Epidemiolog: PPKM Mikro Harus Diiringi Pesan Khusus Keluarga Agar Anak Tak Kena Covid-19

Epidemiolog: PPKM Mikro Harus Ada Pesan Khusus kepada Keluarga Agar Anak Tidak Tertular Covid-19

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 28 Jun 2021, 19:49 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2021, 19:42 WIB
FOTO: PPKM Mikro Mulai Diterapkan di 7 Provinsi
Warga melintasi spanduk zona merah kawasan RW 01 Kelurahan kalibata, Jakarta, Selasa (9/2/2021). Pemerintah mulai menerapkan PPKM skala mikro mulai 9-22 Februari 2021 untuk 7 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko menilai lonjakan kasus covid-19 yang menyasar anak dan remaja karena faktor karakter virus. Yang mana varian ini dinilai lebih ganas dan tidak mengenal batas usia.

"Kasus pada anak meningkat karena memang varian baru B117 dan juga Delta yang tidak mengenal umur. Beda pada varian sebelumnya masih mengenal usia kepada yang tua yang kena berat," kata Tri Yunis Miko kepada Liputan6.com, Senin (28/6/2021).

Varian virus Delta, kata dia, lebih hebat serangannya ketimbang sebelumnya. Bahkan bisa menimbulkan dampak yang lebih kuat.

"Delta ini tidak kenal usia, semuanya bisa cenderung berat," kata Tri Yunis Miko.

"Kalau dulu anak OTG ya kemudian banyak yang tak terlaporkan, tapi sekarang proporsi yang dirawat berubah," imbuh dia.

Karena itu, Ia menilai pemerintah harus segera mengambil langkah tepat untuk menekan penyebaran varian virus ini. Di antaranya dengan menerapkan PPKM mikro yang disertai pengawasan ekstra dari orangtua terhadap anaknya.

Karena menurutnya, penerapan PPKM mikro ini bisa berpotensi meningkatkan klaster keluarga lantaran lingkupnya yang kian terbatas.

"Jadi PPKM Mikro jika tidak ada pesan khusus kepada keluarga, anak-anaknya akan berpotensi tertular," imbuh Tri Yunis.

Untuk menekan angka penularan covid-19 anak dan remaja, menurutnya, bisa dilakukan memvaksinasi mereka seperti yang dilakukan di China. Hal ini bisa saja dilakukan di Indonesia.

"Iya di China sudah hampir selesai. Sinovac sudah diberikan pada anak 3-17 tahun jadi mungkin Indonesia tinggal tunggu waktu. Jadi kalau ada masanya nanti vaksinasi pada anak, ya kita harus berikan itu ke anak," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

PPKM Mikro Tak Efektif

Sedangkan Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menilai PPKM Mikro gagal menekan laju penyebaran Covid-19. Sejak berjalan pada 22 Juni, lonjakan kasus positif terus mengkhawatirkan bahkan mencapai rekor kasus harian.

"Pada Kamis lalu ada rekor kasus harian Covid-19 di Indonesia yang mencapai 20.574 kasus. Pada Jumat kemarin ada 18.872 kasus baru. Dan hari ini rekor baru lagi dengan kasus mencapai 21.095 orang. Ini bukti PPKM Mikro gagal menekan lonjakan Covid-19," kata Mufida, Senin (28/6/2021).

Politikus PKS ini menuturkan, sejak pemerintah menerapkan kebijakan PPKM Mikro, tidak mengubah grafik penurunan kasus. DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah masih menjadi wilayah tertinggi kasus Covid-19. Mufida menyayangkan pemerintah pusat masih percaya diri dengan kebijakan PPKM Mikro.

"Dari 21.095 kasus harian itu. DKI Jakarta merupakan wilayah kasus tertinggi diangka 9.271 kasus, disusul Jawa Barat dengan 3.787 kasus dan Jawa Tengah 2.305 kasus harian. PPKM Mikro nyatanya masih belum melandaikan angka kasus Covid, apalagi menurunkan grafiknya," jelas Mufida.

Mufida menilai, pemerintah pusat seharusnya memberi izin tiga provinsi dengan kasus tertinggi untuk rem darurat atau menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat. Untuk mengurangi mobilitas masyarakat dengan signifikan dan mampu menekan penularan Covid-19.

"Pemerintah seharusnya jangan menunda untuk memberlakukan rem darurat atau PSBB Ketat. Namun harus dipikirkan juga agar penerapan PSBB tersebut bisa ramah secara ekonomi. Aturan PSBB Ketat pun bisa mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan," ucapnya.

Mufida mengatakan, pemberlakuan PSBB ketat mendesak untuk provinsi Jakarta dan Jawa Barat. Sejumlah rumah sakit tidak bisa menampung lagi pasien Covid-19. Angka BOR sudah melewati ambang batas angka WHO.

Kasus harian yang sangat tinggi tentunya akan menambah beban tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat. Belum lagi varian Covid Delta asal India yang cepat meningkatkan penularan serta pengurangan respons antibodi yang diduga menjadi salah satu musabab lonjakan Covid-19.

"Sejumlah rumah sakit sudah kolaps di Jakarta. Ruang IGD sudah tidak menampung lagi. Nakes seperti dokter dan perawat harus ekstra kerja keras dalam menangani pasien. Belum lagi risiko nakes tertular ketika menangani pasien Covid. Nakes jumlahnya tidak bertambah, namun pasien bertambah dalam jumlah besar-besaran. Ini kan masalah yang harus bisa diselesaikan dengan cepat," tegasnya.

Selain itu, tambah Mufida, pemerintah pusat harus memikirkan pasien-pasien umum noncovid yang masuk ke IGD namun ditolak rumah sakit karena penuh. Artinya pemerintah harus menambah kapasitas pasien Covid, namun jangan melupakan pasien darurat penyakit lainnya.

"Ini yang harus dipikirkan solusinya bagaimana kapasitas pasien Covid ditambah namun ada juga ruangan khusus di rumah sakit yang menangani pasien darurat selain Covid. Sehingga semua pasien bisa tertangani," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya