Liputan6.com, Jakarta Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Hasilnya, 86 persen publik menilai perlu adanya saluran lain untuk mengadu jika pelaporan kepada lembaga penegak hukum tidak kunjung mendapatkan kejelasan.
"Kita meminta para responden untuk membayangkan apabila responden ada dalam situasi di mana mereka menjadi korban tindak kejahatan, kemudian mereka membuat laporan atau pengaduan kepada aparat penegak hukum namun laporan tersebut tidak terdapat kejelasan dalam waktu 14 hari setelah laporan diterima, perlu nggak sih ada saluran lain untuk menindaklanjuti laporan tersebut," tutur Peneliti LSI Yoes C Kenawas dalam paparan rilis survei di kawasan Jalan Bangka Raya, Mampang, Jakarta Selatan, Minggu (13/4/2025).
Baca Juga
"Dan 86 persen itu menyatakan, mayoritas menyatakan bahwa perlu ada saluran lain untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan jika mereka membuat suatu laporan atau tindak kejahatan tapi nggak diproses," sambungnya.
Advertisement
Yoes menilai, kondisi laporan mandek banyak dijumpai di masyarakat, bahwa laporan berujung ketidakjelasan dan membuat bingung masyarakat harus mengadu ke mana lagi.
"Mungkin ada Ombudsman atau saluran lain, permasalahannya kan itu kalau nggak viral nggak itu kan. Dan sebisa mungkin ya jangan banget medsos saja gitu kan, jangan sampai keadilan itu didapatkan no viral no justice, itu kan yang sering. Harus ada mekanisme atau saluran di mana mereka bisa mengadukan kalau laporan mereka tidak ditindaklanjuti dalam waktu 14 hari ini," kata Yoes.
LSI melakukan survei tentang RUU KUHAP pada 22-26 Maret 2025 dengan target populasi survei adalah Warga Negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon atau telepon selular.
Sampel yang digunakan sebanyak 1.214 responden yang dipilih melalui metode Double Sampling. DS adalah pengambilan sampel secara acak dari kumpulan data hasil survei tatap muka LSI yang dilakukan sebelumnya.
Margin of error dalam survei ini diperkirakan kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen dan asumsi simple random sampling. Wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.
Â
Viral Anggota Polsek Menteng Diduga Minta THR ke Pengusaha Hotel
Aksi pemalakan berkedok Tunjangan Hari Raya (THR) jelang Lebaran Idul Fitri ternyata tidak hanya dilakukan oknum anggota organisasi kemasyarakatan (ormas).
Baru-baru ini viral di media sosial yang memperlihatkan surat berkop Polsek Metro Menteng meminta THR kepada pengusaha hotel di Jakarta Pusat.
Dalam unggahan akun X @NalarPolitik_ terlihat secarik kertas surat mengatasnamakan Bhabinkantibmas Polsek Menteng perihal permohonan bantuan partisipasi kepada pihak Hotel Mega Pro. Partisipasi yang dimaksud adalah dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah.
Di surat tersebut juga tercantum tiga nama anggota Bhabinkamtibmas Polsek Menteng dan seorang staf, di antaranya AKP Irwan Junaedi, Aiptu Hardi Bakkri, Aipda Anwar, dan Rahman.
Menanggapi hal tersebut, Kapolsek Menteng Kompol Reza Rahandhi menegaskan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan surat seperti yang viral di media sosial. Dia juga menyatakan kop surat tersebut bukan kop surat asli milik Polsek Menteng.
Buntut kasus dugaan permintaan THR ke pengusaha hotel, tiga polisi dan satu staf yang namanya tercantum pada surat itu tengah diperiksa Propam Polres Metro Jakarta Pusat.
"Anggota yang tertera namanya sudah diperiksa bagian Propam Polres Jakpus," ucap Reza saat dikonfirmasi, Senin (24/3/2025).
Reza kemudian mengingatkan bahwa seluruh personel kepolisian terikat dengan aturan disiplin dan kode etik. Sehingga bila ada anggota yang ketahuan melakukan tugas di luar fungsi dan kewenangannya, maka akan ditindak tegas.
"Seluruh personel Kepolisian terikat oleh aturan disiplin dan kode etik yang melarang segala bentuk penyalahgunaan wewenang, termasuk meminta atau menerima sesuatu yang tidak sesuai aturan," pungkas dia.
Advertisement
Infografis
