Tanggapan Pabrikan Atas Ditundanya Penerapan Euro 4 Diesel

Pemerintah memutuskan menunda pelaksanaan kebijakan Euro 4 untuk mesin diesel. Penundaan ini karena dampak dari pandemi Corona Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Jul 2020, 18:32 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2020, 18:32 WIB
Asap Buangan Pabrik
Sejumlah truk melintas dengan latar belakang polusi asap pabrik di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (31/7/2019). Selain gas buang kendaraan, limbah asap pabrik merupakan salah satu sumber polutan yang menambah buruknya kualitas udara di ibu kota. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan menunda pelaksanaan kebijakan Euro 4 untuk mesin diesel. Penundaan ini karena dampak dari pandemi Corona Covid-19.

Penerapan Euro 4 diesel semula dijadwalkan April 2021 harus mundur menjadi April 2022. Sebelumnya KLHK pada 2017 merilis aturan emisi Euro 4 yang diatur dalam P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017.

Isinya tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, dan O atau standar emisi Euro 4. Dan agen pemegang merek setuju dengan regulator lantaran ada sejumlah kendala.

Nah, dalam beleid itu, penggunaan minimal angka oktan (RON) yang digunakan kendaraan berbahan bakar bensin minimal 91. Sedangkan untuk diesel adalah dengan cetane number (CN) minimal 51. Kemudian keluarlah revisi penundaan KLHK. No S 786/MENLHK-PPKL/SET/PKL.3/5/2020 per Mei kemarin. Karena sejumlah sektor terimbas, uji coba pun ikut mundur.

Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) sebagai anggota Gaikindo, mengikuti aturan berlaku. Hal ini didasari pada loyonya ekonomi yang membuat pebisnis enggan berinvestasi pada kendaraan niaga. APM melihat, itu bisa memberatkan pelaku usaha karena ongkos modal untuk penggantian seluruh armada tidak murah.

“Sejak pemerintah mengatakan bakal mengimplementasi Euro 4, maka kami segera bersiap diri. Begitu pula dengan kebijakan bahan bakar bio diesel B30. Seluruh engineer kami di Indonesia kerja bareng prinsipal di Jepang, untuk segera menyiapkan produk yang sesuai ketentuan,” ungkap Ernando Demily, Presiden Direktur PT Isuzu Astra Motor Indonesia.

Meski demikian, sebagai perusahaan manufaktur kendaraan niaga, IAMI mengaku tetap mendukung aturan pemerintah. Khusus pada penerapan standardisasi Euro 4.

Sebab, menurut mereka, dalam jangka panjang regulasi itu dapat meningkatkan daya saing industri otomotif Indonesia di level global. Pabrikan bahkan siap dengan teknologi mesin commonrail sejak 2011 yang menjadi standar pada saat kebijakan emisi gas buang diterapkan.

“Kami memiliki Isuzu Giga, medium truk pertama di Indonesia yang sudah menggunakan mesin commonrail. Jadi sangat siap dengan Euro 4. Walau begitu, saat ini kami sedang menyiapkan segala sesuatunya. Sehingga pada saat penerapan aturan berlangsung, seluruh ekosistem kami telah siap,” tambah pria yang karib dipanggil Nando.

 

Tantangan Bisnis

Berdasar data Bloomberg Economic Growth Forecast (survey Juni 2020). Proyeksi pertumbuhan kuartal kedua 2020 memburuk di semua negara. Termasuk Indonesia yang diperkirakan bakal dekaden 3,1 persen.

Maka tuntukan bisnis ke depan ialah keseimbangan antara isu kesehatan dan ekonomi. Untuk itu sebuah manufaktur mesti ambil pola pikir dan pendekatan bisnis berbeda. Isuzu mengaku, dalam menghadapi disrupsi akibat COVID-19 bakal mengaplikasi strategy 4R. Yaitu Reaction, Recession, Rebound dan Reimagine.

Kata krisis, ungkap Nando, terdiri dari dua makna yaitu thread (ancaman) dan opportunity (kesempatan). Saat ini titik keseimbangan antara keduanya sedang bergerak sangat kuat. Isuzu mengaku ingin mengambil dari sisi positif.

Artinya, ada tantangan plus kesempatan untuk bertumbuh. Asalkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan tetap memiliki fondasi yang kuat.

 

Keyakinan

Perusahaan yakin, antara industri logistik dan otomotif kendaraan komersial tetap punya kesempatan. Karena pada saat apapun, tetap ada kebutuhan logistik. Dan selama logistik berjalan maka kebutuhan pada kendaraan komersial masih ada.

“Pada segmen logistik dalam menghadapi kondisi baru. Selain peningkatan biaya operasional untuk protokol kesehatan, ditambah juga dengan peraturan pemerintah seperti ODOL, emisi gas buang pada 2022. Maka penggunaan teknologi digitalisasi yang semakin gencar tentu saja dapat beimplikasi pada peningkatan nilai investasi,” imbuh dia.

Dalam sudut pandang manufaktur, solusinya dalam meningkatkan produktivitas yaitu melalui tiga cara. Pertama, memiliki unit yang sesuai dengan kebutuhan bisnis.

Pastikan kemudahan dan kecepatan dalam after sales agar tidak langsam. Terakhir, berusaha menciptakan biaya operasional kian kompetitif. 

Sumber: Oto.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya