Kisah Topan Nargis, Situasi Diperburuk Rezim Militer Myanmar

Pada intinya, Myanmar lebih mengharapkan bantuan logistik. Mereka seperti alergi dengan kehadiran para relawan.

oleh Yus diperbarui 16 Nov 2013, 08:57 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2013, 08:57 WIB
topan-nargis-131116a.jpg
Nargis memang mematikan. Kecepatan topan itu mencapai 190 per jam. Saat mendarat di Myanmar pada 2 Mei 2008, junta militer memperburuk keadaan.

Tawaran bantuan logistik dan para relawan mengalir, namun Myanmar mengatakan para donor harus bernegosiasi dulu dengan junta untuk mendapatkan izin. Seleksi ketat diberlakukan.

Pada intinya, Myanmar lebih mengharapkan bantuan logistik. Mereka seperti alergi dengan kehadiran para relawan. Sejumlah relawan yang datang bahkan dideportasi. Negeri itu menutup diri sejak rezim militer berkuasa pada 1962. Kaum oposisi dikirim ke penjara, termasuk Aung San Suu Kyi.

Nargis menerjang dan menyebabkan kerusakan parah di kawasan Yangon, Irrawaddy, Bago, Karen, dan Mon. Ibu kota Naypyidaw, di pedalaman Myanmar, selamat dari hantaman topan tersebut.

Lampu lalu lintas, baliho, dan lampu jalan tumbang ke jalan-jalan. Pohon-pohon dan bangunan roboh. Jaringan air bersih rusak.

”Situasinya buruk. Nyaris semua rumah rusak, dihantam topan. Semua jalan tertutup. Tidak ada air. Tidak ada listrik,” kata seorang pejabat PBB kepada Reuters.

Ada sejumlah versi jumlah korban tewas. Kisarannya 100 ribu sampai 140 ribu orang menemui ajal. Total, sekitar 2,5 juta orang kehilangan rumah.

[lihat video Korban Badai Nargis Berebut Bantuan]



Topan Nargis juga membuat komedian dan aktivis sosial, U Maung Thura alias Zarganar, harus mendekam di bui. Semula ia divonis 59 tahun, belakangan hukuman dikurangi menjadi 35 tahun.

Ia didakwa atas kesalahan membagikan bantuan tanpa izin dan berbicara ke media asing tentang betapa menyebalkannya berhadapan dengan rezim saat membantu korban Nargis.

Saat diwawancara pada 19 Mei 2008, seperti dikutip New York Times, Zarganar menyatakan, “Mereka saudara-saudara saya sebangsa. Saya ingin menolong. Tapi, pemerintah tak menyukai kerja kami. Mereka tak tertarik membantu. Mereka hanya ingin mengumumkan kepada dunia bahwa semua baik-baik saja."

Korban sesungguhnya tetap saja para rakyat. Mereka yang selamat tinggal di tempat pengungsian dengan situasi memprihatinkan. Sebagian besar tak punya pilihan dan bertahan. Tapi, segelintir korban menempuh risiko lain dengan coba pergi dari Tanah Air mereka.

Pada Juli 2008, terbongkar aksi sindikat perdagangan manusia. Lebih dari 80 perempuan dan anak korban Nargis dibebaskan. Mereka berasal dari delta Irrawaddy, wilayah paling parah akibat terjangan Nargis.

Para korban yang menghadapi masa-masa sulit itu tergiur bujukan para para tersangka yang menyamar sebagai relawan tersebut.

Penyelundupan manusia, terutama ke Thailand, kian marak ketika rakyat di salah satu negara termiskin di dunia itu ingin mencari kehidupan lebih baik. Namun, cukup banyak di antara mereka justru terjebak dalam prostitusi atau pekerjaan tak manusiawi dengan upah menyedihkan.



Sampai setahun setelah bencana, sekitar 800 ribu orang masih berstatus pengungsi dengan kondisi memprihatinkan. ASEAN merilis data, dibutuhkan dana bantuan tak kurang dari 690 juta dolar Amerika, selama tiga tahun ke depan.

Pada Mei 2009, di Yangoon, sejumlah warga menggelar acara peringatan sederhana dengan berdoa di vihara-vihara Budha. Pemerintah Myanmar tak punya acara serupa.

Kepada Al Jazeera, David Evans, staf PBB di lokasi bencana, mengatakan belum ada kemajuan berarti dalam penanganan para korban setahun pasca-bencana. "Ya, itu jika dibandingkan dengan penanganan pasca-bencana di Pakistan setelah gempa atau Sri Lanka dan indonesia setelah tsunami," ujarnya.

[lihat video Sekjen PBB Kunjungi Korban Badai Nargis]

Nargis yang berarti "bakung" dalam bahasa Urdu memicu duka yang panjang. Korban bisa berkurang banyak andai saja rezim militer tak keras kepala. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya