Sopir Transjakarta yang Tabrak Pejalan Kaki Tak Jadi Tersangka, Ini Penjelasan Polisi

Sopir bus Transjakarta yang menabrak pejalan kaki yang tengah menyeberang di jalan Raya Taman Marga Satwa Raya Gotong dekat SMK 57, Jakarta Selatan pada Senin (6/12/2021) lalu tak jadi tersangka.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Des 2021, 21:21 WIB
Diterbitkan 14 Des 2021, 21:21 WIB
FOTO: Bus Transjakarta Tabrak Separator Busway di Bundaran Senayan
Petugas memeriksa kondisi bus Transjakarta yang menabrak separator busway di kawasan Bundaran Senayan, Jakarta, Jumat (3/12/2021). Kecelakaan mengakibatkan bagian depan bus Transjakarta rusak karena menghantam separator busway. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sopir bus Transjakarta YH yang menabrak pejalan kaki yang tengah menyeberang di jalan Raya Taman Marga Satwa Raya Gotong dekat SMK 57, Jakarta Selatan pada Senin (6/12/2021) lalu tak jadi tersangka. Hal ini ditetapkan polisi usai penyidik Polda Metro Jaya telah merampungkan hasil gelar perkara.

Hal ini karena dari hasil gelar perkara yang dilakukan, unsur minimal dua alat bukti tidak terpenuhi.

"Hasil gelar perkara yang bersangkutan sopir atas nama YH tidak cukup unsur untuk dijadikan tersangka yang melanggar unsur Pasal 310 Ayat 4," kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Argo Wiyono saat dikonfirmasi, Selasa (14/12/2021).

Argo menjelaskan berdasarkan hasil pemeriksaan rekaman kamera CCTV di tempat kejadian perkara (TKP), terlihat jarak pejalan kaki dengan bus Transjakarta yang terlalu dekat, sehingga tidak cukup melakukan pengereman.

"Artinya jarak 4 meter, dengan kecepatan 30 KM per jam itu pengemudi tidak bisa melakukan pengereman. Jadi minal jarak pengereman minimal 14 meter dengan kondisi jalan basah, kalau kering 10 meter dengan jarak," terangnya.

Karena jarak antara korban yang hendak menyebrang muncul secara tiba-tiba melintasi sparator batas jalan bus way, dengan jarak dibawah 10 meter alhasil bus tak bisa mengerem maupun menghindar.

Kedua, di jalur busway itu tidak ada ruang gerak. Artinya si supir tidak bisa kekiri atau ke kanan. Ke kiri nabrak separator mungkin fatalitas lebih tinggi kalau ke kanan nabrak pembatas. Jadi memang tidak bisa sempat menghindar," katanya.

Selanjutnya, Argo mengatakan korban selaku pejalan kaki dianggap turut melanggar, karena menyebrang di luar tempat yang telah disediakan.

Padahal, apabila tidak ada jembat penyebrangan setiap pejalan kaki tetap harus menyebrang di tempat memang disediakan semisal pada zebra cross untuk keselamatannya.

"Nah 50 meter dari lokasi kecelakaan itu ada jembatan penyebrangan. Dan jalur busway itu steril jadi sopir ini tidak aware tidak tau kalau ada yang bakal menyebrang," sebutnya.

Argo mengatakan jika dalam insiden kecelakaan ini, penyidik menyimpulkan bahwa unsur kelalaianYH selaku Sopir Tranjakarta tidak bisa dikenakan, karena dari korban pejalan kaki juga dianggap melakukan kelalaian.

"Jadi kesimpulannya tidak terpenuhi. Karena pejalan kaki juga punya kelalaian," ucapnya.

 

 

Justru Pejalan Kaki yang Melanggar

Bahkan, Argo menilai dari hasil pemeriksaan, sebenarnya unsur kelalaian malah berpotensi dikenakan kepada si pejalan kaki berinisial RH yang tewas akibat kejadian ini.

"Malah si pejalan kaki yang berpotensi menjadi tersangka," sebutnya.

"Karena tidak ada (kelalain sopir), karena kan tadi kecepatan 30 Km, maksimal kecepatan 50 Km per jam. Dan dia (sopir) kecepatan 30 Km berarti rata-rata. Kecuali kondisi nya di jalan arteri, ada orang nyebrang dari pinggir jalan, dari trotoar ceritanya mungkin berbeda," bebernya.

Karena tidak cukup barang bukti untuk menaikan kasus ini ke tahap penyidikan, Argo mengatakan jika kasus ini telah diselesaikan secara keadilan restoratif dengan pihak keluarga RH selaku korban.

"Terakhir keluarga tidak melakukan penuntutan jadi diselesaikan secara restorasi justice. Dari beberapa hal ini penyidik berkeyakinan bahwa sopir tidak cukup unsur dijadikan tersangka," tegasnya.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya