Liputan6.com, Cilacap - Hajatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti acara semisal resepsi atau selamatan. Hajatan atau resepsi ini biasanya digelar dalam kaitannya dengan acara pernikahan, khitanan dan lain sebagainya.
Hajatan ini sudah menjadi semacam adat atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat saat dirinya memilliki keperluan berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas.
Advertisement
Menyoroti pagelaran hajatan yang dilakukan oleh banyak orang ini, murid kinasih Mbah Moen, KH. Ahmad Bahauddin Nursalilm (Gus Baha) memberikan pandangan mengenai hukum hajatan.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Gus Baha hajatan hukumnya haram. Beliau memberikan argumentasi dan alasannya sehingga ia berpendapat demikian.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Alasan Gus Baha
Gus Baha meyakini bahwa hukum hajatan itu haram. Beliau mengatakan bahwa ini merupakan pandangan pribadi dan tidak harus diterapkan untuk orang lain.
"Karena keyakinan saya punya hajat (resepsi) itu haram. Ini menurut pandangan saya pribadi. Kalau anda silahkan," ujar Gus Baha dikutip dari tayangan YouTube Sekolah Akhirat, Rabu (20/11/2024).
Lebih lanjut Gus Baha menerangkan alasannya, mengharamkan hajatan atau resepsi ini disebabkan karena sumbangan hajat yang dilakukan oleh orang lain. Ia menilai sumbangan tersebut acapkali membuat orang lain merasa berat atau terbebani.Â
"Awal mula shodaqoh menggerutu itu perkara orang buwoh (memberi uang ke yang punya hajat). Kalau tidak buwoh tidak pantas, jadi jatuhnya shodaqoh dipaksa," terangnya.Â
"Shodaqoh itu sudah ibadah riskan rawan masalah. Kalau kamu memberinya ikhlas bagus, tapi sekalinya tidak ikhlas rawan diungkit-ungkit," imbuhnya.Â
Advertisement
Tak Pernah Hadir di Acara Hajatan
Dengan adanya tradisi sumbangan di acara hajatan atau resepsi tersebut yang menurutnya merupakan shodakoh yang bikin orang menggerutu , maka pada saat ada acara pernikahan atau yang semisalnya, Gus Baha tidak pernah menghadiri, meskipun yang menikah merupakan putra gurunya.Â
"Makanya saya tidak pernah datang ke acara buwoh. Saat putra guru saya nikah, saya tidak datang. Memang sengaja, sudah pada tahu kalau madzhab saya gitu," jelasnya.Â
Lebih lanjut, Gus Baha mengingat pada saat ia menikahi istrinya. Ia datang sendiri ke rumah mempelai wanita tanpa diiringi rombongan dan perayaan lainnya.Â
"Saya dulu pas nikah, punya anak buah banyak dan punya mobil banyak. Tapi saya nikah dari Jogja ke Pasuruan, istri saya dari Pasuruan naik bisa sendirian. Lalu sampai di sana diantar bapak lalu nikah," tambahnya.Â
Demikian halnya keyakinannya akan hukum hajatan ini, maka ia pun berniat tidak akan menggelar hajat atau resepsi di saat pernikahan anak perempuannya.Â
"Saya punya anak perempuan, saya bilang ke istri saya. Kalau saya masih hidup tidak akan punya hajat (resepsi)," pungkasnya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 CingebulÂ