"Artinya, jangan tergantung sama rumah sakit. Lebih baik safety saja, walaupun rumah sakit tempat tidurnya cukup, atau tempat tidurnya enggak cukup, jangan lah kita memancing-mancing risiko. Karena risiko itu terlalu besar untuk menjadi sakit," ungkap Lia.
"Itu cafe-cafe dan restoran-restoran, masih banyak orang yang makan dengan buka masker. Apa enggak sebaiknya beli dan makan di rumah. Padahal itu potensial banget untuk menularkan."
Advertisement