Liputan6.com, Jakarta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan kode merah ketika ilmuwan iklim menyampaikan pernyataan mengenai darurat iklim yang semakin tinggi. Melansir dari CNBC, Kamis (12/08/2021), laporan panel antarpemerintah tentang perubahan iklim ditemukan suhu global diprediksi naik 1,5 derajat.
Peningkatan suhu akan terjadi selama dua dekade ke depan, yang mana angka tersebut lebih tinggi dari prediksi Perjanjian Paris⎼sebuah pertemuan dan kesepakatan penting untuk mengurangi risiko bencana iklim.
Baca Juga
Pandangan ilmuwan semakin negatif ketika melihat masa depan planet ini. Hal ini tentunya berpengaruh pada sudut pandang masyarakat secara umum untuk memiliki pilihan serupa, yaitu ingin menunda untuk memiliki anak.
Advertisement
“Gerakan untuk tidak memiliki anak karena khawatir perubahan iklim tumbuh dan berdampak pada tingkat kesuburan yang lebih cepat dibandingkan tren sebelumnya,” jawab analis di Morgan Stanley.
Sementara itu, melansir juga dari laman UNICEF bahwa perubahan iklim bisa menjadi ancaman langsung terhadap kemampuan anak untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang. Ketika ada perubahan suhu secara drastis, itu dapat menghancurkan kesejahteraan hidup mereka.
Contoh lainnya, banjir. Bencana ini dapat mengganggu fasilitas air bersih yang tersedia sehingga sanitasi yang tidak bersih dapat berdampak pada penularan penyakit seperti kolera yang sangat rentan menular anak-anak.
Adapun survei dari penelitian akademis bersama data Google yang menemukan perubahan iklim secara implisit mempercepat penurunan tingkat kesuburan. Kemudian, peneliri UCLA menambahkan bahwa jumlah kelahiran AS juga menurun dalam sembilan bulan setelah cuaca panas melanda.
Selanjutnya, di China terdapat 18 ribu pasangan yang mengalami peningkatan infertilitas⎼ketidaksuburan⎼ sebesar 20 persen akibat perubahan iklim dan polusi partikulat. Fenomena tersebutlah yang menjadi penguat alasan berbagai pasangan di belahan dunia untuk tidak ingin memiliki anak.
“Memiliki anak dapat 7 kali lebih buruk untuk iklim dalam emisi karbon dioksida setiap tahun daripada 10 mitigasi,” tambah analis tersebut.
Namun, argumen tersebut dibantah oleh peneliti Kimberley Nicholas bahwa mengurangi populasi bukanlah solusi. Dalam wawancara yang dilakukan Vox, ia mengatakan akan menjadi benar bila lebih banyak orang akan mengonsumsi lebih banyak sumber daya, tetapi untuk menstabilkan iklim bukanlah pilihan yang tepat.
Tahan Perubahan Cuaca Ekstrem
Apabila fenomena perubahan cuaca ekstrem menjadi kekhawatiran utama, ternyata ada juga tanaman yang bisa gagal tumbuh akibat cuaca yang terlalu panas atau dingin.
Ada seorang pria asal Inggris bernama Daniel yang tinggal di Dubai, Uni Emirat Arab. Ia bersama pasangannya sudah tinggal di sana selama 12 tahun. Gagasan yang disampaikan pasangan tersebut adalah keinginan memiliki anak di awal pernikahan, tetapi keinginan tersebut sudah mulai pudar.
“Selama beberapa tahun terakhir, iklim menjadi faktor utama apakah kami ingin punya anak atau tidak,” ujar Daniel.
Kebiasaannya menggunakan air conditioner (AC) hampir sepanjang tahun dan suka pergi berlibur ternyata mendorongnya juga untuk mencari solusi yang signifikan agar tidak memberikan kontribusi karbon yang berlebih pada lingkungan.
“Kami cukup banyak memikirkannya dan segera sadar bahwa menambahkan manusia lain bisa berdampak besar bagi lingkungan,” tambahnya.
Tak hanya dari kalangan masyarakat saja, pasangan kerajaan Inggris, Pangeran Harry pun menyatakan hal serupa bahwa keinginannya memiliki anak adalah maksimal dua karena faktor lingkungan.
Isu ingin semakin jelas dan dirasakan oleh banyak orang di belahan dunia manapun. Bumi sedang memanas jauh dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Menjadi wajar apabila gerakan ini banyak dilakukan oleh orang-orang agar mendukung Bumi yang lebih sehat.
Advertisement
Cemas yang Tak Berujung
Beberapa masyarakat berpendapat untuk tidak ingin memiliki anak karena banyak faktor, tidak hanya masalah krisis iklim saja, tetapi adanya keadaan ekonomi yang juga semakin memburuk.
Bahkan ada pria bernama Thom James berusia 39 tahun dan sudah memiliki dua anak perempuan, masing-masing berusia tiga dan enam tahun. Penyesalan yang dihadapi adalah memiliki dua anak perempuan dengan masa depan yang tidak menentu.
“Mengkhawatirkan masa depan mereka sering menjadi pemicu bagi saya. Saya terus berpikir kapan waktu yang tepat untuk mencegah untuk memiliki anak sendiri. Kita benar-benar sudah tidak bisa kembali,” jawab James.
Ada begitu banyak laporan dari pakar hingga ilmuwan lingkungan yang mengatakan ada banyak kerusakan hingga prediksi krisis yang tidak menentu. Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mendorong untuk menghentikan tambang batu bara dan bahan bakar fosil sebelum akhirnya Bumi hancur.
“Laporan ini harus diberikan kode agar mematikan batu bara dan bahan bakar fosil,” jelasnya.
Reporter: Caroline Saskia