Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhammad Rifqinizamy Karsayuda angkat suara terkair revisi Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN). Rifqi mengamini, ada urgensi untuk merubah dan melakukan revisi terutama terhadap UU IKN itu sendiri.
"Dimana yang harus direvisi? terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fleksibilitas investasi dan penggunaan sumber pembiayaan lain yang selama ini belum terwadahi di UU IKN secara khusus,” kata Rifqi melalui keterangan suara diterima, Selasa (22/8/2023).
Rifqi menyebut, UU IKN adalah lex specialis atau dalam arti aturan yang sifatnya khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum dari konteks pembangunan infrastruktur.
Advertisement
"Jadi tentu kita membutuhkan dalam tanda kutip jaminan hukum agar IKN menjadi multi period legacy yang bukan hanya multi years legacy,” ungkap Rifqi.
Artinya, lanjut Rifqi, DPR dan pemerintah menyadari kepemimpinan nasional akan berganti tahun depan dan IKN harus menjadi tugas bagi siapapun presiden terpilih termasuk anggota DPR RI terpilih pada periode mendatang.
"Jadi kami berupaya melakukan akselarasi atau percepatan pembangunan terutama infrastruktur di IKN dengan Revisi terhadap UU IKN ini," dia menandasi.
Diketahui, revisi tersebut sudah disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa kepada Komisi II DPR RI, Senin, 21 Agustus 2023.
Resiko Besar Bila UU IKN Tidak Direvisi
Suharso mengatakan, ada resiko apabila UU IKN tidak direvisi. Pertama, akan terjadi benturan dengan UU sektoral. Sehingga bakal mempengaruhi pengambilan keputusan.
"Terjadinya berbenturan dengan UU sektoral, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan," ujar Suharso.
Kedua, masih akan terjadi tarik menarik dan lepas kewenangan di internal pemerintah. Hal ini akan mempersulit Otorita IKN sehingga perlu diberikan kewenangan lebih.
"Yang kedua kemungkinan masih terjadi tarik menarik dan lepas kewenangan di internal pemerintah, yang mempersulit otorita," ujar Suharso.
Terakhir, kegiatan operasional Otorita IKN tidak leluasa dan tidak efisien dengan menggunakan undang-undang yang berlaku.
"Publik berpotensi menghadapi kesulitan dalam memperoleh pelayanan perizinan maupun pelayanan publik," jelas Suharso.
Advertisement