Liputan6.com, Jakarta - Halal bihalal merupakan salah satu tradisi yang melekat di Indonesia. Biasanya, tradisi ini dilakukan pada saat Hari Raya Idul Fitri maupun setelahnya.
Saat halal bihalal, biasanya berupa acara pertemuan yang digelar untuk bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan bersama saudara maupun handai taulan.
Sebagai tradisi yang sudah sangat melekat di masyarakat Indonesia pada saat Hari Raya Idul Fitri maupun setelahnya, maka penting untuk mengetahui seperti apakah sebenarnya makna halal bihalal.
Advertisement
Baca Juga
Makna halal bihalal yang pertama bisa dilihat dari segi hukum. Secara umum, kata halal digunakan sebagai lawan balik dari kata haram. Sehingga bisa dipahami halal bihalal merupakan kegiatan yang dilakukan agar terbebas dari dosa dan kesalahan.
Selain itu perlu diketahui sejarah halal bihalal hingga menjadi tradisi yang selalu dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Melansir NU Online, halal bihalal pertama kali dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah pada 1946. Pada masa itu, Indonesia diketahui sedang mengalami masalah disintegrasi bangsa.
Dalam kondisi tersebut, Bung Karno kemudian memanggil KH Wahab Chasbullah untuk memberikan saran dan pendapat guna mengatasi situasi politik tersebut.
Pada saat itu, KH Wahab Abdullah memberikan saran pelaksanaan kegiatan halal bihalal. Kegiatan ini dilakukan untuk tujuan membumikan dan menumbuhkan konsep ajaran Ahlussunah wal Jamaah.
Berikut sejarah singkat serta makna halal bihalal yang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia pada saat Lebaran maupun setelahnya dilansir Liputan6.com dari laman NU Online:
1. Sejarah Halal Bihalal
Halal bihalal pertama kali dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Pada masa itu, Indonesia diketahui sedang mengalami masalah disintegrasi bangsa.
Dalam kondisi tersebut, Presiden Pertam Ri Soekarno alias Bung Karno kemudian memanggil KH Wahab Chasbullah untuk memberikan saran dan pendapat guna mengatasi situasi politik tersebut.
Pada saat itu, KH Wahab Abdullah memberikan saran pelaksanaan kegiatan halal bihalal. Kegiatan ini dilakukan untuk tujuan membumikan dan menumbuhkan konsep ajaran Ahlussunah wal Jamaah.
Dengan kegiatan tersebut diharapkan masyarakat Indonesia dapat mempererat tali persaudaraan, kemanusiaan, dan kebangsaan.
Dalam Ukhuwah NU, ketiga hal ini disebut juga dengan islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah, yang biasanya dilakukan pada momen bulan Syawal untuk saling bermaaf-maafan.
Dilaksanakan pada awal-awal kemerdekaan, tradisi halal bihalal ini lantas bertahan hingga saat ini. Kegiatan silaturahmi ini bahkan dilakukan oleh masyarakat setiap perayaan Idul Fitri hingga kini baik dalam lingkup keluarga besar, lingkungan kerja, hingga kerabat, dan teman dekat.
Advertisement
2. Makna Halal Bihalal dari Segi Hukum, Bahasa, dan Al-Qur'an
Makna Halal Bihalal dari Segi Hukum
Makna halal bihalal yang pertama bisa dilihat dari segi hukum. Secara umum, kata halal digunakan sebagai lawan balik dari kata haram. Sehingga bisa dipahami halal bihalal merupakan kegiatan yang dilakukan agar terbebas dari dosa dan kesalahan.
Dengan kata lain, dari segi hukum halal bihalal dipahami sebagai salah satu usaha untuk mengubah sikap yang sebelumnya haram atau penuh dosa menjadi halal dan tidak lagi berdosa.
Tak hanya itu, menurut pakar istilah halal bihalal juga mencakup konteks makruh. Di mana sesuatu yang makruh adalah perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Sehingga dengan meninggalkan perbuatan tersebut maka akan mendapat pahala dan ganjaran kebaikan.
Makna Halal Bihalal dari Bahasa
Sementara itu, kata halal dari segi bahasa diambil dari kata halla atau halala. Kata halla maupun halala mempunyai berbagai makna sesuai dengan konteks atau rangkaian kalimatnya.
Namun secara umum, kedua kata tersebut juga memiliki arti menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, dan membebaskan ikatan yang membelenggu.
Dari beberapa arti tersebut, dapat dipahami bahwa halal bihalal merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menyambung kembali yang sebelumnya terputus.
Itulah mengapa dengan melaksanakan halal bihalal, masyarakat dapat menyambung silaturahim untuk saling memaafkan dan terbebas dari kesalahan dan dosa yang diperbuat sebelumnya.
Makna Halal Bihalal dari Tinjauan Al-Qur'an
Selanjutnya makna halal bihalal juga dapat dipahami dari tinjauan Alquran. Dalam hal ini, halal yang thayyib merupakan berbagai hal yang baik lagi menyenangkan.
Dengan kata lain, Al-Qur'an memerintahkan umat muslim untuk melakukan berbagai aktivitas yang memberikan makna kebaikan dan menyenangkan bagi semua pihak.
Inilah yang menjadi dasar mengapa Al-Qur'an tidak hanya menuntut umat muslim untuk saling memaafkan melainkan juga berbuat baik terhadap sesama. Pasalnya, sikap saling memaafkan dan mengasihi antar manusia tentu dapat memberikan manfaat kebaikan di dunia.
Adab Bertamu Sesuai Anjuran Rasulullah
Tradisi pada Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran di Indonesia adalah bertamu ke tetangga sekitar, saling mengunjungi karib-kerabat, kolega kerja, serta bermaaf-maafan atas kesalahan di masa silam. Dalam Islam, ada adab yang mengatur tata cara bertamu yang benar.
Tujuan bertamu adalah menjalin silaturahmi yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa ingin dilapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi,” (H.R. Bukhari)
Untuk lebaran 1443 H atau 2022 M, pemerintah telah memberikan kelonggaran bagi masyarakat yang beragama Islam untuk bisa mudik dengan catatan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat.
Dengan begitu, ketika halal bihalal ke rumah keluarga inti dapat menerapkan adab bertamu sesuai anjuran Rasulullah SAW. Tujuannya untuk kenyamanan kedua belah pihak, baik itu tamu atau tuan rumah.
Advertisement
Adab Bertamu dalam Islam
Berikut adab bertamu dalam Islam:
1. Menguncapkan salam
Ketika sampai di rumah yang dikunjungi, seseorang yang hendak bertamu dianjurkan mengucapkan salam kepada tuan rumah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nur [24]: 27).
2. Meminta izin masuk
Setelah salamnya dijawab, maka tamu harus bertanya terlebih dahulu, apakah ia diizinkan untuk masuk. Meminta izin adalah hal penting sebelum masuk ke kediaman tuan rumah. Bisa jadi, tuan rumah sedang istirahat, tidak ingin diganggu, dan sebagainya. Dengan meminta izin, tamu memberi kesempatan bagi tuan rumah untuk berbenah diri sehingga siap menyambut tamu tersebut.
3. Jika tidak diizinkan, tamu sebaiknya pulang
Jika tamu sudah mengucapkan salam sebanyak tiga kali dan tidak ada jawaban, atau sudah meminta izin lalu tuan rumah sedang tidak berkenan, maka tamu harus mengurungkan niatnya bertamu. Jangan sampai tamu memaksa untuk bertandang sedang tuan rumah tidak bersedia atas kedatangan tamu tersebut. Selain itu, tidak usah tersinggung atau merasa diabaikan karena memang sudah hak tuan rumah untuk menolak tamu. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nur ayat 28 sebagai berikut:
"Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapatkan izin, dan jika dikatakan kepadamu: 'Kembalilah!', maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah SWT Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: An-Nur [24]:28).
4. Berdiri tidak menghadap pintu masuk
Saat mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, berdirilah di samping atau membelakangi pintu. Tamu yang menghadap pintu masuk, apalagi sampai mengintip-intip ke dalam rumah termasuk perilaku lancang dan tidak sopan. Larangan ini tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Sa'ad RA, ia berkata:
”Seseorang berdiri di depan pintu Rasulullah SAW sambil menghadap ke dalam rumah, ia bermaksud minta izin. Kemudian Rasulullah bersabda,'Seharusnya kamu begini begitu [tidak menghadap ke depan pintu]. Sesungguhnya disunahkan meminta izin dan menjaga pandangan.” (H.R. Abu Dawud)
5. Menginap tidak boleh lebih dari tiga hari
Jika tamu hendak menginap, maka ia tidak boleh lebih dari tiga hari. Batasan tiga hari itu agar tidak menyulitkan tuan rumah untuk harus melayani tamunya terus-menerus. Bagaimanapun juga, tuan rumah membutuhkan privasi dan urusannya yang harus ia kerjakan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
"Jamuan hak tamu berjangka waktu tiga hari. Lebih dari itu, jamuan adalah sedekah. Tidak boleh bagi tamu untuk menginap di suatu rumah hingga ia menyusahkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
6. Meminta Izin Sebelum Makan dan Tidak Melirik Kanan Kiri
Sebelum menyantap makanan yang terhidang, seorang tamu harus meminta persetujuan terlebih dahulu pada tuan rumah untuk menyantap makanan. Hal tersebut termasuk ke dalam adab bertamu yang harus dilakukan. Selain itu, dilarang melihat-lihat ke tempat keluarnya perempuan atau melirik kanan kiri pada wajah orang yang sedang makan. Anda juga tidak boleh menolak tempat duduk yang telah disediakan oleh tuan rumah dalam penerapan adab bertamu ini.
7. Membawa Hadiah dan Tidak Memberatkan Tuan Rumah
Untuk menunjukkan kasih sayang dan mempererat jalinan silaturrahmi, anda dianjurkan untuk membawa hadiah untuk tuan rumah. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
“Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
Selain itu, anda sudah seharunya peka dan tidak memberatkan dalam adab bertamu. Jangan sampai karena anda terlalu lama bertamu malah membuat tuan rumah menjadi berat dan merasa tidak enak. Seperti firman Allah SWT:
“Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
8. Tidak Diperkenankan Mengintip ke Dalam Rumah
Ketika hendak bertamu, Anda tidak diperbolehkan mengintip ke dalam rumah. Sebab, mengintip rumah seseorang termasuk perilaku tidak sopan. Cukup berdiri dan menunggu untuk dipersilahkan masuk. Hal ini tertuang dalam hadits yang artinya:
“Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)