Alih Fungsi Lahan Tak Terkendali Jadi Penyebab Banjir dan Longsor di Jawa Barat

Perubahan fungsi lahan, khususnya pembangunan permukiman di kawasan lindung dan daerah resapan air, menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya bencana di wilayah Jawa Barat.

oleh Elza Puti Pramata Diperbarui 24 Mar 2025, 14:04 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2025, 14:04 WIB
Pengembangan Wisata Ugal-ugalan di Puncak Bogor Diduga Picu Banjir Jakarta, Menteri LH Perintahkan Segel 33 Titik
Tempat wisata Hibisc Fantasy yang dikelola PT Jaswita, BUMD milik Pemprov Jawa Barat. Pengembangan wisata ugal-ugalan di Puncak Bogor diduga picu banjir Jakarta, Menteri LH memerintahkan segel 33 titik. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Kepala Biro Perekonomian Jawa Barat, Yuke Septina, menyatakan bahwa banjir dan longsor yang kerap terjadi di wilayah Jawa Barat akibat dari masifnya alih fungsi lahan.

Dalam rangka memperingati Hari Meteorologi Dunia 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan forum diskusi daring yang membahas terkait refleksi banjir di Jabodetabek, Selasa (24/3/2025).

Yuke menjelaskan bahwa perubahan fungsi lahan, khususnya pembangunan permukiman di kawasan lindung dan daerah resapan air, menjadi penyebab banjir dan longsor di wilayah Jawa Barat.

"Kawasan resapan air dan kawasan lindung kita telah mengalami tekanan besar. Saat ini, sekitar 3.804 hektare kawasan lindung telah tergerus akibat alih fungsi lahan menjadi permukiman dan infrastruktur. Selain itu, 8.600 hektare daerah resapan air kini telah beralih fungsi menjadi kawasan terbangun," ujar Yuke.

Jawa Barat memiliki 45% kawasan lindung yang terdiri dari area konservasi, hutan adat, kawasan geologi, dan cagar budaya. Namun, ata Yuke, banyak dari kawasan tersebut telah berubah fungsi karena aktivitas pembangunan.

Yuke menyatakan bahwa kerusakan ini juga terjadi di kawasan pesisir, mengingat Jawa Barat memiliki garis pantai yang panjang di utara dan selatan.

"Daerah pesisir juga mengalami tekanan pembangunan. Padahal, kawasan ini sangat penting untuk menjaga ekosistem laut dan mencegah risiko bencana seperti tsunami," jelasnya.

Kerusakan pada kawasan lindung dan resapan air berdampak signifikan pada meningkatnya intensitas banjir dan longsor. Saat hujan deras terjadi, air tidak dapat terserap optimal, sehingga langsung menggenangi permukiman warga. Sementara itu, daerah lereng yang kehilangan vegetasi penahan tanah menjadi rawan longsor.

"Sebanyak 27.000 hektare kawasan terbangun di Jawa Barat berada di area rawan longsor yang seharusnya menjadi kawasan lindung. Ini menjadi penyebab utama mengapa longsor terus terjadi di wilayah ini," ungkap Yuke.

Promosi 1

Alih Fungsi Lahan Menjadi Bangunan dan Permukiman Menyebabkan Kerusakan Lingkungan

Bekasi Lumpuh, Banjir Rendam Perkumiman hingga Perkantoran
Foto selebaran yang diambil dan dirilis pada Selasa 4 Maret 2025 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini menunjukkan gedung-gedung yang terendam banjir di Bekasi, Jawa Barat. (Foto oleh Handout/Badan Nasional Penanggulangan Bencana/AFP)... Selengkapnya

Yuke mengungkapkan bahwa dampak kerusakan kawasan lindung semakin terasa, terutama di wilayah-wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekosistem.

"Banjir dan longsor yang terjadi belakangan ini merupakan akibat langsung dari alih fungsi lahan yang masif dan tidak terkendali. Kawasan lindung dan resapan air sudah berubah fungsi menjadi permukiman dan bangunan-bangunan lainnya," ujar Yuke.

Menurutnya, perubahan tata guna lahan di Jawa Barat telah menyebabkan wilayah yang seharusnya menjadi kawasan penyangga kehilangan kemampuan untuk menahan air. Hal ini berdampak langsung pada bencana banjir di hilir.

"Air dari kawasan hulu tidak bisa lagi ditahan karena resapan sudah sangat kurang. Sebaliknya, air mengalir langsung ke bawah, menyebabkan banjir di wilayah-wilayah seperti Bekasi dan Bogor," jelasnya.

Yuke juga memaparkan data kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan. Ia menjelaskan, di Kabupaten Bogor saja, tercatat lebih dari 1.092 hektare kawasan lindung yang telah berubah fungsi. Di atas lahan tersebut, kini berdiri sekitar 15.000 bangunan, termasuk permukiman dan fasilitas lain.

"Kalau kita lihat Kabupaten Bogor, kawasan lindungnya sebenarnya paling luas dibanding daerah lain. Tetapi justru di sinilah perubahan tata guna lahan terjadi begitu masif. Banyak kawasan yang awalnya menjadi resapan air, kini sudah menjadi kawasan terbangun," ungkap Yuke.

Ia juga menyoroti perubahan drastis di wilayah Jabodetabek lainnya. "Di Bekasi, misalnya, kawasan badan air dan sempadan sungai banyak yang sudah terbangun. Ini sangat memprihatinkan karena seharusnya kawasan sempadan sungai tidak boleh ada bangunan sama sekali," kata Yuke.

Kembalikan Fungsi Kawasan Resapan dan Perketat Izin Pembangunan

Dibongkar Satpol PP Jelang Lebaran, Hibisc Fantasy Puncak Bogor Hanya Tinggal Puing
Reruntuhan bangunan wahana di Hibisc Fantasy Puncak, Bogor, hasil pembongkaran oleh Satpol PP. Bangunan ini dinilai jadi biang keladi banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya. (dok. Liputan6.com/Achmad Sudarno)... Selengkapnya

Dalam paparannya, Yuke menegaskan bahwa salah satu langkah strategis yang harus dilakukan adalah mengembalikan kawasan lindung ke fungsi semula. Menurutnya, pemerintah perlu segera memperbarui regulasi dan izin pembangunan di kawasan-kawasan tersebut.

"Izin-izin ini harus kita perbarui, dan kita harus kembalikan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan resapan air, kawasan konservasi, atau kawasan perlindungan lainnya. Ini menjadi tugas besar yang harus segera diselesaikan demi mengurangi risiko bencana ke depannya," tegas Yuke.

Ia juga menyebut bahwa revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi langkah penting dalam memperbaiki tata kelola lingkungan di Jawa Barat.

"Perubahan RTRW ini sangat mendesak. Kalau kita biarkan seperti ini terus, banjir dan longsor akan semakin sering terjadi dan semakin parah dampaknya," ujar Yuke.

Kerusakan kawasan lindung tidak hanya berdampak pada bencana saat ini, tetapi juga menjadi ancaman jangka panjang bagi keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat. Yuke mengingatkan bahwa tanpa tindakan segera, dampaknya akan semakin meluas.

"Kawasan penyangga itu adalah kunci untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Kalau kita biarkan terus seperti ini, resapan air akan hilang, dan daerah hilir seperti Bekasi, Bogor, dan wilayah lainnya akan terus dikepung banjir," pungkasnya.

Langkah Pemprov Jawa Barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan peraturan gubernur terkait pengendalian alih fungsi lahan. Pemerintah juga membentuk tim khusus untuk memantau perubahan tata ruang dan merestorasi kawasan yang telah telanjur berubah fungsi.

"Restorasi lahan sangat penting untuk mengembalikan fungsi awal kawasan lindung. Kita harus mencegah pembangunan di area yang seharusnya menjadi resapan air atau kawasan konservasi," tegas Yuke.

Ia menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak untuk menekan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Dengan populasi Jawa Barat yang mencapai lebih dari 50 juta jiwa, kebutuhan pembangunan memang tinggi, tetapi tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan.

Yuke juga mengingatkan bahwa tata ruang yang berkelanjutan adalah solusi utama untuk mengurangi risiko bencana di masa depan. Upaya ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga membutuhkan dukungan penuh dari masyarakat dan sektor swasta.

"Jika tidak ada langkah konkret sejak sekarang, bencana akan semakin sulit diatasi. Kita harus menjaga keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan untuk keselamatan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem di Jawa Barat," tuturnya.

Bencana banjir dan longsor yang melanda Jawa Barat menjadi pengingat bahwa lingkungan harus tetap menjadi prioritas utama dalam setiap perencanaan pembangunan.

 

Infografis Banjir Jabodetabek.
Infografis Banjir Jabodetabek. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya