Pertengahan Juni 1815. Pasukan Napoleon Bonaparte, kaisar Prancis, terjebak dalam hujan terus-menerus di Waterloo, Belgia. Mereka nyaris tak bisa bergerak. Tanah sangat becek dan licin. Tenaga terkuras hebat.
Mereka pun mesti menyerah dari pasukan Inggris-Belanda-Jerman. Napoleon dipaksa turun tahta. Lalu, ia dibuang ke Pulau Saint Helena.
Cuaca buruk pada Juni terbilang mengherankan. Seharusnya, Eropa mengalami musim panas. Di sinilah kemudian penyelidikan ilmiah dilakukan untuk mencari tahu alasannya.
Kenneth Spink, seorang ahli geologi berteori, cuaca buruk tersebut dipicu letusan Gunung Tambora di Hindia Belanda (kini Indonesia) pada 10-12 April 1815.
Abu tebal dari letusan gunung itu diyakini bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi cahaya matahari ke bumi. Siklus musim pun kacau.
Â
Letusan Tambora luar biasa dahsyat. Daya letusnya hampir 10 kali Krakatau pada 27 Agustus 1883 [baca: Kisah Krakatau, Ketika 'Neraka' Tercipta di Selat Sunda].
Buku Data Dasar Gunung Api Indonesia mencatat, aktifitas vulkanik pertama kali terjadi pada 5 April 1815. Suara gemuruh yang dihasilkan konon terdengar sayup-sayup sampai Batavia (kini Jakarta) yang berjarak 1.300 km dan Ternate (1.400 km).
Mereka pun mesti menyerah dari pasukan Inggris-Belanda-Jerman. Napoleon dipaksa turun tahta. Lalu, ia dibuang ke Pulau Saint Helena.
Cuaca buruk pada Juni terbilang mengherankan. Seharusnya, Eropa mengalami musim panas. Di sinilah kemudian penyelidikan ilmiah dilakukan untuk mencari tahu alasannya.
Kenneth Spink, seorang ahli geologi berteori, cuaca buruk tersebut dipicu letusan Gunung Tambora di Hindia Belanda (kini Indonesia) pada 10-12 April 1815.
Abu tebal dari letusan gunung itu diyakini bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi cahaya matahari ke bumi. Siklus musim pun kacau.
Â
Letusan Tambora luar biasa dahsyat. Daya letusnya hampir 10 kali Krakatau pada 27 Agustus 1883 [baca: Kisah Krakatau, Ketika 'Neraka' Tercipta di Selat Sunda].
Buku Data Dasar Gunung Api Indonesia mencatat, aktifitas vulkanik pertama kali terjadi pada 5 April 1815. Suara gemuruh yang dihasilkan konon terdengar sayup-sayup sampai Batavia (kini Jakarta) yang berjarak 1.300 km dan Ternate (1.400 km).
Terus meningkat hingga mencapai klimaks dengan suatu letusan maha dahsyat pada 10 April 1815. Bunyi ledakannya terdengar sampai Jawa dan Sumatra. Satu-satunya yang mengalahkan Tambora hanya letusan Gunung Toba, Sumatra Utara, sekitar 74 ribu tahun silam.
Ledakan itu segera disusul bencana maut. Hujan abu dan batu menerjang Pulau Sumbawa dan Lombok. Suatu aliran awan panas yang cepat dan bersuhu di atas 500 derajat Celcius mengubur permukiman-permukiman di kaki-kaki Tambora.
Jika mengacu pada Volcanic Explosivity Index (VEI), skornya di atas 7. Volume batu yang dikeluarkan mencapai lebih dari 150 km kubik. Abunya menyebabkan Sumbawa, Lombok, Bali, Madura dan sebagian Jawa Timur gelap gulita selama 3 hari.
Korban langsung diperkirakan 10 ribu orang. Lalu, ada dampak tak langsung beruapa bencana penyakit dan kelaparan. Ini jauh lebih banyak merenggut nyawa. Total diperkirakan 92 ribu orang meregang nyawa.
Tambora masih terdengar 'batuk-batuk' hingga 15 Juli 1815. Dengan intensitas kian menurun.
Daya rusaknya sungguh tak berhenti di sana. Suhu rata-rata global merosot 3 derajat Celcius. Bahkan di belahan Bumi utara, pada 1816, tak ada musim panas, a year without summer. Badai salju melanda beberapa bagian Eropa. Gagal panen jadi pemandangan biasa.
Rakyat Eropa dipaksa untuk jauh lebih banyak di rumah. Di Jenewa, Swiss, seorang perempuan muda bernama Mary Godwin sedang berlibur bersama calon suaminya, Bysshe Shelley. Mereka tinggal di rumah Lord Bryon.
Advertisement
Demi mengalihkan kejenuhan dari cuaca buruk, tuan rumah menggelar 'kompetisi' menulis cerita horor. Akhirnya, Mary menghasilkan novel yang masyhur sepanjang masa, Frankenstein.
Tambora tak pernah benar-benar tertidur. Terakhir, pada September 2011, statusnya dinaikkan menjadi berstatus Siaga. Artinya, gunung itu sedang bergerak ke arah letusan.
Peningkatan status dilakukan setelah aktivitas gunung setinggi 2.851 meter di atas permukaan laut itu mengalami kenaikan.
"Berdasarkan hasil analisa data visual dan kegempaan, terhitung tanggal 8 September 2011, pukul 16.00 Wita, status kegiatan Gunung Tambora dinaikkan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III)," tulis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 9 September 2011, di situsnya.
PVMBG menyatakan peningkatan aktivitas Gunung Tambora terlihat dengan meningkatnya kegempaan dan visual, terutama gempa vulkanik dalam dan vulkanik dangkal. Hingga 7 September 2011, tercatat 32 kali gempa vulkanik dalam hanya dalam 6 jam.
Lembaga itu merekomendasikan agar masyarakat dan pengunjung Gunung Tambora tak melakukan aktivitas apa pun dalam radius 3 kilometer. Pada 14 Oktober 2011, status kembali diturunkan menjadi Waspada. (dari berbagai sumber/Yus)
Lanjutkan Membaca ↓