Liputan6.com, Jakarta: Desing peluru seolah kembali bergema. Derap sepatu serdadu berbaur teriakan histeris terdengar lagi memantul dari aspal jalan. Kenangan pahit 12 Mei 1998, tepatnya Selasa petang ketika itu, menjadi sejarah kelam Indonesia. Peristiwa di Kampus Trisakti tidaklah mudah dilupakan. Insiden yang menelan korban enam mahasiswa itu mengawali aksi anarkis massal dan berujung pada runtuhnya "kerajaan" Orde Baru. Hingga enam tahun kejadian Trisakti berlalu, sosok yang mesti bertanggung jawab atas peristiwa tersebut tetap misteri. "Saya sudah lelah," kata Karsiyati Sie, ibunda Hendrawan Sie, mahasiswa Trisakti yang tewas tertembak.
Kelelahan memang terpancar pada raut Karsiyati ketika berdialog dengan reporter SCTV Indiarto Priyadi di Studio Liputan 6, Jakarta, Rabu (12/5) malam, dalam acara Topik Minggu Ini bertajuk "Tragedi Mei 1998, Sejarah Gelap Negeri Ini". Karsiyati mengaku jiwanya kosong setelah ditinggal Hendrawan, putra tunggalnya. Untuk menuntaskan rasa penasaran atas kematian mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Angkatan 1996 itu, Karsiyati rela meninggalkan Kalimantan. "Saya bekerja di koperasi Rektorat Trisakti," ungkap dia.
Gelisah tak hanya menyergap Karsiyati. Lasmiati, ibu kandung Herry Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin Angkatan 1995) malah terpaksa pindah rumah. "Trauma. Tiga tahun jalan empat tahun, saya kebayang terus. Kita tidur, kayaknya dia [Hendrawan] dateng," kata Lasmiati. Jika rindu menyergap, hanya sehelai jaket almamater menjadi pengobatnya. Lasmiati mungkin agak beruntung bisa bertemu "jagoannya". Ketika terbaring di brankar (velbed), Herry masih segar bugar. "Jam sembilan [21.00 WIB] saya dibawa teman-temannya, dia [Herry] sudah di kamar mayat," tutur Lasmiati. Sementara Karsiyati mengetahui kabar Hendrawan tewas melalui televisi saat menanti pesawat yang akan menerbangkannya ke Jakarta.
Upaya hukum terus ditempuh agar pelaku penembakan ditangkap. Mulai dari meminta bantuan hukum Tim Gabungan Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (TGPF Komnas HAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dilakoni keluarga korban Trisakti. Semua penyelidikan mengerucut pada kesimpulan seperti diungkapkan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan dalam tragedi itu [baca: KPP HAM Trisakti: Terjadi Kejahatan Kemanusiaan].
Kesimpulan demikian belumlah memupus kegelisahan keluarga korban. "Saya berharap tidak dipolitisir. Saya tidak anti-TNI/Polri, yang penting berpihak kepada rakyat semua," tegas Lasmiati. Proses peradilan memang belum berhenti. Ada sembilan perwira TNI belum tersentuh. Mereka antara lain Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto, eks Panglima Komando Cadangan Strategis (TNI) Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayor Jenderal Zacky Makarim, dan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.
Upaya pemanggilan paksa oleh KPP HAM tidak membuahkan hasil. DPR akhirnya menggelar rapat dengar pendapat dengan Wiranto, satu tahun silam. Hasilnya: "Kami sudah dipanggil oleh Pansus [Panitia Khusus] Trisakti-Semanggi oleh DPR dan akhirnya diputuskan melalui Sidang Paripurna bahwa Semanggi dan Trisakti bukan pelanggaran HAM berat," tegas Wiranto. Dan, para keluarga korban cuma bisa menjerit pilu.
Kini, Wiranto dan Prabowo kembali disorot. Menjelang Pemilihan Umum Eksekutif, Wiranto terpilih menjadi calon presiden dari Partai Golkar. Prabowo--yang juga mencalonkan diri--gagal dikalahkan Wiranto. Kehadiran Wiranto berdampingan dengan Ketua Komnas HAM Solahuddin Wahid (Gus Solah) seolah membangkitkan mimpi buruk lagi. Padahal Wiranto sudah berusaha menerangkan posisinya kepada khalayak seperti dituangkan dalam buku Kesaksian di Tengah Badai [baca: Wiranto Meluncurkan Buku Lagi].
Sang penulis, Aidul Fitricia Azhari, yang juga ikut berdialog di SCTV mengatakan, buku tersebut juga bercerita tentang rivalitas Wiranto dan Prabowo. Isu persaingan antara kedua petinggi TNI itu terus bergulir sejak Wiranto menjabat Panglima ABRI ada era Soeharto, sampai menduduki jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di masa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Belakangan Prabowo "unjuk gigi". Sebuah buku bertajuk Politik Huru-Hara Mei 1998 diterbitkan Fadli Zon, kawan dekat menantu mantan Presiden Soeharto itu, Maret silam. "Jangan sampai anak cucu kita membaca sejarah yang salah," kata Fadli.
Lebih jauh Fadli menjelaskan, banyak data dan fakta dalam buku Kesaksian di Tengah Badai tidak akurat dan cenderung propaganda pribadi Wiranto. Misalnya kutipan Wiranto: "...Mendengar laporan kejadian tersebut saya benar-benar merasa sangat sedih, kesal, dan menyesal, semuanya menggumpal menjadi satu. Bisa dibayangkan, kejadian yang sudah diantisipasi sebelumnya dan oleh karenanya berbagai upaya sudah dilakukan sebagai langkah pencegahan, namun pada akhirnya juga harus kita terima sebagai kenyataan..."
Ketika peristiwa terjadi, kata Fadli, Wiranto dan sejumlah petinggi TNI tengah berada di Malang, Jawa Timur, menghadiri peringatan ulang tahun Kostrad. Menurut Fadli, Komandan Kostrad yang kala itu dijabat Prabowo hanya mengundang Kepala Staf Umum TNI Fachrul Razi, bukan Wiranto. Tanpa alasan jelas, menjelang 7 Mei 1998 Wiranto berkeras pergi ke Malang. "Ada kontradiksi, karena tanggal 4 Mei dia [Wiranto] mengaku pergi ke Medan untuk mengurus kerusuhan di sana," lanjut Fadli.
Sementara Prabowo selaku Pangkostrad, kata Fadli, tidak bisa turun tangan langsung karena hanya bertugas membantu pengamanan. Prabowo yang mengaku baru mendengar kerusuhan sekitar pukul 20.00 WIB kemudian berinisiatif akan mengerahkan pasukan untuk menghentikan kerusuhan sistematis dan penjarahan toko-toko. "Tapi, Panglima TNI melalui Kasum Fachrul Razi melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam [Komando Daerah Militer] Jaya," sambung dia.
Aidul mengakui bukunya tidak menerangkan di mana sesungguhnya posisi Wiranto ketika kerusuhan melanda Ibu Kota selama tiga hari. "Saya tidak tahu persis," kata Aidul. Yang pasti, kepergian Wiranto ke Malang diputuskan melalui rapat staf. "Eskalasi [situasi] tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Solo, seperti saya alami sendiri," papar Aidul. Boleh jadi, dia menambahkan, Wiranto memberikan mandat pengamanan lewat Kepala Kepolisian Metro Jaya yang ketika itu dipegang Mayor Jenderal Polisi Hamaminata.
Aneh memang. Tapi, kedua buku tersebut tetap tak menjawab misteri Tragedi Mei `98. Apalagi, saat ini, Wiranto dan Gus Solah yang semula diandalkan keluarga korban Trisakti tengah bersiap bertarung di kancah pemilihan presiden. Jika Wiranto atau calon pemimpin Bangsa lain sudah terpilih, Karsiyati maupun Lasmiati mengaku pesimistis. Jalan cerita pengusutan kasus tersebut diyakini tak jauh berbeda. "Atau mungkin akan dipetieskan," tandas Karsiyati.(KEN)
Kelelahan memang terpancar pada raut Karsiyati ketika berdialog dengan reporter SCTV Indiarto Priyadi di Studio Liputan 6, Jakarta, Rabu (12/5) malam, dalam acara Topik Minggu Ini bertajuk "Tragedi Mei 1998, Sejarah Gelap Negeri Ini". Karsiyati mengaku jiwanya kosong setelah ditinggal Hendrawan, putra tunggalnya. Untuk menuntaskan rasa penasaran atas kematian mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Angkatan 1996 itu, Karsiyati rela meninggalkan Kalimantan. "Saya bekerja di koperasi Rektorat Trisakti," ungkap dia.
Gelisah tak hanya menyergap Karsiyati. Lasmiati, ibu kandung Herry Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin Angkatan 1995) malah terpaksa pindah rumah. "Trauma. Tiga tahun jalan empat tahun, saya kebayang terus. Kita tidur, kayaknya dia [Hendrawan] dateng," kata Lasmiati. Jika rindu menyergap, hanya sehelai jaket almamater menjadi pengobatnya. Lasmiati mungkin agak beruntung bisa bertemu "jagoannya". Ketika terbaring di brankar (velbed), Herry masih segar bugar. "Jam sembilan [21.00 WIB] saya dibawa teman-temannya, dia [Herry] sudah di kamar mayat," tutur Lasmiati. Sementara Karsiyati mengetahui kabar Hendrawan tewas melalui televisi saat menanti pesawat yang akan menerbangkannya ke Jakarta.
Upaya hukum terus ditempuh agar pelaku penembakan ditangkap. Mulai dari meminta bantuan hukum Tim Gabungan Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (TGPF Komnas HAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dilakoni keluarga korban Trisakti. Semua penyelidikan mengerucut pada kesimpulan seperti diungkapkan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan dalam tragedi itu [baca: KPP HAM Trisakti: Terjadi Kejahatan Kemanusiaan].
Kesimpulan demikian belumlah memupus kegelisahan keluarga korban. "Saya berharap tidak dipolitisir. Saya tidak anti-TNI/Polri, yang penting berpihak kepada rakyat semua," tegas Lasmiati. Proses peradilan memang belum berhenti. Ada sembilan perwira TNI belum tersentuh. Mereka antara lain Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto, eks Panglima Komando Cadangan Strategis (TNI) Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayor Jenderal Zacky Makarim, dan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.
Upaya pemanggilan paksa oleh KPP HAM tidak membuahkan hasil. DPR akhirnya menggelar rapat dengar pendapat dengan Wiranto, satu tahun silam. Hasilnya: "Kami sudah dipanggil oleh Pansus [Panitia Khusus] Trisakti-Semanggi oleh DPR dan akhirnya diputuskan melalui Sidang Paripurna bahwa Semanggi dan Trisakti bukan pelanggaran HAM berat," tegas Wiranto. Dan, para keluarga korban cuma bisa menjerit pilu.
Kini, Wiranto dan Prabowo kembali disorot. Menjelang Pemilihan Umum Eksekutif, Wiranto terpilih menjadi calon presiden dari Partai Golkar. Prabowo--yang juga mencalonkan diri--gagal dikalahkan Wiranto. Kehadiran Wiranto berdampingan dengan Ketua Komnas HAM Solahuddin Wahid (Gus Solah) seolah membangkitkan mimpi buruk lagi. Padahal Wiranto sudah berusaha menerangkan posisinya kepada khalayak seperti dituangkan dalam buku Kesaksian di Tengah Badai [baca: Wiranto Meluncurkan Buku Lagi].
Sang penulis, Aidul Fitricia Azhari, yang juga ikut berdialog di SCTV mengatakan, buku tersebut juga bercerita tentang rivalitas Wiranto dan Prabowo. Isu persaingan antara kedua petinggi TNI itu terus bergulir sejak Wiranto menjabat Panglima ABRI ada era Soeharto, sampai menduduki jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di masa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Belakangan Prabowo "unjuk gigi". Sebuah buku bertajuk Politik Huru-Hara Mei 1998 diterbitkan Fadli Zon, kawan dekat menantu mantan Presiden Soeharto itu, Maret silam. "Jangan sampai anak cucu kita membaca sejarah yang salah," kata Fadli.
Lebih jauh Fadli menjelaskan, banyak data dan fakta dalam buku Kesaksian di Tengah Badai tidak akurat dan cenderung propaganda pribadi Wiranto. Misalnya kutipan Wiranto: "...Mendengar laporan kejadian tersebut saya benar-benar merasa sangat sedih, kesal, dan menyesal, semuanya menggumpal menjadi satu. Bisa dibayangkan, kejadian yang sudah diantisipasi sebelumnya dan oleh karenanya berbagai upaya sudah dilakukan sebagai langkah pencegahan, namun pada akhirnya juga harus kita terima sebagai kenyataan..."
Ketika peristiwa terjadi, kata Fadli, Wiranto dan sejumlah petinggi TNI tengah berada di Malang, Jawa Timur, menghadiri peringatan ulang tahun Kostrad. Menurut Fadli, Komandan Kostrad yang kala itu dijabat Prabowo hanya mengundang Kepala Staf Umum TNI Fachrul Razi, bukan Wiranto. Tanpa alasan jelas, menjelang 7 Mei 1998 Wiranto berkeras pergi ke Malang. "Ada kontradiksi, karena tanggal 4 Mei dia [Wiranto] mengaku pergi ke Medan untuk mengurus kerusuhan di sana," lanjut Fadli.
Sementara Prabowo selaku Pangkostrad, kata Fadli, tidak bisa turun tangan langsung karena hanya bertugas membantu pengamanan. Prabowo yang mengaku baru mendengar kerusuhan sekitar pukul 20.00 WIB kemudian berinisiatif akan mengerahkan pasukan untuk menghentikan kerusuhan sistematis dan penjarahan toko-toko. "Tapi, Panglima TNI melalui Kasum Fachrul Razi melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam [Komando Daerah Militer] Jaya," sambung dia.
Aidul mengakui bukunya tidak menerangkan di mana sesungguhnya posisi Wiranto ketika kerusuhan melanda Ibu Kota selama tiga hari. "Saya tidak tahu persis," kata Aidul. Yang pasti, kepergian Wiranto ke Malang diputuskan melalui rapat staf. "Eskalasi [situasi] tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Solo, seperti saya alami sendiri," papar Aidul. Boleh jadi, dia menambahkan, Wiranto memberikan mandat pengamanan lewat Kepala Kepolisian Metro Jaya yang ketika itu dipegang Mayor Jenderal Polisi Hamaminata.
Aneh memang. Tapi, kedua buku tersebut tetap tak menjawab misteri Tragedi Mei `98. Apalagi, saat ini, Wiranto dan Gus Solah yang semula diandalkan keluarga korban Trisakti tengah bersiap bertarung di kancah pemilihan presiden. Jika Wiranto atau calon pemimpin Bangsa lain sudah terpilih, Karsiyati maupun Lasmiati mengaku pesimistis. Jalan cerita pengusutan kasus tersebut diyakini tak jauh berbeda. "Atau mungkin akan dipetieskan," tandas Karsiyati.(KEN)