Cerita Pemberontakan Bersenjata di Bukittinggi saat Indonesia Baru Merdeka

Pemberontakan ini dilakukan oleh laskar, yaitu unit-unit kemiliteran yang mandiri dan di luar dari tentara reguler yang resmi.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 03 Mar 2021, 07:33 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2021, 07:33 WIB
Jam Gadang
Jam Gadang yang menjadi ikon Kota Bukittinggi, Sumbar. (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Kemerdekaan Indonesia masih sangat muda, ketika perpecahan itu memuncak. Dengan sejumlah alasan serta tumpukan rasa tidak suka, pergolakan terjadi di wilayah Keresidenan Sumatera Barat, tepatnya di ibu kota Bukittinggi.

Wilayah administratif Sumatera Barat kala itu memang berbentuk keresidenan, yang dipimpin oleh Residen Mr. Muhammad Rasjid sejak 20 Juli 1946.

Pada Senin 3 Maret 1947, terjadi pemberontakan yang berpusat di markas pemerintahan di Bukittinggi di samping beberapa kota lainnya di Sumatera Barat. Pasukan yang terlibat di Bukittinggi terutama adalah milisi Hizbullah yang ditarik dari Solok, Padangpanjang dan Payakumbuh.

Audrey Kahin dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menggambarkan pergolakan yang terjadi di Ranah Minang ketika itu.

"Pada tanggal 3 Maret 1947, unit-unit bersenjata yang umumnya berasal dari laskar-laskar muslim mengangkat senjata melawan pemerintah Republik di Bukittinggi dan di beberapa kota lain di Sumatera Barat."

Yang harus digarisbawahi adalah bahwa pemberontakan ini dilakukan oleh laskar, yaitu unit-unit kemiliteran yang mandiri dan di luar dari tentara reguler. Kelompok yang memimpin pemberontakan di pagi hari itu, menurut Audrey, sebagian besar berasal dari partai politik Islam dan laskar agama serta sekuler.

Kelompok ini diketuai pendiri dan pimpinan Muhammadiyah Padangpanjang yang saat itu menjabat sebagai Bupati Solok, Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan ulama asal Padang Panjang Adam BB bersama sejumlah tokoh laskar Islam Hizbullah, Sabilillah dan Lasjmi. Pasukan ini berada dibawah komando Kolonel Hizbullah Sjamsuddin Ahmad.

Dikutip dari Langgam.id, tujuan utama pemberontakan adalah untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik dan untuk menculik kepala pemerintahan di sana, yaitu Residen Mr Muhammad Rasjid dan Komandan Militer Ismail Lengah serta pejabat lainnya.

Namun, kedua pemimpin itu telah disiagakan untuk kemungkinan terjadinya pemberontakan. Sementara pemberontakan sendiri sebenarnya kurang memiliki daya kejut lantaran sudah tercium sepekan sebelumnya. Ketika dua pemimpun itu sudah mendapat perlindungan yang cukup, ulama lokal pun ketika itu diminta untuk tidak mengambil bagian dalam pemberontakan.

Kendati demikian, sempat terjadi kontak tembak di Bukittinggi selama beberapa jam. Namun, sebelum berhasil masuk kota, kelompok penyerang sudah menyerah. Selain tak berhasil menangkap Rasjid dan Ismail, gerakan ini ternyata lemah dan tak terorganisir.

Karena gerakan ini sudah diketahui sebelumnya, para pemimpin militer Republik telah menyusun rencana operasi untuk mendikte langkah dari kelompok laskar untuk mencegah kekerasan dan meminimalkan kerugian.

Saafroedin Bahar dalam buku Etnik, Elite, dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984 RI 1985-2005 mengatakan, sekitar 200 personel Divisi Banteng dari Padang didatangkan untuk membantu memadamkan pemberontakan. Kepada para tentara itu, menurut Saafroedin, sudah diberikan instruksi untuk mengurangi tembakan seminim mungkin agar tidak muncul korban yang tak perlu.

Dengan penghadangan yang rapi, tentara berhasil melucuti laskar yang semula ingin menyerang dan membuat mereka menyerah. Mereka dilucuti dan beberapa pria yang berusaha melarikan diri dengan cara membaur dengan warga sipil tidak dikejar.

"Mereka yang berusaha bersembunyi di rumah-rumah rakyat dibiarkan saja, tidak dikejar," tulis Saafroedin.

Di luar Bukittinggi, para pemberontak berhasil menangkap beberapa pejabat sipil, antara lain Rusad Datuk Perpatih nan Baringek, Eni Karim, Anwar Sutan Saidi, Gafar Djambek, dokter Roesna dan istri. Lalu, Bupati Murad hingga Wakil Kepala Polisi Padangpanjang. Sedangkan dalam pertempuran di Bukittinggi, tercatat seorang tentara tewas dan salah satu pemberontak terluka.

Polisi Militer (PM) kemudian menangkap beberapa tokoh pemimpin gerakan. Sejumlah tokoh lain berupaya menjadi penengah untuk mencarikan kompromi. Upaya ini ditolak oleh Ismail Lengah. Namun, Residen Rasjid dan sejumlah petinggi keresidenan menekankan bahwa para pemberontak itu tak boleh diperlakukan sewenang-wenang.

Sementara, anggota laskar pemberontak yang ditangkap dipenjarakan, tetapi setelah beberapa hari mereka dibebaskan dan dipulangkan oleh pemerintah dengan membawa uang dan pakaian.

Lantas, apa akar permasalahan yang membuat laskar ini memberontak?

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kemarahan yang Menumpuk

ibu kota
Istana Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatera Barat yang menjadi pusat pemerintahan RI selama peralihan kekuasaan ke PDRI. (Ist)

Masih dalam bukunya, Saafroedin menyebutkan, beberapa bulan sebelum pecahnya pemberontakan itu, sudah ada keresahan di kalangan para laskar. Antara lain disebabkan oleh perbedaan pelayanan perbekalan antara tentara reguler Divisi IX Banteng yang jauh lebih baik dibandingkan perbekalan untuk laskar. Padahal, kedua kesatuan bertugas di front yang sama, yakni Padang Area.

"Selain itu, mereka menilai pimpinan perjuangan di daerah bersikap lembek kepada para bekas pejabat pamongpraja Hindia Belanda," papar Saafroedin.

Kemarahan itu berawal kerika para pegawai Pemerintah Hindia Belanda di masa lalu itu disebutkan mengadakan pertemuan di salah satu desa di pinggir Danau Singkarak. Pertemuan tersebut dikatakan menghasilkan Piagam Singkarak di mana mereka dikabarkan bersiap untuk menerima kembali kedatangan Pemerintah Kerajaan Belanda. Kemudian, butir-butir Perjanjian Linggarjati juga turut menjadi pemicu. Perjanjian yang dilaksanakan pada 11-13 November 1946 itu berlangsung di Linggarjati, Cirebon.

Perjanjian Linggarjati mengharuskan tentara Republik di Sumbar mundur dari Kota Padang dan sekitarnya. Para pejuang hanya boleh menempatkan satu kelompok kecil polisi dan beberapa aparat pemerintahan inti di kota tersebut. Hal ini membuat warga Sumatera Barat berang.

Audrey Kahin yang mewawancarai Sjuib Ibrahim dan Maksum, dua pimpinan Hizbullah di Kota Padang pada 1 Juli 1976 mengungkapkan empat penyebab lain yang lebih substansi.

Pertama, ketidakpuasan atas ketimpangan antara kekuatan politik Islam di tingkat nagari yang kurang terwakili di tingkat keresidenan. Kedua, banyak pimpinan keresidenan yang dituding dekat dengan Belanda sehingga dikhawatirkan mereka menghambat revolusi.

Ketiga, ketidaksenangan pasukan di garis depan yang menuding para perwira militer di Bukittinggi hidup bersenang-senang. Keempat, sama dengan yang diungkapkan Saafroedin, laskar marah karena perbekalan pasukan hanya diperuntukkan bagi pasukan reguler, sementara mereka tidak kebagian apa-apa.

Keresahan laskar tersebut kemudian mendapat simpati dari Komandamen Sumatera di Medan. Saat mereka datang ke Sumatera Barat, secara tak sadar telah memihak kepada unsur pimpinan laskar Hizbullah setempat. Rombongan ini terdiri dari Kapten Rahmat Tobri, Letnan Satu Zubir Adam, Mohammad Idris, dan A. Djauhari Pulungan.

Adapun kedatangan mereka untuk menyelidiki Piagam Singkarak dan beberapa masalah lainnya. Letnan Satu Zubir Adam kemudian memiliki hubungan erat dengan kalangan pemimpin Islam setempat, khususnya dengan Bupati Saalah Sutan Mangkuto, Nazaruddin Datok Radjo Mangkuto, dan Letnan Kolonel Hizbullah Sjamsuddin Ahmad.

Simpati kepada laskar Hizbullah bahkan juga datang dari kalangan pasukan reguler lokal. Seorang komandan kompi di front Padang Area, Letnan Satu Ayub Bakar beserta kompinya meninggalkan daerah tanggungjawabnya dan memilih bergabung dengan para pemberontak.

Namun, seperti diungkap sebelumnya, pemberontakan tersebut gagal. Dua tokoh pemberontakan ditangkap dan harus menjalani persidangan yang melibatkan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kita kenal dengan sebutan Buya HAMKA.

 

Jalan Tengah untuk Laskar

Suasana Objek wisata Panorama Ngarai Sianok Bukittinggi sebelum pandemi virus corona. (Liputan6.com/ Novia harlina)
Suasana objek wisata Panorama Ngarai Sianok Bukittinggi sebelum pandemi virus corona. (Liputan6.com/ Novia harlina)

Hanya dua tokoh politik, yakni Saalah Sutan Mangkuto dan Nazaruddin Datuk Radjo Mangkuto yang kemudian disidang terkait pemberontakan yang gagal pada 3 Maret 1947. Sidang berlangsung pada 15-17 Juni 1947 dengan majelis hakim Mr. Harun Al Rasjid didampingi Letkol Burhanuddin dan Mayor Abunawas. Sebagai jaksa penuntut umum diserahkan kepada Idrus, sementara Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menjadi penasihat hukum para terdakwa.

Dalam tulisan di Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978/ 9 Sya’ban 1398, halaman 17-23, Buya HAMKA menuliskan pengalamannya menjadi penasihat hukum itu.

"Kawan-kawan separtai dalam Masyumi dan Pimpinan Muhammadiyah Minangkabau menyerahkan kepada saya sendiri dengan penuh kepercayaan untuk bertindak sebagai pembela dari kawan-kawan yang tersangkut dalam peristiwa itu. Di antaranya ialah saudara S.Y. Sutan Mangkuto (Alm), yang saya gantikan menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat karena beliau menjabat Bupati di Solok," tulisnya.

HAMKA mengaku tidak menyangka bakal jadi pengacara dadakan.

"Di zaman revolusi hal yang tidak kita sangka dapat saja kejadian. Sampai saya yang tidak pernah masuk sekolah, jangankan masuk Fakultas Hukum, memberanikan diri menjadi advokat atau pengacara untuk membela suatu perkara yang boleh dikatakan besar dan Alhamdulillah pembelaan itu berhasil dengan baik," katanya seperti dikutip dari Langgam.id.

Pembelaan Buya HAMKA dalam persidangan membuat Saalah Sutan Mangkuto hanya dapat hukuman percobaan dari Mahkamah Militer. Sementara Nazaruddin Datuk Radjo Mangkuto divonis satu tahun penjara.

Setelah peristiwa tersebut berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan. Namun kecurigaan dari kedua belah pihak masih terjadi.

Pemimpin Masyumi Mohammad Natsir (yang berasal dari Sumatera Barat) kemudian melakukan perjalanan ke Bukittinggi memimpin delegasi Masyumi untuk menyelidiki insiden tersebut. Dia kemudian menyimpulkan bahwa Partai Masyumi sendiri tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, meskipun melibatkan sejumlah anggotanya.

Sampai kemudian, Perintah Presiden Sukarno pada 3 Juni 1947 mengharuskan seluruh laskar bergabung ke tentara reguler. Hal yang disambut baik banyak pihak di Sumbar. Meski menemui berbagai kendala, menurut Audrey Kahin, pada awal 1948 seluruh laskar berhasil digabungkan dalam komando militer resmi.

Kekuatan inilah yang kemudian menjadi pengawal utama Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948. Mereka makin menyatu, saat bergerilya sejak akhir 1948 sampai pertengahan 1949 mengawal berjalannya pemerintahan darurat.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya