7 Oktober 1945, Pertempuran Kotabaru yang Berakhir Jepang Hengkang dari Yogyakarta

Markas Jepang di Kotabaru secara resmi menyerah. Bendera merah putih kemudian berkibar di markas Kotabaru Yogyakarta. Ratusan tentara Jepang ditawan dan senjata mereka dirampas.

oleh Yopi Makdori diperbarui 07 Okt 2021, 07:30 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2021, 07:30 WIB
Kotabaru
Kotabaru merupakan kawasan yang dibangun oleh aristek Belanda pada 1800-an dan ditempati oleh pejabat pabrik gula di Yogyakarta

Liputan6.com, Jakarta - Gelora kemerdekaan tak luput dari nadi anak muda Yogyakarta setelah dua bulan Soekarno dan Mohammad Hatta mengumandangkan naskah Proklamasi 1945. Tanggal 6 Oktober 1945, Indonesia yang didesak kaum muda berunding dengan Jepang yang masih bercokol di bumi Nusantara. Perundingan itu diadakan di dalam markas Osha Butai di Kotabaru, Yogyakarta. 

Mohammad Saleh (KNI), didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, R.P. Sudarsono dan Bardosono (BKR) adalah sejumlah nama yang mewakili Indonesia dalam perundingan tersebut. Dari pihak Jepang diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kempeitai Sasaki, Kapten Ito (Kiambuco).

Perundingan itu dilatari oleh keinginan rakyat Kota Pelajar tersebut untuk melucuti senjata Jepang. Setelah sehari sebelumnya mereka berhasil merebut gedung Cokan Kantai yang kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kini dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.

Seiring negosiasi berlangsung, sorotan mata puluhan rakyat Jogja menyorot tajam ke gedung tempat perundingan tersebut. Mereka menerka-neraka untuk bersiap menerima hasil dari yang didapat dari perundingan di dalam sana.

Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Otsuka dan kawan-kawan tetap bertahan dengan posisinya yang enggan menyerahkan persenjataan ke Republik.

Seperti kutip dari tulisan Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945, Rabu 6 Oktober 2021, Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. 

Jepang mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari, 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00 WIB. Perundingan itu menemui jalan buntu. 

Namun dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB. Memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal. Rakyat dan para pemuda yang sedari tadi mengepung markas Osha Butai di Kotabaru makin bertambah banyak. Kampung-kampung, malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan suara siap-siap secara estafet.

Dalam waktu singkat, telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru. 

Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.

Kendati rakyat dan pemuda hanya berbekal senjata tradisional seperti parang dan bambu runcing, namun nyali mereka kokoh. Mereka tinggal menunggu komando untuk melibas tentara Jepang. Rakyat bukan tanpa dampingan, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata api, yaitu Pasukan Polisi istimewa yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo, Pasukan TKR di bawah komando Soeharto.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Taktik Sabotase

Para pemuda pun menggunakan strategi penyerbuan dengan memutuskan sambungan telepon di sana. Kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, sekitar pukul 03.00 WIB, 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. 

Para pemuda pun dengan semangat membara segera menyerbu markas Nippon di Jogja itu dan pertempuran di Kotabaru itu pun akhirnya pecah. Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan hebat di Kotabaru, Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, asal anak buahnya tidak disiksa. 

Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian TKR minta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Akibatnya serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. 

Taktik Licik Jepang

Jepang mulai kewalahan, mereka mengontak pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia pun menyambut positif tawaran damai itu. Mereka diminta memasuki markas. Setelah pintu itu dibuka, tak lama para pejuang yang hendak memasuki markas Osha Butai Kotabaru diberondong senapan mesin yang sudah disiapkan Jepang. Taktik itu berhasil membuat banyak pejuang yang gugur.

Dalam 'Penyerbuan Kotabaru' tersebut, sebanyak 21 pejuang Jogja wafat, dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Mereka yang meninggal adalah:

1.  Sareh

2.  Sadjiyono

3.  Sabirin

4.  Soenaryo

5.  Soeroto

6.  Soepadi

7.  Soehodo

8.  Soehartono

9.  Trimo

10. Mohammad Wardani

11. Atmosukarto

12. Ahmad Djazuli

13. Achmad Zakir

14. Abu bakar Ali

15. Djoemadi

16. Djuhar Nurhadi

17. Faridan M Noto

18. Hadi Darsono

19. I Dewa Nyoman Oka

20. Oemoem Kalipan

21. Bagong Ngadikan

Melihat hal itu, darah para pejuang semakin bergejolak. Ribuan massa menyerbu markas. Pertempuran pun terjadi yang berakhir pihak Jepang benar-benar terdesak. Sebanyak, 27 tentara Jepang tewas dalam pertempuran ini. Mereka kemudian mengibarkan bendera Merah Putih.

Pasukan Jepang satu per satu mulai menyerah. Senjata demi senjata beralih ke tangan pejuang Indonesia. Gudang senjata juga berhasil direbut oleh para pemuda, sehingga rakyat banyak yang mendapat senjata.

Pada saat itu beberapa pemuda telah berhasil memasuki markas Kotabaru melalui selokan saluran air (riol) dan langsung berhadapan dengan Otsuka. Ternyata Otsuka mau menyerah, asalkan dihadapkan Yogya Koo (Kepala Daerah) Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Akhirnya pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang di Kotabaru secara resmi menyerah. Kemudian berkibarlah bendera merah putih di markas Kotabaru. Ratusan tentara Jepang ditawan dan senjata mereka dirampas.

Setelah Markas Kotabaru jatuh ke tangan pejuang, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Semua senjata, 15 truk serta beratus-ratus peti granat tangan dapat dirampas dari tentara Jepang. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia secara penuh.

Usai itu, sore harinya rakyat Yogyakarta banyak berkumpul dengan mengibarkan bendera Merah Putih di depan Gedung KNI di Jalan Malioboro. Tujuan mereka demi memberikan penghormatan terakhir kepada ke 21 pahlawan Yogyakarta serta mengantarkan 18  pejuang yang gugur di Kotabaru menuju Taman Bahagia di Semaki.

Sedangkan untuk 3 lainnya yaitu Faridan M Noto dimakamkan di Pemakaman Gajah, Glagah, Umbulharjo Yogyakarta, sementara itu, Djerhas dan Mohammad Wardani dimakamkan di belakang Masjid Agung Kauman, Yogyakarta.

Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang gugur dalam Pertempuran Kotabaru, jalan-jalan di seputar kawasan Kotabaru diberi nama para pahlawan yang gugur. Hal ini dimulai sejak Oktober 1958 di mana dilaksanakan musyawarah pembangunan kotapraja. Di acara ini diusulkan untuk menggunakan nama orang yang gugur dalam penyerbuan menjadi nama jalan.

Selain itu juga dibangun sebuah Monumen Peringatan Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 yang terletak di Jalan Wardani.

 

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya