Liputan6.com, Jakarta - Dua Warga Negara Indonesia (WNI) asal Denpasar, Bali bernama Nia Marlinda dan anaknya turut menjadi korban meninggal dunia akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,8 yang terjadi di Turki.
Keluarga dua WNI korban gempa Turki ini hanya bisa menyaksikan prosesi pemakaman jenazah anak dan cucunya di Kahramanmaras melalui rekaman video yang dikirimkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Turki di Ankara.
Advertisement
Baca Juga
Ibu korban gempa, Bidayati Rahmat Zaelani menyampaikan, dia menyaksikan video penguburan anak dan cucunya itu bersama anggota keluarga lainnya, termasuk ayah korban, Muhammad Sukarmin.
“Kemarin (9/2) kami telepon dan dikirimi video (penguburan jenazah Nia),” kata Bidayati saat ditemui di rumahnya di Denpasar, Bali, Jumat (10/2/2023), seperti dikutip dari Antara.
Dia mengucapkan terima kasih kepada staf KBRI Ankara yang terus membuka jalur komunikasi dengan pihak keluarga dan memberi informasi mengenai pemulasaran dan penguburan jenazah putri, beserta cucu, dan menantunya yang merupakan WN Turki itu.
“Staf KBRI bertindak cepat (saat jenazah ditemukan) dibawa ke rumah sakit, jenazah dibersihkan, dan dikafankan,” katanya.
Bidayati mengaku sempat melihat wajah putrinya sebelum dikubur. Namun dia mengaku tak sanggup melihat wajah cucunya yang juga turut menjadi korban gempa Turki.
“Wajahnya (Nia) bersih. Tidak seperti orang yang tertindih reruntuhan,” ujar dia.
Menurut Bidayati, pihak keluarga sempat berencana membawa pulang jenazah Nia bersama anaknya ke Indonesia. Pihak keluarga juga sempat menghubungi KBRI Ankara dan membahas permintaan tersebut.
“Akhirnya dari KBRI memberi masukan dan penjelasan (bahwa) bisa dipulangkan, tetapi karena kondisi tertindih reruntuhan prosesnya bisa 1–2 minggu. Tetapi karena kami orang Muslim, pemakaman harus disegerakan,” kata dia.
Ikhlaskan Anak dan Cucu Dimakamkan di Turki
Bidayati dan keluarga sudah ikhlas menerima keputusan untuk menguburkan jenazah Nia dan anaknya di Kahramanmaras, kota di bagian tengah Turki yang berjarak 600 kilometer lebih dari Ankara, dan 1.000 km lebih dari Istanbul.
“Saya sebagai ibu, di mana pun Nia dimakamkan, itu tanahnya Tuhan (yang) punya juga,” kata Bidayati.
Di rumah duka, Bidayati dan Sukarmin membuka pintu untuk keluarga, kerabat, dan tetangga, yang ingin melayat dan ikut pengajian/tahlilan.
Kegiatan mendoakan almarhum itu dimulai sejak Kamis malam (9/2/2023) dan rencananya akan terus berlangsung selama 7 hari, kemudian pada hari ke-40, dan hari ke-100 kematian Nia Marlinda.
“Sudah banyak yang melayat sejak berita (kematian beredar). Ada tahlilan sampai 7 hari itu, karena kami ada tradisi orang Lombok juga ada hari ke-40 dan hari ke-100. Ada shalat gaib juga, kami sekeluarga aktif sosialisasi,” kata Bidayati yang telah tinggal di Bali selama kurang lebih 40 tahun ini.
Di beberapa masjid, termasuk salah satunya di Masjid Chandra Asri di Ketewel, Gianyar, jamaah salat Jumat juga menggelar salat gaib untuk Nia Marlinda, suaminya yang berkewarganegaraan Turki, dan anaknya.
Advertisement