Liputan6.com, Jakarta Pada 21 Juni 1961, tepat hari ini, 60 tahun yang lalu, sebuah momen istimewa terjadi di Rumah Sakit Brayat Minulya, Jalan Setiabudi No.106, Manahan, Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Hari itu, wanita bernama Sudjiatmmi melahirkan anak pertamanya di rumah sakit tersebut.
Ia mengerang, menahan sakit dan penuh harap didampingi suaminya, Widjianto Notomihardjo. Saat proses persalinan, Sudjiatmi harus menahan kesakitan dan kecemasan. Sebab saat itu usianya masih 18 tahun. Noto dan Sudjiatmi memang memilih menikah muda kala itu.
Perasaan sakit dan harap-harap cemas itu menjelma jadi kelegaan tatkala seorang bayi laki-laki keluar dari rahim Sujiatmi. Saat itu, anak laki-laki tersebut diberi nama Mulyono. Namun, akhirnya berganti nama menjadi Joko Widodo. Joko bermakna laki-laki dan Widodo berarti selamet atau selamat.
Advertisement
Mengutip dari buku berjudul Jokowi Menuju Cahaya yang ditulis oleh Alberthiene Endah, kedua orang tuanya mengganti nama Mulyono menjadi Joko Widodo karena sering sakit. Menurut kepercayaan orang Jawa, anak kecil yang sering sakit, namanya harus diganti.
"Nama itu tak terlalu lama saya miliki karena orang tua saya segera mencarikan nama baru ketika saya berulang kali sakit. Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri," katanya dalam buku yang diluncurkan pada 13 Desember 2018 itu.
Sudjiatmi sama sekali tak kepikiran bila anak yang ia lahirkan kelak bakal jadi orang besar. Seperti dicatat Francisca Ria Susanti dalam Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi (2014), Sudjiatmi baru punya firasat itu tatkala 4 tahun kemudian ayahnya, Wiroredjo, berceletuk soal kepala Joko Widodo.
Saat memandangi cucunya bermain, sambil tersenyum Wiroredjo bergumam, "Bocah berkepala besar seperti itu, pasti nanti jadi orang (sukses)." Wiroredjo bukan peramal, tapi toh prediksinya jadi kenyataan.
Berasal dari keluarga yang sangat sederhana membuat Jokowi merasakan hidup yang sulit dan keras pada masa kecilnya. Pada saat ia duduk di Sekolah Dasar Negeri 111 Tirtoyoso, Surakarta, Jokowi telah menjadi seorang kuli panggul, ojek payung dan pedagang. Hal tersebut ia lakukan hanya untuk membiayai kebutuhan sekolahnya hingga makan sehari-hari.
Pada usia 12 tahun, dia memutuskan untuk bekerja di perusahaan kayu sebagai tukang gergaji. Keahlian tersebut didapatnya dari ayahnya yaitu Noto Mihardjo yang juga berprofesi sebagai tukang kayu.
Di masa kecilnya Joko Widodo juga telah merasakan pahitnya penggusuran, ketika rumahnya tiga kali terkena penggusuran. Setelah lulus Sekolah Dasar, ia masuk di SMP Negeri 1 Surakarta kemudian melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri 6 Surakarta.
Usai menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Kota Solo, dia memilih untuk belajar di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Di sana ia belajar sangat giat mengenai kayu, teknologi pengolahannya serta pemanfaatnnya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1985 Jokowi akhirnya menikahi pujaan hatinya, Iriana pada 24 Desember 1986 di Kota Solo yang kemudian memberinya tiga orang anak bernama Gibran Rakabuming, Kaesang Pangarep dan Kahiyang Ayu.
Di tahun yang sama, Jokowi pun merantau ke Aceh untuk mencari pekerjaan. Di sana ia bekerja di salah satu BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Namun karena merasa tidak betah, akhirnya ia memilih mengundurkan diri dan mencoba untuk berbisnis kayu di Solo sembari menunggu kelahiran anak pertamanya.
Sebelum memulai usahanya sendiri, Jokowi bekerja di perusahaan milik pamannya, di CV Roda Jati, Solo. Setelah banyak pengalaman yang ia dapat dari sana, Jokowi memberanikan diri untuk membuka usaha mebel kayu sendiri pada tahun 1988 dengan membuat badan usaha yang bernama CV. Rakabu yang terinspirasi dari nama anak pertamanya, yaitu Gibran Rakabuming.
Bisnis kayu Jokowi dibawah naungan CV. Rakabu mengalami pasang surut bahkan hampir bangkrut. Namun pada tahun 1990 berkat pinjaman dana sebesar Rp 30 juta dari ibunya, Jokowi kemudian mencoba bangkit kembali. Setelah bisnisnya mulai bangkit, Jokowi memulai perjalanannya untuk keliling Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Alhasil, Jokowi sukses menjadi pengusaha ekspor mebel.
Dia pun makin dikenal dengan panggilan Jokowi, yakni nama pendek dari Joko Widodo. Sebutan itu didapatkannya dari mitra bisnis mebelnya dari Prancis bernama Bernard Chene.
Hal tersebut pernah disampaikan Jokowi melakukan unggahan YouTube Presiden Joko Widodo pada 12 April 2019.
"Saya bertemu dengan pembeli mebel dari Prancis bernama Bernard Chene. Dia yang memberi sebutan Jokowi untuk saya, untuk membedakan Joko Widodo dengan Joko-Joko lainnya yang banyak Beliau kenal. Sejak saat itu orang-orang lingkungan pengusaha mebel memanggil saya Jokowi," kata Jokowi.
Karier politiknya dimulai dengan menjadi Wali Kota Surakarta pada tahun 2005. Namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil mengubah wajah Kota Surakarta menjadi kota pariwisata, kota budaya, dan kota batik.
Jokowi, begitu ia kemudian biasa disapa, punya popularitas mencengangkan di kota kelahirannya. Ia hampir saja mengakhiri dua periode kepemimpinan seandainya pada pertengahan Oktober 2012 PDIP tak menawarinya maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta.
Kendati bukan orang Betawi, Jokowi sukses merengkuh jabatan orang nomor satu di Ibu Kota. Popularitasnya terus naik hingga pada 20 Oktober 2014, 2 tahun setelah jadi gubernur, namanya keluar sebagai pemenang pemilihan presiden (pilpres). Bersama Jusuf Kalla sebagai cawapres, ia mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dengan beroleh suara 69,58 persen.
Lima tahun kemudian ia kembali mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno. Kali ini didampingi oleh Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Jokowi pun jadi orang kedua sepanjang sejarah yang berhasil memenangkan dua pilpres secara langsung di Indonesia, setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kesuksesan Jokowi itu tidak datang dari ruang kosong. Ia sukses menyita perhatian publik dari satu pilkada ke pilkada lain, dari satu pemilu ke pemilu lain berkat citranya sebagai orang sederhana. Citra itu didapat Jokowi karena sejak kecil hidupnya memang serba apa adanya.
"Joko bersama adik-adiknya itu nrimo (mau menerima keadaan). Mereka tak pernah ini itu. Joko itu orangnya memang ngemong adik-adiknya," papar Sujiatmi seperti dicatat Yon Thayrun dalam Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker (2012).
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bung Karno Wafat
Tepat ketika Jokowi berusia 9 tahun atau 21 Juni 1970, rakyat Indonesia berkabung. Di hari itu, Presiden pertama RI Sukarno meninggal dunia.
Kesehatan Sukarno sudah mulai menurun sejak Agustus 1965. Bung Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama. Bahkan, dia pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.
Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Sukarno diangkat. Namun, pembaca naskah Proklamasi itu menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
Kondisi itu diperparah oleh status tahanan rumah yang ditetapkan pemerintah untuk Sukarno dengan membiarkan dia sendirian dan kesepian di Wisma Yaso, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, yang kini sudah bersalin rupa menjadi Museum Satria Mandala.
Hidup Bung Karno dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. Di rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.
Keadaan Bung Karno di Wisma Yaso juga digambarkan oleh istrinya Fatmawati yang terakhir menjenguknya pada Februari 1970. Menurutnya, Bung Karno saat itu sudah sulit untuk berdiri, sehingga harus dibantu.
"Sekarang ini Bung Karno sudah sedemikian lemahnya, sehingga untuk ke kemar mandi saja perlu dibopong oleh para juru rawat," kata Fatmawati, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Juni 1970.
Kendati kondisinya begitu buruk, Bung Karno tidak mendapat perawatan yang memadai. Dalam jurnal yang berjudul "Ku Titipkan Bangsa dan Negeri Ini Kepadamu: Kesaksian Tentang Akhir Hidup Soekarno" (2015), Brigida Intan Printina menuliskan, dokter pribadi Sukarno, Suroyo kerap mengeluh karena tim dokter spesialis sering enggan datang ke Bogor atau Wisma Yaso.
Menurut Suroyo, tulis Brigida, ada beberapa alasan yang menekan tim dokter, salah satunya adalah takut diintimidasi.
"Ketika itu siapa pun yang sering datang mengunjungi Sang Proklamator, pasti dicurigai dan ditanyai macam-macam, seolah-olah Presiden pembawa penyakit menular," tulis Brigida.
Tak hanya itu, ketika Suroyo meminta alat pencuci darah, tapi alat itu tak kunjung tiba sampai Bung Karno wafat. Untuk memeriksa darah Bung Karno, Suroyo sering hanya menggunakan laboratorium kecil milik Institut Pertanian Bogor. Itu pun dengan menyamarkan nama Presiden Sukarno.
Dalam buku Mengenang Bung Hatta (1988), Iding Widjaja Wangsa menuliskan kesaksian putri Bung Hatta, Meutia Hatta sesaat sebelum Sukarno wafat. Saat menjenguk Bung Karno bersama ayahnya di RSPAD Gatot Soebroto, Meutia menyebut wajah Bung Karno telah pucat dan tak sadarkan diri.
Mengetahui kondisi itu, Bung Hatta beserta rombongan pun meninggalkan ruang perawatan itu. Namun, Bung Karno tiba-tiba siuman dan tangannya seperti menggapai-gapai dan menunjuk sesuatu di atas kepalanya. Gerakan itu mengisyaratkan perawat untuk mengambilkan kacamata untuknya.
Setelah memakainya, Bung Karno kemudian melambaikan tangannya seakan meminta Bung Hatta mendekat. Menurut kesaksian Meutia Hatta, Soekarno mengucapkan kalimat yang sulit ditangkap, karena dalam bahasa Belanda:
"Hoe gaat het met jou? (apa kabar)" sambil menitikkan air mata.
Ia memendangi kawannya, Hatta yang terus memijit lengannya. Tak ada yang bisa dilakukan Hatta kecuali berpesan padanya.
"Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakkal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh," kata Bung Hatta.
Setelah empat hari mendapatkan perawatan di RSPAD, kondisi Bung Karno semakin memburuk. Kesadarannya pun menurun pada Sabtu 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB dan mengalami koma keesokan harinya.
Dokter Mahar Mardjono lalu menghubungi anak-anak Bung Karno untuk datang ke RS. Tampak Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh, dan Rachmawati hadir di rumah sakit pada hari Minggu 21 Juni 1970 pukul 06.30 WIB.
Saat melihat kondisi Bung Karno, anak-anaknya langsung memberondong pertanyaan kepada Mahar. Namun, dokter tersebut hanya menggelengkan kepala.
Pukul tujuh lewat, perawat yang bertugas mulai mencabut selang makanan dan alat bantu pernapasan dari tubuh Sukarno. Anak-anak Sukarno kemudian mengucap takbir.
Suara tangis pun pecah dari ruang kamar Sukarno pukul 07.07 WIB. Sang Proklamator telah menghadap sang pencipta. Bung Karno wafat akibat mengidap komplikasi ginjal, gagal jantung, sesak napas, dan reumatik.
Sukarno bertahan selama 5 tahun dari penyakitnya sebelum akhirnya meninggal pada Minggu 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.
Walaupun Sukarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Sukarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 Tahun 1970.
Jenazah Sukarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Sukarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Â
Advertisement