Harga Minyak Dunia Naik, Peninjauan Ulang Tarif BBM Bersubsidi Dinilai Wajar

Hery menilai harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Agu 2022, 20:46 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2022, 12:08 WIB
FOTO: Antrean Kendaraan di SPBU Jelang Kenaikan Harga Pertamax
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) ke dalam kendaraan di sebuah SPBU di Jakarta, Kamis (31/3/2022). PT Pertamina (Persero) akan memberlakukan tarif baru BBM jenis Pertamax menjadi Rp 12.500 pada 1 April 2022. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

 

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyatakan, konflik Rusia-Ukraina membuat harga minyak dunia terkerek naik hingga di atas 100 dollar per barrel. Hal itu membuat pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang harga bahan bakar minyak (BBM)) bersubsidi yang berlaku saat ini. 

"Wajar apabila harga BBM bersubsidi ini ditinjau kembali, sebab kenaikan harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan," ujar Hery dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan?, di Jakarta, Sabtu, 27 Agustus 2022. 

Apalagi, sambung Hery Sucipto, banyak pihak yang menilai subsidi BBM ini 'bocor' atau tidak tepat sasaran. Sehingga diperlukan rumusan kebijakan subsidi yang tepat agar tepat sasaran.

"Jangan sampai subsidi dinikmati justru oleh orang-orang kelas menengah keatas, yang sejatinya bukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi," ujarnya. 

Pada kesempatan sama, pakar energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Yuli Setyo Indartono menekankan perlunya eksplorasi dan peningkatan penggunaan energi bauran dan energi terbarukan, guna menanggulangi krisis energi saat ini. Apalagi tidak ada jaminan harga BBM tidak naik lagi di masa mendatang. 

Karena itu, Yuli Setyo menyatakan pentingnya peningkatan penggunaan biodiesel, gasifikasi batu bara dan biomass. 

"Kendaraan elektrik juga opsi yang tepat. Norwegia misalnya sudah mencapai 94%, dan subsidinya pun menyasar segmen masyarakat yang tepat," ujar Yuli.

Yuli pun mengingatkan pemerintah bahwa insentif bagi rakyat di tengah kenaikan harga BBM tidak hanya berupa Bantuan Langsung Tunai(BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos), seperti saat ini.

"Tetapi  subsidi bisa juga dilebarkan sehingga mencakup kompor listrik atau kendaraan listrik. Insentif yang cukup bermanfaat bagi rakyat saat ini," ujarnya. 

 

Semakin Tidak Menguntungkan

Pengisian BBM di SPBU
Khusus Provinsi Sumatera Utara (Sumut) harga Pertamax Turbo (RON 98) terdapat penyesuaian harga menjadi Rp 18.250, Pertamina Dex (CN 53) menjadi Rp 19.250, dan Dexlite (CN 51) menjadi Rp 18.150 per liter

Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan pun sependapat dengan opini Yuli. Imron menyatakan, memang sudah waktunya penggunaan energi bauran serta energi baru dan terbarukan ditingkatkan guna menggantikan energi fosil, yang tidak sustainable (emisi karbon).

"Energi fosil ini tidak berkesinambungan, dan juga tak ramah lingkungan karena emisi karbon yang dihasilkannya," ujarnya.

Imron melanjutkan, fluktuasi harga minyak dunia juga membuat energi fosil semakin tak menguntungkan bagi Indonesia dalam jangka panjang. 

"Kenaikan harga minyak dunia membuat APBN kita tertekan, sehingga semakin membuka mata kita bahwa energi terbarukan harus memegang peranan penting ke depannya," demikian Imron.

Infografis 3 Skenario BBM Bersubsidi ala Menkeu Sri Mulyani. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 3 Skenario BBM Bersubsidi ala Menkeu Sri Mulyani. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya