Menurut Undang-undang, Go-Jek dkk Salah, Benarkah Demikian?

Di tengah buruknya kualitas transportasi publik yang disediakan pemerintah, Go-Jek, GrabBike, dan sejenisnya menjadi pilihan favorit.

oleh Gesit Prayogi diperbarui 18 Des 2015, 15:12 WIB
Diterbitkan 18 Des 2015, 15:12 WIB
Cegah Intimidasi Ojek Pangkalan, GO-JEK Bentuk Satgas
Go-jek (Foto:www.go-jek.com)

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah buruknya kualitas transportasi publik yang disediakan pemerintah, Go-Jek, GrabBike, dan sejenisnya menjadi pilihan favorit.

Namun tiba-tiba Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) memberikan keputusan yang membuat telinga rakyat memerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) dan peraturan perundang-undangan turunan, Ditjen Hubdat melarang ojek online atau layanan transportasi sejenis karena menyalahi aturan.

Namun sebagaimana dijelaskan Pasal 138 ayat 1 angkutan umum harus memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Namun kenyataannya, hingga 77 tahun Indonesia merdeka, rasanya belum ada transportasi publik yang benar-benar memenuhi kebutuhan di atas.



Maka tak heran keputusan melarang ojek online menuai respons keras dari publik. Sebab, moda transportasi ini menjadi solusi transportasi yang murah, aman, dan nyaman.

"Ini kan transportasi jadi alternatif. Bukan cuma aman dan murah, bagi kaum perempuan layanan ini sangat membantu ketika pulang malam," ujar Dikta, karyawati yang bekerja di Senayan, Jakarta. 

Ojek online, sebut saja Go-Jek dan GrabBike, tak main-main dalam menyediakan layanan. Untuk aspek keselamatan, Go-Jek yang bermarkas di Kemang konsisten mengadakan pelatihan mengemudi bagi para bikers mereka. 

Go-Jek menggunakan jasa Rifat Drive Labs (RDL) untuk mengasah kemampuan berkendara para anggotanya. Bahkan, layanan ojek online memberikan asuransi untuk pengendara dan penumpang. 



"Kalau keselamatan (memang) tergantung pengendaranya. Ada yang enak, bahkan sebaliknya," ujar Melani yang kerap menggunakan jasa ojek online dari Senayan ke Kampung Rambutan.

Menurut Melani, penumpang bisa komplain atau memberikan penilaian yang kurang memuaskan, sehingga operator bisa mendapat feedback untuk menindak pengendara ojek yang ugal-ugalan.

Jokowi Berkomentar 



Keputusan kontroversial ini ternyata sampai ke Istana. Presiden Joko Widodo menanyakan aturan dari Ditjen Hubdat. "Aturan itu yang buat siapa, sih? Yang buat kan kita. Sepanjang itu dibutuhkan masyarakat, saya kira enggak ada masalah," kata Jokowi. 


Respons negatif terkait larangan ojek online sangat tinggi. Menteri Perhubungan (Menhub) Igasius Jonan berubah pikiran, sehingga ia mengizinkan layanan ini beroperasi kembali.

Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Jonan menerangkan bahwa roda dua tidak didedikasikan sebagai angkutan publik. Namun kenyataannya sepeda motor justru jadi primadona.

Minimnya kualitas transportasi publik 

Ia tak menampik munculnya fenonema ojek online ini karena adanya kesenjangan antara kebutuhan transportasi dengan kemampuan angkutan publik yang layak dan memadai. Inilah yang menjadi momen munculnya layanan ojek online.



"Atas dasar itu, ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima oleh Liputan6.com.

Namun Mantan Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) ini meminta agar stakeholder terkait melakukan konsultasi dengan pemerintah dan kepolisian. Sebab, di satu sisi Go-Jek dan sejenisnya menyalahi aturan, tapi di sisi lain masih sangat dibutuhkan masyarakat. (*)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya