Jerat Jurnal Predator Lemahkan Budaya Riset Perguruan Tinggi?

Publikasi mendadak menjadi tolok ukur penting karier seorang akademisi. Padahal perubahan budaya riset dan dukungan fasilitasnya tidak secepat perubahan kebijakan yang berorientasi pada luaran tersebut.

oleh Yopi Makdori diperbarui 15 Feb 2021, 07:11 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2021, 06:56 WIB
Kampus Universitas Indonesia (UI) (Doc. Universitas Indonesia)
Kampus Universitas Indonesia (UI) (Doc. Universitas Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta Dosen sekaligus peneliti di Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Sunu Wibirama menganggap banyak peneliti di Indonesia yang gagap akan budaya riset. Hal itu karena budaya riset di Indonesia dipandang Sunu masih terbatas pada tuntutan karier akademis.

"Peneliti dan akademisi di Indonesia mengalami gagap budaya riset karena adanya rangking-rangking yang menjadi tolok ukur kinerja sebuah lembaga, baik lembaga setingkat universitas maupun di tingkat kementerian. Kalau kita tarik mundur 10-15 tahun ke belakang, syarat untuk menjadi seorang guru besar di Indonesia tidaklah serumit saat ini. Dari sini kita bisa melihat bahwa budaya riset berbasis publikasi sebenarnya belumlah terlalu lama dipraktikkan di Indonesia," kata Sunu dalam laman Facebooknya yang telah dikonfirmasi dan meminta izin untuk pengutipan di Liputan6.com, Kamis 11 Februari 2021.

Sunu menimbang dengan adanya peringkatan tersebut, publikasi mendadak menjadi tolok ukur penting karier seorang akademisi. Padahal perubahan budaya riset dan dukungan fasilitasnya tidak secepat perubahan kebijakan yang berorientasi pada luaran tersebut.

"Akibatnya bisa kita tebak dengan mudah, proses bukan menjadi sesuatu yang krusial dalam menghasilkan luaran riset," sebutnya.

Hal-hal seperti itu, menurut Sunu sebenarnya sangat berbahaya karena akan mudah membuat ilmuwan tergelincir melakukan klaim-klaim spektakuler tanpa adanya basis pengetahuan yang memadai.

"Jika klaim ini menyangkut nyawa manusia atau kesehatan masyarakat, tentu hal ini sangat berbahaya," katanya.

Menurut Sunu adanya tuntutan kinerja untuk para akademisi yang hanya memperhatikan angka-angka kuantitatif (luaran penelitian) juga akan menghasilkan mentalitas jalan pintas (shortcut mentality). Ini masalah lama dan sistemik, sebab angka-angka capaian kinerja memang lebih mudah digunakan untuk menilai prestasi seseorang daripada uraian panjang yang jujur dan obyektif.

"Bahkan sejak kecil, rapor anak-anak kita lebih banyak diisi dengan angka-angka kuantitatif daripada uraian yang menjabarkan proses perkembangan belajar mereka. Akibatnya, sejak kecil kita sudah dididik untuk berorientasi pada hasil, bukan proses. Sikap mental ini sudah terlanjur menjadi budaya karena dijustifikasi oleh peraturan dan cara pandang masyarakat kita yang 'ogah ribet'," sebutnya.

 

Saksikan Video Terkait Berikut Ini:

Tak Punya Bekal

Universitas Gadjah Mada Masuk Daftar Perguruan Tinggi Paling Eksotik di Dunia
UGM menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang masuk daftar kampus paling eksotis di Dunia (Sumber foto: www.ugm.ac.id

Sunu memandang sejumlah universitas dan lembaga penelitian di Indonesia tidak memiliki basis ilmuwan yang kuat untuk menutup, apa yang dia sebut, gagap budaya riset. Sebagian ilmuwan Indonesia yang berkarier di luar negeri sebenarnya memilih untuk tidak berada di Indonesia karena lemahnya dukungan fasilitas penelitian dan kebijakan yang memudahkan peneliti untuk berinovasi.

"Lemahnya dukungan SDM ini berakibat pada lemahnya transfer pengetahuan dan pengalaman yang didapat oleh para ilmuwan ini ketika mereka menimba ilmu di luar negeri. Masalah-masalah teknis yang mendukung peningkatan kualitas publikasi ilmiah seperti manajemen riset, etika publikasi, dan pengalaman dalam berkorespondensi serta menjawab komentar-komentar reviewer jurnal internasional adalah best practices yang tidak didapatkan dari buku semata, tapi dari praktik riil di lapangan," kata Sunu.

Ilmu-ilmu tersebut, menurut Sunu tidak bisa didapatkan karena orang-orang yang memiliki best practices dalam hal-hal seperti ini tidak hidup dan berkarya di Indonesia.

 

Riset Indonesia Meroket

Ratusan Mahasiswa Deklarasikan Gerakan Antikorupsi
Seorang mahasiswa berjaket kuning melakukan orasi politiknya dari atas panggung saat menggelar Rapat Akbar Gerakan Anti Korupsi (GAK) Nasional di Kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (20/3/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Sebelumnya Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Nizam menyampaikan bahwa dalam kurun beberapa tahun pertumbuhan publikasi ilmiah internasional Indonesia terus mengalami peningkatan. Bahkan mulai diperhitungkan di Asia Tenggara.

"Dalam lima, enam tahun terakhir itu perkembangan publikasi kita di dunia internasional itu meningkat eksponensial. Tidak terbayang, negara-negara Asean yang lain itu malah ada yang turun, ada yang tetap saja tapi kita eksponensial. Jadi kita bisa kalau kita betul-betul bekerja keras dan bersinergi," kata Nizam dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR RI pada Kamis (4/2/2021).

Prestasi ini begitu luar biasa. Pasalnya menurut Nizam di saat yang bersamaan sejumlah negara Asean justru mengalami kemandekan atau bahkan penurunan jumlah publikasi. Sementara Indonesia sebaliknya.

Sebagai pembanding pada 2013 Indonesia hanya menduduki posisi di atas 50 sebagai negara dengan jumlah terbitan jurnal ilmiah internasional terbanyak. Sementara saat ini sudah berada di nomor 21.

"Dari urutan ke-54 pada 2013 sekarang posisi ke-21. Dulu menjadi kambing congek di Asia Tenggara, sekarang sudah di atas Thailand, di atas Singapura dan di atas Malaysia," katanya.

Menurut Nizam semangat seperti inilah yang mestinya terus didorong melalui sebuah Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Nizam berharap perguruan tinggi bakal menjadi pusat dari perkembangan di segala lini.

"Perguruan tinggi harus menjadi mata air bagi pembangunan bangsa dan negara, bagi pembangunan industri, pembangunan ketahanan pangan dan seluruh sektor," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya