Liputan6.com, Jakarta - Ketua The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Zulfi Syarif Koto menanggapi pro-kontra pemberlakukan PP Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Pakar kebijakan perumahan rakyat itu melihat bahwa aturan baru yang efektif berlaku sejak 28 Desember 2015 itu sangat berpihak kepada Warga Negara Asing (WNA).
Dia beralasan, di mata hukum Hak Pakai (HP) yang diberikan kepada WNA itu sama dengan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Warga Negara Indonesia (WNI). "Sehingga aneh kalau Hak Pakai WNA menurut PP 103/2015 diberi kepastian hukum sampai 80 tahun, sedangkan HGB untuk warga Indonesia berdasarkan aturan sebelumnya (PP No 41/1996) hanya diberi kepastian selama 50 tahun," jelas Zulfi kepada Liputan6.com, Sabtu (23/1/2016).
Menurut PP baru ini, rumah tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki orang asing diberikan untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, maka Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.
Baca Juga
Zulfi juga menyoroti tidak adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah yang daerahnya menjadi lokasi hunian orang asing untuk melakukan pengaturan izin, zonasi peruntukkan dan pemanfaatan.
Bahkan dalam hal pelepasan dan peralihan hak hunian milik orang asing yang tidak lagi tinggal di Indonesia berdasarkan pasal 10 PP Nomor 103/2015, hampir tidak ada keterlibatan pemerintah daerah. Di situ dikatakan hunian itu akan dilelang oleh negara, atau menjadi milik pemegang hak atas tanah tersebut.
Dia mengingatkan, karena penerapan aturan ini banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah, maka idealnya ada keterlibatan pemda dan asosiasi pengembang setempat. Sehingga di lapangan pemberlakuan aturan kepemilikan properti asing ini bisa berjalan sesuai tujuan yang ingin dicapai pemerintah.
"Coba libatkan pemda yang daerahnya diminati orang asing seperti Bali, Batam, Jakarta, Bandung dan sebagainya," papar Zulfi.
ia melanjutkan, pada konsideran PP Nomor 103/2015 tidak ada disebutkan Undang-Undang No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman atau Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, padahal PP tersebut mengatur mengenai kepemilikan rumah, baik unit rumah tunggal maupun unit rumah susun.
“Kami juga mempertanyakan mengenai pemberian hak waris kepada orang asing di dalam PP tersebut. Dasar hukumnya apa? Kok terkesan aturan ini dibuat tergesa-gesa,” tegas dia. (Muhammad Rinaldi/Gdn)