Kebiri Kimia Bagi Predator Seksual Anak, Polri: Tugas Kami Mengacu KUHAP

Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 terkait hukuman kebiri bagi predator seksual anak.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 06 Jan 2021, 16:13 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2021, 16:13 WIB
Kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual
Kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual. (Foto: Ewa Urban/ Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 terkait hukuman kebiri bagi predator seksual anak. Terkait hal tersebut, Polri menegaskan akan tetap melaksanakan penyidikan atas kasus-kasus terkait sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Kepolisian sebagai penyidik tetap mengacu pada KUHAP ya," tutur Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2021).

Menurut Ahmad, penetapan hukuman kebiri pada predator seksual anak merupakan ranah kejaksaan. Kepolisian akan bekerja sesuai kewenangannya dalam penyelidikan dan penyidikan kasus.

"Kita hanya melakukan penyidikan, kita melakukan bagaimana mengungkap sesuatu mencari unsur pidananya. Jadi mengikuti criminal justice system. Jadi untuk proses eksekusinya adalah ranah jaksa penuntut umum," kata Ahmad.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Adapun dalam pertimbangannya, seperti dikutip Liputan6.com, Minggu (3/1/2021), PP ini disahkan Presiden Jokowi untuk memberi efek jera pelaku. Kebiri kimia juga untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Perlu diketahui PP Nomor 70 Tahun 2020 ini sudah ditandatangani Jokowi dari 7 Desember 2020.

"Bahwa untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang," demikian bunyi pertimbangannya.

Dalam aturan ini, ada tiga kategori pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dapat dihukum dengan aturan baru tersebut. Pertama, terhadap pelaku pidana persetubuhan kepada anak.

Kedua, pelaku persetubuhan terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman yang memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang juga pelaku persetubuhan.

Ketiga, pelaku perbuatan cabul terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman, memaksa melakukan tipu muslihat, dengan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Namun demikian, pada Pasal 4, hukuman terhadap tiga kategori pelaku itu dikecualikan jika pelaku juga masih tergolong sebagai anak.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tak Bisa Ditetapkan Langsung

Sebagai informasi, tindakan kebiri tidak bisa dilakukan secara langsung. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun. Tindakan kebiri juga mempertimbangkan aspek klinis, kesimpulan dalam pelaksanaannya.

PP ini disambut baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Karena dinilai bisa memberi efek jera.

Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar mengatakan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat merusak masa depan Indonesia. Karena itu, pelaku harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia.

"Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan," kata Nahar, Senin (4/1/2021).

Nahar menuturkan, dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sementara, tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.

"Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia," tutur dia.

Selain itu, menurut dia, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia. Namun, lanjut Nahar, harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.

"Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik," kata Nahar.

Nahar menuturkan, tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

"Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 1 (satu) orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia," kata dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya