Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan Pemilihan Legislatif dan Presiden dilakukan serentak mulai 2019. Mahkamah memiliki sejumlah alasan untuk membuat keputusan itu. Pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Legislatif dinilai tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki.
"Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Menurut Mahkamah, pelaksanaan pemilihan yang tidak serentak membuat pengawasan maupun checks and balances antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Sebab, pasangan calon presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik.
"Sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon presiden/wakil presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial," tutur Fadlil.
Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian menyederhanakan sistem kepartaian. Karena itu, proses demikian tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi.
"Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945," ujar Fadlil.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Pasal 3 ayat 5 yang berbunyi: "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD"
Pasal 12 ayat 1: "Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengumumkan bakal calon presiden dan atau bakal calon wkail presiden dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD"
Pasal 14 ayat 2: "Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 paling lama 7 hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR"
Pasal 112: "Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota" (Eks/Yus)
"Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Menurut Mahkamah, pelaksanaan pemilihan yang tidak serentak membuat pengawasan maupun checks and balances antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Sebab, pasangan calon presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik.
"Sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon presiden/wakil presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial," tutur Fadlil.
Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian menyederhanakan sistem kepartaian. Karena itu, proses demikian tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi.
"Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945," ujar Fadlil.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Pasal 3 ayat 5 yang berbunyi: "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD"
Pasal 12 ayat 1: "Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengumumkan bakal calon presiden dan atau bakal calon wkail presiden dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD"
Pasal 14 ayat 2: "Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 paling lama 7 hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR"
Pasal 112: "Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota" (Eks/Yus)