Liputan6.com, Jakarta - Dibukanya keran kepemilikan properti bagi orang asing di dianggap sebagai langkah maju yang dilakukan pemerintah untuk menarik investasi ke Indonesia. Namun aturan yang baru diterbitkan tersebut masih butuh penyempurnaan terutama menyangkut status kepemilikan.
Ketua Kehormatan Realestat Indonesia (REI) Enggartiasto Lukita berpendapat keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, diharapkan membuat pasar properti nasional lebih bergairah terlebih di tengah era pasar global yang sudah diawali dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Orang asing akan datang dan membeli properti di Indonesia, sehingga terjadi investasi riil yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
"Saya kurang sepaham dengan orang-orang yang berkata memberi kesempatan kepada orang asing untuk memiliki properti di sini sama dengan menjual tanah air, melanggar konstitusi dan merugikan rakyat kecil yang belum punya rumah," tegas Enggartiasto kepada Liputan6.com, Kamis (17/3/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dia mengatakan, pemerintah hanya tinggal perlu membuat zonasi-zonasi saja, di mana bisa dibangun rumah bagi orang asing, dan di mana yang tidak. Hal itu bisa ditegaskan dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) setiap daerah atau kota.
Apalagi orang asing hanya diperbolehkan membeli hunian dengan harga premium. Jadi, kata Enggartiasto, dengan zonasi tidak perlu ada kekhawatiran rumah susun atau rumah sederhana akan dibeli orang asing.
"Enggak ada hubungan properti bagi asing ini dengan lahan-lahan untuk pembangunan rusun atau rumah murah. Apa mungkin dibangun rusun di SCBD misalnya? Atau hunian untuk orang asing di Parung misalnya? Tidak rasional itu," ungkapnya.
Aturan kepemilikan properti bagi orang asing, menurut Enggartiasto, jangan hanya dilihat dari sisi negatif, namun juga banyak hal positif yang terbuka dan dapat dicapai Indonesia.
Selain mampu menarik investasi asing langsung, aturan ini dapat menyelamatkan triliunan uang negara dari pajak yang digelapkan akibat pembelian properti oleh orang asing di bawah tangan yang kerap terjadi di banyak tempat seperti Bali dan Lombok.
Perlu Penyempurnaan
Disinggung mengenai hak kepemilikan dalam peraturan pemerintah terbaru yang masih memberikan status hak pakai bagi orang asing, diakui Enggartiasto, status hak pakai menjadi kurang menarik bagi orang asing karena di Indonesia status kepemilikan apartemen adalah Hak Guna Bangunan (HGB).
"Sebenarnya hak pakai dan HGB itu sama saja kekuatan hukum dan haknya, tapi karena Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mensakralkan pembedaan itu ya susah," ujar dia.
Oleh karena itu, sambil menunggu keikhlasan semua pihak untuk merevisi UUPA yang di Indonesia sangat disakralkan tersebut, solusi yang bisa dilakukan adalah merubah hak kepemilikan seluruh bangunan bertingkat di Indonesia menjadi hak pakai, dan tidak boleh lagi HGB. Tanpa adanya terobosan itu maka pengembang enggan membangun bangunan bertingkat seperti rusunami dan apartemen, karena orang Indonesia tidak akan mau beli.
"Tetapi kalau sudah diatur begitu, maka tidak ada pilihan lain. Ya mau tidak mau pengembang dan konsumen akan mengikuti. Langkah ini solusi yang bisa dilakukan, tinggal di peraturan saja diubah," jelas dia.
Di dalam peraturan itu perlu dipertegas bahwa status hak pakai itu sama dengan HGB, baik jangka waktu, cara perpanjangannya, dan juga bankable. Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan harus bisa memastikan kalau semua lembaga keuangan menerima unit berstatus hak pakai sebagai agunan yang bankable.
"Namanya saja beda, tapi seluruh hak-hak pemilik sama (dengan HGB)," kata Enggartiasto.
Dia akan meminta DPP REI untuk melakukan pembicaraan dengan OJK dan Bank Indonesia (BI) sekaligus melakukan kesepakatan agar derajat hak pakai dapat disamakan dengan HGB.