Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan buronan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono Timan. Namun, putusan itu kini dianggap telah batal demi hukum.
Hal itu diungkapkan Hakim Agung Gayus Lumbuun, saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (26/8/2013). Menurut pendapat pribadinya, putusan PK itu bisa batal demi hukum karena patut diduga adanya pelanggaran penerapan hukum formal atau KUHAP.
"Apabila ternyata pada Putusan PK tersebut terjadi kesalahan penerapan Hukum Acara seperti apa yang diatur pada Pasal 263 dan 268 KUHAP, termasuk penerapan SEMA (Surat Edaran MA) No 1 tahun 2012 yang merupakan revisi terhadap SEMA sebelumnya," ungkap Gayus.
Tentu, sambungnya, SEMA yang bersifat aturan internal MA tidak boleh mereduksi ketentuan UU ataupun menambah norma baru yang bertentangan dengan pasal-pasal UU yang telah ada.
"Yaitu KUHAP untuk dilaksanakan oleh majelis hakim, di mana dasar Putusan hakim harus menggunakan hukum formil dan hukum materiil yang keduanya sama-sama bersifat imperatif atau memaksa hakim dalam memutus sebuah perkara," sambungnya.
Oleh karenanya, lanjut Gayus, "Pelanggaran terhadap ketentuan KUHAP sebagai hukum formil merupakan pelanggaran putusan oleh hakim yang bisa mengakibatkan batal demi hukum putusan tersebut."
Pada 13 Juni 2013, Majelis Hakim PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Meski demikian, putusan ini tak bulat, karena hakim Sri Murwahyuni mengajukan dissenting opinion karena setuju menghukum Sudjiono.
Ketua Majelis Hakim Suhadi beralasan, perkara buronan BLBI itu bukanlah perkara pidana, tapi perdata. Sehingga Sudjiono Timan harus dilepaskan (onslag). (Mut/Ism)
Hal itu diungkapkan Hakim Agung Gayus Lumbuun, saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (26/8/2013). Menurut pendapat pribadinya, putusan PK itu bisa batal demi hukum karena patut diduga adanya pelanggaran penerapan hukum formal atau KUHAP.
"Apabila ternyata pada Putusan PK tersebut terjadi kesalahan penerapan Hukum Acara seperti apa yang diatur pada Pasal 263 dan 268 KUHAP, termasuk penerapan SEMA (Surat Edaran MA) No 1 tahun 2012 yang merupakan revisi terhadap SEMA sebelumnya," ungkap Gayus.
Tentu, sambungnya, SEMA yang bersifat aturan internal MA tidak boleh mereduksi ketentuan UU ataupun menambah norma baru yang bertentangan dengan pasal-pasal UU yang telah ada.
"Yaitu KUHAP untuk dilaksanakan oleh majelis hakim, di mana dasar Putusan hakim harus menggunakan hukum formil dan hukum materiil yang keduanya sama-sama bersifat imperatif atau memaksa hakim dalam memutus sebuah perkara," sambungnya.
Oleh karenanya, lanjut Gayus, "Pelanggaran terhadap ketentuan KUHAP sebagai hukum formil merupakan pelanggaran putusan oleh hakim yang bisa mengakibatkan batal demi hukum putusan tersebut."
Pada 13 Juni 2013, Majelis Hakim PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Meski demikian, putusan ini tak bulat, karena hakim Sri Murwahyuni mengajukan dissenting opinion karena setuju menghukum Sudjiono.
Ketua Majelis Hakim Suhadi beralasan, perkara buronan BLBI itu bukanlah perkara pidana, tapi perdata. Sehingga Sudjiono Timan harus dilepaskan (onslag). (Mut/Ism)