Liputan6.com, Jakarta Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi sorotan. Pemerintah resmi mengambil penguasaan dan pengelolaan tempat tersebut dari tangan Yayasan Harapan Kita berdasarkan surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51/1977 yang ditandatangani Presiden kedua RI Soeharto, tertanggal 10 September 1977.
Pengambilalihan penguasaan ini menyusul dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi 31 Maret 2021.
Berdasarkan penelusuran, Yayasan Harapan Kita dibentuk pertama kali oleh Siti Hartinah alias Tien Soeharto pada 23 Agustus 1968. Kini diteruskan anak-anak mendiang Bu Tien, mereka adalah Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, kemudian ada Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo.
Advertisement
Tak hanya itu, nama anak-anak Presiden kedua RI Soeharto juga terseret dalam gugatan yang datang dari perusahan Singapura, Mitora ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Jakarta Selatan (Jaksel) tentang TMII.
Di PN Jakpus, nama Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, Sigit Harjojudanto, dan Bambang Trihatmodjo. Sementara di PN Jaksel, selain ketiga nama tersebut ada nama Siti Hediati Hariyadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara, Setya Utama, mengaku pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak keluarga Cendana terkait pengambil alihan TMII.
"Sudah (berkomunikasi dengan Keluarga Cendana), dengan pihak Yayasan, Badan Pengelola TMII," kata Setya kepada wartawan, Kamis (8/4/2021).
Sebelum akhirnya diambil alih negara, Setya mengatakan Kemensetneg telah memberikan pengarahan terlebih dahulu kepada pengelola TMII agar meningkatkan kualitas pelayanan. Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar TMII diambil alih Kemensetneg.
"Kita berikan arahan dulu, lakukan legal dan financial audit, pertimbangkan rekomendasi BPK dan pihak-pihak lainnya, dan putuskan harus diambil alih," kata Setya.
Dia juga mengungkapkan bahwa Yayasan Harapan Kita tak pernah menyetor pendapatan TMII, yang diketahui sudah dikelola selama 44 tahun. Hal ini pula lah yang menjadi salah satu alasan pemerintah akhirnya mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita. Pasalnya, pemerintah ingin agar TMII memberikan kontribusi terhadap keuangan negara.
"Untuk optimalisasi aset, kontribusi ke negara salah satunya. Yang penting lainnya, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat segala kalangan," jelas Setya.
Dia menyebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyarankan tiga opsi terkait pengelolaan TMII ke depannya. Salah satunya, pola Badan Layanan Usaha (BLU) yang telah dilakukan di kawasan milik negara lainnya.
"Opsi kedua dikelola pihak ketiga atau kerja sama pemanfaatan," ucap Setya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, memandang apa yang dilakukan pemerintah bisa dilakukan, mengingat TMII masih kekayaan negara yang dicatat di Kemensetneg sebagai salah satu dasar untuk diambil alih.
Selain itu, dasar pengambilalihan melihat untung rugi dan asas kemanfaatan umumnya. Apakah pengelola sebelumnya yakni Yayasan Harapan Kita, membuat negara untung atau tidak.
"Kalau kurang bagus (keuntungannya) boleh diambil alih negara, karena negara berkepentingan untuk pemanfaatan yang sebesar-besarnya begitu bagi terhadap aset TMII ini. Jadi orientasinya kemanfaatan dalam konteks management mereka," kata Asep kepada Liputan6.com, Kamis (8/4/2021).
Kemudian ada dasar lainnya, biasanya melihat perjanjian antara pihak yayasan dan pemerintah. Negara tidak sewenang-wenang bila pengambilalihan didasarkan wanprestasi dari salah satu pihak.
"Katakanlah ada yang wanprestasi, ada yang melanggar, harus diambil alih. Tapi kalau masih berjalan dan baik-baik saja, ya itu sewenang-wenang pemerintah, justru pemerintah yang melanggar. Tapi kalau ada wanprestasi dan melanggar kontrak, ya benar diambil alih negara," jelas Asep.
Dia melihat tidak disetornya pendapatan TMII ke kas negara, bisa dipandang sebagai salah satu bentuk wanprestasi. "Itu kan menjadi aspek yang tidak berorientasi pada kemanfaatan masyarakat atau untuk negara, jadi boleh diambil alih," kata Asep.
Namun, terkait negara bisa mengunggat atau tidak, harus melihat perjanjian kedua belah pihak. Apakah memang menyalahi perjanjian sehingga dianggap wanprestasi, atau dianggap sudah berakhir lantaran telah diambil alih.
Asep berharap yayasan terbuka dan menerima putusan pemerintah, jika memang TMII tak diurus dengan baik dan tak memberikan pemasukan bagi negara. "Seharusnya yayasan legowo menyerahkan," tutur Asep.
Namun, jika klaim pemerintah tak benar, Yayasan Harapan Kita harus membuktikannya. "Mereka seharusnya bisa bernegosiasi dengan pemerintah bahwa TMII masih bisa dijalankan oleh yayasan karena berkinerja bagus," kata Asep.
Aset Penting
Budayawan Jakarta Yahya Andi Saputra memandang, wajar TMII diambil pemerintah karena dianggap aset yang penting, terlepas bahwa TMII ini sebagai simbol kedigdayaan penguasa Orde Baru bersama kroni-kroninya.
Dia memandang penting, karena sebagai tempat melihat ekspresi Indonesia dan mempertemukan etnis yang ada di nusantara. Apalagi letaknya berada di ibu kota negara, yakni Jakarta.
"Jadi itu ekspresi, gambaran. Kalau jaman sekarang bilangnya platform. Platform Bhinneka Tunggal Ika bahwa TMII itu adalah Indonesia kecil di tengah ibu kota. Sehingga, siapapun memudahkan semua orang untuk mengenal jati dirinya masing-masing," kata Andi kepada Liputan6.com, Kamis (8/4/2021).
Menurutnya, apa yang terjadi dengan TMII sekarang tak lepas dari proses sejarah dan politiknya. Karena itu, dia mengingatkan bahwa apapun yang terjadi terhadap proses pengolalahan atau masalah hukum, jangan sampai peninggalan-peninggalan yang ada di TMII hilang.
"Jangan memperlakukan artefak itu dengan nilai yang jelas memberikan kontribusi terhadap negeri ini," tutur Andi.
Dia pun meminta pemerintah bisa menyelesaikan masalah di TMII ini. "Usut siapa yang memang secara hukum tidak membayar pajak, kas negara, usutlah siapa. Kalau dia tidak bisa melunaskan pajaknya, dia harus didenda," kata Andi.
Dia pun mengingatkan kembali, jika memang ada kesalahan pengelola, maka jangan itu dilimpahkan terhadap apa yang sudah ada TMII. Atau kata lain sampai menutup tempat tersebut.
"Jadi biarkan itu berkembang memberikan corak tersendiri kepada negeri ini, agar warna kota ini menjadi kaya dengan adanya tempat itu," kata Andi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selalu Setor ke Kas Negara
Direktur Utama TMII Tanribali Lamo membantah bahwa pihaknya tak menyetorkan ke kas negara terkait pendapatan TMII. Bahkan dirinya menyebut tidak ada kerugian negara pada tahun 2020.
"Kami selama ini diperiksa BPK dan semua kewajiban telah dilakukan. Hasil pemeriksaan BPK Tahun 2020, TMII tidak terdapat kerugian negara," kata Tanribali kepada Liputan6.com, Kamis (8/4/2021).
Dia pun mengklaim bahwa semuanya langsung disetor kepada kepada negara. "Langsung ke kas negara," tegas Tanribali.
Sementara, Kabag Humas TMII Adi Widodo saat dihubungi Liputan6.com, menjelaskan bahwa soal kas negara itu kewajiban melaporkan ke Setneg itu Yayasan Harapan Kita.
"Kewajiban kita adalah memberikan laporan ke Yayasan Harapan Kita. Kalau kewajiban pajak kita lakukan, maka kas negara yang dimaksud saya kurang paham itu," ungkap Adi.
Menurut Adi, setiap aktivitas yang terjadi hingga aliran keuangan di TMII dilaporkan seluruhnya ke Yayasan Harapan Kita selaku pihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
"Jadi kewajiban kita kan enggak langsung ke Setneg ya. Tapi kita punya kewajiban segala kegiatan kita, kita laporkan ke Yayasan Harapan Kita. Yayasan Harapan Kita melaporkan ke Sesneg," kata Adi.
Adi pun tak mau berspekulasi apakah laporan tersebut terputus dari Yayasan Harapan Kita ke negara atau tidak. "Ya apa yang dilakukan Yayasan Harapan Kita, kita kan enggak punya kewenangan. Itu ibaratnya lebih tinggi dari kita," kata Adi.
Adi pun menjelaskan, terkait gugatan dari perusahaan Singapura Mitora yang ingin menyita Museum Purna Bhakti Pertiwi di TMII jelas berbeda.
"Ini perlu saya sampaikan bahwa sebetulnya Purna Bhakti dengan TMII itu berbeda pengelolaan. Kalau kita dalam satu kawasan iya, tapi secara pengelolaan berbeda," jelas Adi.
Dia menegaskan, kasus yang menimpa Purna Bhakti tidak ada hubungannya dengan TMII. "TMII itu sesuai dengan Perpes kemarin, luasnya 150 hektar, itu yang di dalam pagar. Jadi begitu anda masuk gerbang Taman Mini, nah itu masuk wilayah Taman Mini 150 itu. Purna Bhakti kan di luar pagar," ungkap Adi.
Dia pun menyebut yayasan yang mengelola Purna Bhakti juga berbeda. "Pengurusannya berbeda," kata Adi.
Adi menjelaskan, dengan pemerintah mengambil alih dari Yayasan Harapan Kita sebenarnya tidak mengalami perubahan apa-apa, bahkan di badan pengelolaannya. "Ya normal-normal saja. Kami menyambut baik saja, itu kan demi kebaikan begitu," tutur Adi.
Bahkan, pihaknya berpikir positif dan optimistis terkait pengelolaan TMII. Karyawan pun sampai tiga bulan ke depan masih bekerja seperti biasa sembari menunggu kebijakan lainnya.
Adi juga menuturkan, tidak ada karyawan yang merasa takut ataupun khawatir. Karena sebenarnya, masalah ini sudah lama.
"Bukan suatu hal yang baru sebenarnya. bahwa kemarin kemudian dipasang itu, ditegaskan seperti ini, ya enggak masalah. Kita enggak keberatan juga," kata Adi.
Advertisement
Tak Selamanya Dikelola Kemensetneg
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengatakan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tak akan selamanya dikelola oleh Kemensetneg, usai diambil alih dari Yayasan Harapan Kita. Rencananya, Kemensetneg akan meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pariwisata untuk mengelola TMII.
"Arahnya ini akan meminta tolong salah satu BUMN pariwisata untuk mengelola TMII ini," kata Pratikno dalam sebuah video, Kamis (8/4/2021).
Menurut dia, Kemensetneg akan merumuskan kriteria siapa yang tepat dan profesional memperbaiki kualitas layanan TMII. Pasalnya, pemerintah ingin TMII dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada keuangan negara.
"Jadi dikelola oleh orang-orang yang profesional, lembaga yang profesional, dan harapannya akan jauh lebih baik dan memberikan kontribusi kepada keuangan negara," jelasnya.
Saat ini, Kemensetneg membentuk tim transisi untuk mengelola TMII selama masa transisi. Hal ini mengingat adanya pemindahan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita ke Kementerian Sekretariat Negara.
"Transisi untuk pemindahan pengelolaan dari Yayasan Harapan Kita ke Kemensetneg. Ceritanya begitu. Tapi tak berarti akan dikelola Kemensetneg selamanya," ujar Pratikno.
Dia juga membantah kabar yang menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan membuat Yayasan tersendiri untuk mengelola TMII. Pengambilalihan pengelolaan TMII ini berdasarkan rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Jadi enggak benar itu ada yayasan akan dibentuk apalagi dihubungkan dengan yayasan Pak Jokowi," tegas Pratikno.
Sementara, Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia berharap TMII dapat diperhatikan oleh negara dan menjadi salah satu aset penting.
"Kita berharap pemerintah, dalam konteks ini, Kementerian Sekretaris Negara, dapat menyelamatkan keberadaan TMII menjadi aset negara yang penting," ucap Doli.
Adanya TMII, lanjut dia, bisa menjadi salah satu sarana mengenalkan budaya Indonesia pada turis mancanegara. "Untuk mengenal kekayaan dan keberagaman, terutama budaya Indonesia kepada masyarakat, termasuk mancanegara," ujar Doli.