Si Miskin Dapat BLSM Rp 600 Ribu, Sejarawan: di Mana Keadilan?

Rakyat kecil diberikan Rp 600 ribu selama 4 bulan, sementara lainnya dikasih Rp 1 miliar per bulan. Dimana keadilan, dimana rakyatnya?

oleh Rochmanuddin diperbarui 04 Jul 2013, 14:12 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2013, 14:12 WIB
blsm-baromoter130629c.jpg
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diberikan Pemerintah kepada rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai tidak tepat. Menurut sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gongong, kebijakan Pemerintah tersebut telah melanggar landasan negara atau konstitusi.

Bahakan, Anhar menilai, BLSM itu menambah banyak penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun negeri ini.

"Saya selalu katakan selama ini, saya tak melihat kalau Pancasila menjadi landasan dalam proses pembanguan. Bahkan, banyak sekali pemerintah melakukan penyimpangan. Contoh, apakah BLSM sejalan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia? Apakah itu wujud sila kelima Pancasila?" kata Anhar dalam seminar nasional bertema Nasionalisme Kultural di Kalibata, Jakarta, Kamis (4/7/2013).

"Rakyat kecil diberikan Rp 600 ribu selama 4 bulan, sementara lainnya dikasih Rp 1 miliar per bulan. Di mana keadilan, di mana rakyatnya?" imbuh Anhar.

Anhar juga mengatakan, musuh bangsa Indonesia sekarang ini adalah diri kita sendiri, bukan lagi penjajah. Kemerdekaan yang telah diraih para pendahulu Bangsa Indonesia sejatinya untuk menciptakan hidup menjadi lebih baik melalui alat yang disebut negara.

"Para pendiri negara telah membuat kerangka untuk mencapai kesejahteraan itu. Kita bisa melihat Pembukaan UUD 1945. Jadi para pendiri kita sudah menyiapkan konsep-konsep, tinggal kita melanjutkan. Tapi pertanyaanya, apakah nasionalisme itu sudah berjalan untuk mewujudkan kemerdekaan yang adil dan makmur?" ujarnya.

Anhar mengaku, kondisi sekarang ini memang tidak mudah menghadapai arus globalisasi. Tak heran jika budaya Indonesia saat ini semakin tergerus. "Ada gejala, misalnya anak muda lebih suka budaya Korea ketimbang budaya Indonesia atau lagu-lagu Indonesia. Mungkin itu dapat melemahkan nasionalisme kita," katanya.

"Tapi sebenarnya kita memiliki suatu pemikiran starategis untuk menghadapi arus globalisasi, kita memiliki kekuatan yakni keberagaman itu," tandas Anhar.

Menurut Anhar, dalam konteks nasionalisme kultural untuk meng-counter gelombang budaya asing, yang dibutuhkan adalah rumusan kembali arah ke-Indonesiaan. "Ini yang sering dilupakan orang. Kita memerlukan sebuah konsep baru dengan konsep landasan sebelumnya. Itu yang mungkin perlu dirumuskan," tutup Anhar.(Sul/Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya