Nadiem Makarim: Indonesia Alami Krisis Pembelajaran dalam 20 Tahun Terakhir

Nadiem mengatakan, skor PISA di Indonesia menyebutkan tidak ada peningkatan signifikan dalam 10-15 tahun terakhir.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Feb 2022, 19:34 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2022, 18:03 WIB
Menteri Nadiem Makarim
Menteri Nadiem Makarim saat memberikan sambutan pada peresmian revitalisasi gedung SMK Negeri 2, 5, dan 6 Surakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan bahwa krisis pendidikan di Indonesia terjadi sejak 20 tahun. Hal ini menurutnya terbaca dari skor Programme for International Student Assessment (PISA) anak Indonesia kerap berada di urutan hampir paling buncit.

"Kita semua sudah tahu bahwa Indonesia mengalami krisis pembelajaran. Ini sudah kita alami dalam 20 tahun terakhir, kita dalam angka tes PISA, yaitu tes internasional yang mengetes literasi, numerasi dan Sains. Kita mengetahui bahwa kinerja (anak-anak) kita relatif dari negara-negara lain masih sangat perlu diperbaiki ya," kata dia dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode Kelima Belas secara daring, Jumat (11/2/2022).

Nadiem mengatakan, skor PISA di Indonesia menyebutkan tidak ada peningkatan signifikan dalam 10-15 tahun terakhir. Sebagai gambaran, dari maksimal 550 skor PISA dalam bidang Matematika yang dapat diperoleh, dari 2003 hingga 2018 anak-anak di Indonesia hanya mampu meraih skor di angka 300-an. Hal yang sama pun didapati dari hasil skor di bidang Membaca dan Sains.

"Makanya kita harus menyebut ini suatu krisis dan suatu krisis dibutuhkan solusi-solusi yang luar biasa untuk bisa mengejar ketertinggalan kita," kata Nadiem.

Krisis semakin diperberat dengan hadirnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Di mana para siswa sekolah dituntut untuk belajar secara jarak jauh (PJJ). Berdasarkan riset internal dan eksternal Kemendikbudristek, Nadiem mengungkap bahwa pandemi telah memicu learning loss atau kehilangan pembelajaran pada anak-anak.

"Dari sisi literasi kita sudah kehilangan sekitar enam bulan pembelajaran. Di dalam satu tahun akademik enam bulan itu, untuk krisis selama dua tahun ini besar sekali. Ini rata-rata ya," kata dia.

Dalam bidang numerasi, lanjut Nadiem, pandemi covid-19 telah memicu learning loss hingga lima bulan. Perhitungan itu merupakan rata-rata imbas kehilangan pembelajaran pada siswa, Nadiem yakin banyak sekolah yang angka learning loss-nya lebih tinggi lagi.

"Tetapi ini menunjukkan bahwa kalau rata-ratanya saja sudah 5-6 bulan, kita bisa bayangkan daerah-daerah yang paling terpencil learning loss mereka bisa mencapai 8 bahkan 10 bulan dan ini adalah suatu angka yang sangat signifikan," kata Nadiem.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pemulihan Pembelajaran

Untuk memulihkan krisis tersebut, Nadiem mengenalkan apa yang disebut Kurikulum Merdeka guna mengejar ketertinggalan. Rumusan Kurikulum Merdeka terinspirasi dari Kurikulum Darurat yang diperkenalkan saat kali pertama dunia pendidikan di Indonesia terhempas pandemi.

Di mana dalam Kurikulum Darurat, menurut Nadiem pihaknya menurunkan jumlah materi secara drastis. Supaya para pelajar dan pengajar bisa fokus mendalami topik-topik yang paling esensial.

Kerangka Kurikulum Darurat adalah Kurikulum 2013. Yang membuatnya berbeda adalah pada Kurikulum Darurat materi disederhanakan secara drastis.

Kurikulum Darurat saat pandemi digunakan oleh 31,5 persen sekolah di Tanah Air. Penggunaan kurikulum ini sama sekali tidak dipaksakan atau hanya bersifat pilihan bagi sekolah.

"Apa yang terjadi? Kita melihat learning loss daripada sekolah yang menggunakan Kurikulum Darurat itu jauh lebih sedikit daripada sekolah-sekolah yang tidak menggunakan Kurikulum Darurat. Ini adalah suatu data yang sangat dahsyat," katanya.

Kata Nadiem, sekolah yang tidak mengadopsi Kurikulum Darurat selama pandemi dan kukuh menggunakan Kurikulum 2013, mereka mengalami learning loss sekitar lima bulan. Sementara sekolah yang menggunakan Kurikulum Darurat hanya mengalami learning loss satu bulan.

"Ini membuktikan bahwa kepadatan materi, kebanyakan materi yang kita selalu titipkan di dalam kurikulum, di dalam materi pembelajaran kita itu tidak punya dampak positif terhadap pembelajaran siswa. Malah semakin ringkas, semakin sederhana pendalaman materi itu semakin baik," tegas Nadiem.

Dari fakta itu, Nadiem menjatuhkan kesimpulan bahwa menambah materi pembelajaran bagi siswa bukan pilihan baik. Penyederhanaan materi menurutnya adalah pilihan tepat saat ini. Dan dia wujudkan hal itu pada Kurikulum Merdeka.

Kurikulum Merdeka, menurut Nadiem lebih ringkas dan sederhana ketimbang Kurikulum 2013. Dia optimis jika kurikulum ini bakal bisa memulihkan pembelajaran di Tanah Air.

"Kita ingin sekarang kurikulumnya jauh lebih fleksibel, guru dan sekolah bisa menentukan jam pelajaran per minggunya. Karena targetnya itu dipenuhi selama setahun. Kalau kita memberikan target satu tahun itu memberikan fleksibilitas pada sekolah setiap minggu untuk menentukan saya mau ngejar ketertinggalan dahulu enggak," katanya.

Kurikulum ini juga bakal menitikberatkan pembelajaran pada materi-materi esensial layaknya pada Kurikulum Merdeka.

"Jadi Kurikulum Merdeka itu adalah Kurikulum Darurat yang terus kita kembangkan sehingga lebih optimal lagi," beber Nadiem.

Kelebihan lainnya dalam Kurikulum Merdeka yang diutarakan Nadiem adalah memberikan keleluasaan bagi guru untuk menggunakan berbagai macam perangkat pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik.

"Dan kita memberikan dukungan digital suatu aplikasi (platform Merdeka Mengajar) yang akan kita bicarakan nanti sebagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik belajar secara mandiri dan berbagi praktik baik," katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya