DPRD DKI Jakarta Soroti Rencana Kenaikan PPN 12%, Disebut Berdampak ke Daya Beli Masyarakat

Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Ahmad Lukman Jupiter, menyoroti rencana pemerintah pusat yang berencana menaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.

oleh Winda Nelfira diperbarui 24 Mar 2024, 14:37 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2024, 14:37 WIB
Jelang Natal dan Tahun Baru, Harga Kebutuhan Pokok di Supermarket Masih Stabil
Warga berbelanja untuk kebutuhan bahan pokok akhir tahun di salah satu hypermarket, Jakarta, Sabtu (24/12/2022). Memasuki libur Natal dan Tahun Baru 2023, harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya di supermarket masih stabil bahkan terdapat program promo. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Ahmad Lukman Jupiter, menyoroti rencana pemerintah pusat yang berencana menaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.

Politikus NasDem ini khawatir kebijakan itu dapat memukul daya beli masyarakat.

Oleh sebab itu, dia mendorong anggota DPR RI untuk menolak kebijakan tersebut. Menurutnya, kenaikan PPN 12 persen di 2025 hanya akan memberatkan rakyat.

"Pemerintah sudah mengumumkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang. Kebijakan ini akan semakin memukul daya beli masyarakat," kata Jupiter dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (24/3/2024).

Dia juga mengkritisi dalih pemerintah yang menyebut bahwa kenaikan PPN dimaksudkan untuk mendongkrak penerimaan negara dan menambal defisit anggaran.

Padahal, kata Jupiter ada efek domino pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Politisi Partai Nasdem ini memberi contoh dampak kenaikan PPN pada lonjakan harga barang dan jasa.

"Kenaikan PPN 12 persen bagaikan bola salju yang menggelinding. Kenaikan ini diprediksi akan berdampak pada lonjakan harga barang dan jasa," ucap Jupiter.

Pasalnya, kata Jupiter PPN dihitung dari harga jual barang dan jasa. Sehingga kenaikan tarif PPN akan menambah beban biaya yang ditanggung oleh konsumen.

Sebelumnya, peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat berdampak ke berbagai sektor, mulai dari manufaktur, hingga daya beli.

"Kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. Perlu dipertimbangkan skema multi tarif," kata Ahmad dikutip dari keterangannya, Minggu (24/3/2024).

 

Diamini Akan Menuruni Daya Beli

Secara makro, kenaikan PPN 12 persen akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relative lebih tinggi. Menurutnya, semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.

Disisi lain, seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.

"Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun," ujarnya.

Lantaran, ketika kenaikan PPN, Pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. Namun perlu dikalkulasi cost and benefitnya terhadap perekonomiandalam jangka pendek dan jangka panjang.

 

Tak Harus Naikan PPN

Menurut Ahmad, untuk meningkatkan penerimaan negara bisa tanpa menaikkan PPN menjadi 12 persen. Diantaranya bisa dengan memperluas tax base PPN, maka potensi penerimaan pajak akan semakin meningkat.

Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru, yakni ekstensifikasi Penerimaan Perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai.

"Ekstensifisikasi cukai juga direncanakan akan diterapkan pada tahun mendatang. Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya