Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi menerima langsung penghargaan Keterbukaan Informasi Publik dari Komisi Informasi Pusat (KIP) pada acara Malam Anugerah Keterbukaan Informasi Publik tahun 2024 di Jakarta, Selasa 17 Desember 2024.
Tahun ini BPIP meraih predikat kualifikasi Informatif dengan nilai 91,40, padahal sebelumnya tahun 2023 BPIP meraih predikat menuju informatif dengan nilai 80,7.
Baca Juga
"Ini merupakan bentuk keseriusan dan komitmen kita dalam keterbukaan informasi publik" ujarnya dalam keterangan tertulisnya.
Advertisement
Dirinya berharap dengan semakin berkembangnya teknologi digital, transparansi dan keterbukaan informasi publik sebagai upaya mendorong tata pengelolaan pemerintahan yang baik dan akuntabel.
"Kita berharap keterbukaan informasi untuk masyarakat luas terus dilakukan sehingga pelayanan kita (BPIP) dapat dirasakan masyarakat", paparnya.
Tidak hanya itu, dirinya juga mengaku hal ini merupakan bentuk komitmen BPIP dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Sementara itu Ketua Komisi Informasi Pusat Denny Yoesgiantoro mengapresiasi kepada Lembaga Negara maupun Lembaga Pemerintah yang terus berkomitmen dalam mewujudkan transparansi informasi.
Dirinya juga menegaskan keterbukaan informasi publik dalam mewujudkan visi besar pengembangan keterbukaan informasi yaitu mewujudkan masyarakat yang maju, cerdas dan berkepribadian yang baik.
"Tidak hanya itu ini juga dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, bersih, transparan dan akuntabel", tuturnya.
BPIP Ingatkan Politik Bebas Aktif
Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Internasional Darmansjah Djumala mengatakan bahwa tumbangnya rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad menjadi bukti prinsip bebas aktif yang dianut Indonesia masih relevan di kancah politik global.
"Ini memberi pelajaran, prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam tarikan kepentingan geopolitik negara asing," kata Djumala seperti dilansir Antara.
Dengan terpecahnya Suriah di bawah Assad akibat intervensi asing, kata dia, terbukti bahwa prinsip bebas aktif tetap relevan dalam politik global.
Djumala, yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekretariat Presiden/Sekretaris Presiden pada periode pertama presiden ke-7 RI Joko Widodo, juga mengingatkan keterlibatan asing menjadi poin utama dalam perang saudara di Suriah.
Rusia dan Iran terlibat dalam konflik tersebut dengan mendukung rezim Assad, Turki terlibat dalam perang saudara di Suriah dengan mendukung kelompok oposisi terbesar Suriah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan sayap militer oposisi Tentara Nasional Suriah (Syrian National Army/SNA).
Amerika Serikat (AS) juga ikut melibatkan diri dalam perang tersebut dengan mendukung kelompok perlawanan separatis Kurdi, SDF (Syrian Democratic Forces).
Dalam pandangannya, Djumala menegaskan bahwa perang saudara di Suriah mulanya hanyalah gerakan prodemokrasi yang muncul seiring dengan berembusnya angin demokratisasi di Timur Tengah atau Arab Spring, dan keterlibatan pihak asing dalam gerakan tersebut malah menambah kompleksitas.
“Keterlibatan pihak asing dalam perang saudara di Suriah bukan menyelesaikan masalah, malah membuat konflik makin parah sehingga menumbangkan Presiden Assaad," ujarnya.
Djumala mengatakan bahwa Assad adalah presiden di negara Timur Tengah yang relatif cukup lama bertahan dari gempuran badai demokratisasi Arab Spring 2011.
Tidak seperti Ben Ali (Tunisia), Hosni Mobarak (Mesir), Khadafy (Libya), Morsi (Mesir), dan Abdullah Saleh (Yaman) yang tumbang diterpa badai Arab Spring, Bashar Assad mampu bertahan lebih dari 13 tahun.
Dalam pengamatan Djumala, yang pernah menjabat Dubes RI untuk Astria dan PBB, kemampuan Assad bertahan karena didukung secara militer oleh Rusia dan Iran, yang sudah lama menjadi sekutu dekatnya dalam geopolitik Timur Tengah.
Namun, belakangan dukungan kedua sekutu tersebut mengendur karena Rusia disibukkan oleh perang dengan Ukraina. Begitu pula dengan Iran yang dukungannya ke rezim Assad mulai mengendur ketika Hamas menyerang Israel, Iran kemudian terlibat dalam perang itu dengan mendukung proxy-nya di Lebanon, Hisbullah.
Advertisement