Liputan6.com, Jakarta - Apa yang dunia bisa pelajari dari Indonesia? Itulah yang berusaha dijawab ABC, lembaga penyiaran asal Australia, lewat program terbaru mereka, Culture by Design, yang bakal ditayangkan perdana pada Minggu, 20 April 2025. Total ada 11 seniman dan artisan Indonesia yang diwawancarai untuk menggali esensi kebudayaan Indonesia.
"Indonesia adalah tempat terdekat kami, memiliki komunitas kreatif yang sangat beragam dan hidup dan merupakan penonton yang sangat penting untuk ABC Australia. Jadi, kami ingin berkolaborasi dengan orang-orang di Indonesia agar kami bisa menciptakan sesuatu yang akan memengaruhi penonton Indonesia," kata Claudine Ryan, produser eksekutif dan manajer produksi layar ABC Australia dalam peluncuran di Salihara, Jakarta, Kamis, 17 April 2025.
Tiga di antaranya tampil di episode pertama. Mereka adalah 'pedagang kain' Josephine 'Obin' Komara, seniman multibidang asal Yogyakarta Eko Nugroho, dan seniman keramik Dyah Retno Fitriani. Masing-masing membuka diri pada lontaran pernyataan ingin tahu dari presenter acara tersebut, Anthony Burke yang juga dikenal sebagai profesor di bidang arsitektur di Australia.
Advertisement
Berdasarkan penggalian yang dilakukan tim ABC Australia, ada benang merah utama yang menjadi ciri khas para seniman Indonesia kala berkarya, yakni merangkul komunitas. Keberadaan orang-orang sekitarnya tidak bisa dipisahkan dalam aktivitas mereka sehari-hari.
Obin, misalnya, menjabarkan rangkaian pembuatan kainnya sebagai 'orkestrasi' dengan melibatkan beragam orang dengan beragam peran. Ada yang memintal benang, ada yang menenun kain, ada yang mewiron, ada yang mencelup kain ke pewarna, semua harus padu demi menghasilkan karya yang apik.
"Kita bukan artis individual... Kita semua adalah bagian dari komunitas besar, terutama dalam pekerjaan dan pembuatan kain," ujar pemilik brand BIN House itu.
Â
Pentingnya Komunitas bagi Seniman Indonesia
Pendapat serupa dilontarkan oleh Dyah, dosen sekaligus seniman keramik yang berbasis di Kasongan, Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa mayoritas pendekatan seni di Indonesia berangkat dari lingkungan, tradisi, dan komunitas di sekitarnya. Hal itu menjadi kunci agar seni bisa berkelanjutan.
"Jadi bukan hanya tentang caranya, tapi juga tentang komunitas, tentang bagaimana satu orang bisa memengaruhi orang lain. Jadi, saya pikir komunitas atau orang sangat penting dalam pekerjaan saya," katanya.
Komunitas, sambung Dyah, adalah support system bagi pekerjaannya. Mereka bisa saling mengisi, mulai dari meneliti, membuat, membahas, memproduksi, hingga mengedukasi tentang keramik. Itu pula yang melatarinya mendirikan Forum Keramik Jogja yang anggotanya adalah mahasiswa, alumni, dosen, dan pecinta keramik.
"Kita mulai dari penduduk. Kita mulai dari masyarakat. Kita mulai dari sesuatu yang tradisional. Sesuatu yang kita temukan setiap hari dan itu bisa menjadi cara strategis untuk menciptakannya.
Eko Nugroho menambahkan bahwa selain kolaborasi, ada unsur cinta yang tidak bisa dilepaskan dari proses berkesenian di Indonesia. Tanpa cinta, karya tidak bisa dihasilkan dengan baik atau pekerjaan sebagai seniman tidak akan langgeng.
"Desain adalah ibu dari semua kesenian. Dan menurut saya, di mana pun itu sebuah kesenian berada, desainlah yang menyatukan semua bentuk komunikasi itu," imbuhnya.
Advertisement
Menyimpan Warisan untuk Masa Depan
Obin pun mengapresiasi program tersebut karena bisa mewakili dan membawa Indonesia ke kancah internasional. Menurutnya, program itu adalah kesempatan bagi Indonesia menampilkan apa yang susah dilihat orang sekarang.
"Mungkin ini adalah satu pengulangan, di mana the secrets and the mysteries, rahasia-rahasia yang ada di negara-negara lain, yang indah-indah itu dibawa ke luar negeri semuanya," katanya.
Lewat program tersebut, ia ingin menyimpan warisan untuk generasi di masa mendatang. Ia mengakui bahwa ada kekhawatiran tentang tradisi dan budaya Indonesia di tangan generasi selanjutnya. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasinya selain dengan membuat karya yang indah lewat pikiran yang baik.
"Jadilah orang baik. Bikin karya-karya yang indah. Jangan bikin sampah. Saya yakin bahwa apapun yang Mas Eko, saya, dan siapapun lakukan, bila satu hari di 100 tahun yang akan datang, karya-karya kami tetap akan ada," ujarnya.
"Kalau pun itu tergeletak di jalan, atau di mana pun, karya itu tidak akan dirusak. Akan selalu ada seseorang yang mengambilnya dan membawanya ke rumah karena itu bentuk cinta," imbuh Obin.
Kesempatan untuk Diskusikan Hal-hal Baik dari Indonesia
Alvin Tjitro, desainer furnitur Indonesia, tak kalah bersemangatnya dengan para seniman lain yang tampil di program tersebut. Ia menyebut program yang memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia itu hadir di waktu yang tepat di saat kondisi global sedang hiruk-pikuk dan kacau karena beragam alasan.
"Rasanya kalau bukan kita sekarang yang benar-benar mempertahankannya, itu sudah akan hilang. Dan, konsekuensi untuk komunitas atau negara yang kehilangan budayanya itu biasanya manusianya tidak punya sense of belonging atau sense of ownership. Ini yang rasanya Indonesia sekarang ada di titik balik," kata dia.
Ia berharap program yang bakal disiarkan di berbagai macam negara itu bisa membuka lebih banyak diskusi untuk mengenalkan, menghargai, dan terus meneurskan budaya dan tradisi yang ada di Indonesia. Hal itu pula yang diharapkan oleh Eko Nugroho.
Ia menyebut kebanyakan seniman Indonesia yang profilnya disertakan dalam program itu sudah cukup mendunia, walau kepopulerannya masih sporadis. Ia pun berharap sorotan besar dari media asing bisa juga didapatkan dari media di dalam negeri.
"Yang perlu kita tanya kembali, seperti media ABC di Australia, nanti saya tanya ke media Indonesia. Support seni Indonesia dengan metode yang lebih menyenangkan seperti ini dan tidak hanya tentang selebritis mungkin, karena Indonesia ini kaya akan kesenian," ujarnya.
Â
Advertisement
