Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami kendala dalam mengusut kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau KTP el atau e-KTP. Salah satunya adalah permasalahan banyaknya saksi yang berada di luar negeri.
"Banyak dari kemarin yang beberapa orang masih tinggal di Singapura," tutur Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto, Jumat (13/8/2021).
Baca Juga
Karyoto mengatakan, pandemi Covid-19 turut menjadi hambatan penanganan kasus korupsi e-KTP. Penyidik tentunya kesulitan menjemput saksi-saksi yang berada di luar negeri untuk dimintai keterangan.
Advertisement
"Kondisi masih seperti ini, kami masih belum bisa pergi ke luar negeri, yang dari sana juga belum bisa ke sini," jelas dia.
KPK pun berupaya memeriksa saksi lewat pengisian keterangan melalui e-mail. Namun, Karyoto menegaskan hal tersebut tidaklah cukup lantaran tetap memerlukan dialog tatap muka.
"Artinya, secara komunikasi mungkin hanya per email saja," kata Karyoto menandaskan.
Terakhir kali KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi proyek e-KTP pada Agustus 2019.
Para tersangka baru e-KTP tersebut adalah mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Husni Fahmi; dan Dirut PT Shandipala Arthaputra Paulus Tanos.
Keempatnya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Rugikan Negara Rp 2,3 Triliun
Sebelumnya, KPK lebih dahulu menjerat tujuh orang dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Ketujuh orang tersebut sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi atas proyek senilai Rp 5,9 triliun.
Mereka adalah dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri, Irman dan Sugiharto, yang masing-masing divonis 15 tahun penjara; mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, juga divonis 15 tahun penjara; pengusaha Andi Narogong 13 tahun penjara; dan Anang Sugiana Sudihardjo seberat 6 tahun penjara.
Lalu, Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Massagung masing-masing 10 tahun penjara. Sementara itu, politikus Partai Golkar, Markus Nari, divonis 8 tahun penjara dalam tingkat kasasi.
Namun dalam perjalannya, MA menyunat vonis Irman dan Sugiharto. Hukuman Irman dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Sementara hukuman Sugiharto dikurangi dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Advertisement