Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengungkapkan perlu perhatian dari pemangku kepentingan agar para pekerja kreatif bisa memanfaatkan setiap peluang yang mampu mendorong industri kreatif di Tanah Air tetap survive.
"Membutuhkan kerja-kerja besar dan harus mendapat prioritas tinggi agar peluang yang ada pada industri kreatif bisa dimanfaatkan dengan baik para pekerja seni," kata Lestari saat membuka diskusi daring bertema Merumuskan Jalan Kebangkitan Industri Kreatif Pasca Pandemi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/4/2021).
Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Luthfi Assyaukanie, itu menghadirkan Komisaris Utama Telkomsel Wishnutama Kusubandio, Promotor Event Harry ‘Koko’ Santoso, dan Seniman Tradisional Tarling, Diana Sastra.
Advertisement
Hadir juga Ketua DPP Partai NasDem Bidang UMKM, Entreprenuer Industri Fashion, Niluh Djelantik, dan Pianis & Komponis Ananda Sukarlan sebagai penanggap.
Menurut Lestari, saat ini Indonesia belum bisa dikatakan bebas dari pandemi dan masih dalam masa transisi menuju pengendalian penyebaran Covid-19. Sehingga pergerakan masyarakat masih harus dibatasi. Akibatnya, pekerja di industri kreatif yang sebagian besar seniman ikut terdampak.
Bukan hanya itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, dampak pembatasan mobilitas orang ini juga dirasakan masyarakat penikmat seni pertunjukan.
"Jadi, baik seniman dan penontonnya terdampak di masa transisi ini. Ada aspek lain yang hilang dari rutinitas hiburan masyarakat," ujar Rerie.
Karena itu, jelasnya, saat ini harus ada upaya agar di masa transisi ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya agar industri kreatif tetap bergeliat dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
Menteri Parekraf 2019-2020, Wishnutama Kusubandio berpendapat bahwa industri kreatif di masa pandemi ini sangat lekat dengan ekonomi digital. Namun juga harus dipahami bahwa peluang ekonomi digital belum dimaksimalkan platform-platform dari Indonesia.
"Jadi yang paling dapat manfaat dari maraknya digitalisasi ekonomi ini bukan bangsa kita," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pembangunan Ekonomi Kreatif Harus Komprehensif
Padahal, ujarnya, peluang pendapatan ekonomi digital itu senilai US$155 miliar atau 10% dari GDP Indonesia. Ia berharap pembangunan ekonomi kreatif harus komprehensif dari berbagai sisi. Untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi digital pada masa datang, para pemangku kepentingan harus melakukan persiapan secara matang.
Promotor pertunjukan, Harry ‘Koko’ Santoso menilai kondisi infrastruktur kesenian Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Gedung-gedung kesenian misalnya, yang layak hanya tersedia di Jakarta.
Akibatnya, jelas Koko, musisi nasional saat ini belum memiliki daya tawar yang cukup untuk bisa dihargai di kancah global. Untuk bangkit dari kondisi tersebut, menurut Koko, perlu gerakan berskala nasional. Selain itu juga perlu perhatian besar dari para pemangku kepentingan untuk mewujudkan gerakan tersebut.
Seniman tradisional Tarling, Diana Sastra mengakui kebijakan pembatasan sosial menyebabkan para pekerja seni di daerah terpukul karena tidak bisa sama sekali menjalankan profesinya.
Untuk memanfaatkan media digital, ujar Diana, sebagian pekerja seni di daerah belum memiliki ketrampilan yang memadai.
Menyikapi kondisi tersebut, dalang Warseno, yang hadir sebagai peserta diskusi, berharap pemerintah hadir dalam membantu para pekerja seni untuk mengatasi sejumlah kendala yang dihadapi di masa pendemi ini.
Ketua DPP Partai NasDem Bidang UMKM, Entreprenuer Industri Fashion, Niluh Djelantik berpendapat, usaha mikro kecil dan menengah adalah real ekonomi saat ini. Karena sejumlah acara pertunjukan hilang, jelasnya, berdampak langsung terhadap UMKM.
Niluh menyarankan, perlu kesepakatan sejumlah pihak untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan agar kegiatan pertunjukan atau aktivitas seni bisa dilakukan. Dengan begitu, UMKM bisa menggeliat kembali.
Pada kesempatan yang sama, Pianis & Komponis, Ananda Sukarlan yang sedang berada di Labuhan Bajo, mengungkapkan, lemahnya infrastruktur kesenian di Indonesia.Di Labuhan Bajo, Ananda kesulitan mendapatkan grand piano yang dibutuhkan untuk memproduksi konten kesenian.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai urusan kebudayaan di negeri ini memang belum mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah.Hal itu terlihat dari berpindah-pindahnya posisi Ditjen Kebudayaan pada pemerintahan. Ditjen Kebudayaan pernah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pernah juga di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan akhirnya dikembalikan lagi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kenyataan itu, tegas Saur, memperlihatkan negara tidak memiliki kebijakan yang tegas dan jelas terkait pengembangan kebudayaan di masa datang.
Advertisement